Wednesday, November 2, 2011

Fakta Kehidupan (Oleh: Ven. Narada Maha Thera)


Kita hidup dalam dunia yang tidak seimbang. Dunia yang tidak seluruhnya berisi bunga mawar atau pun seluruhnya berduri. Bunga mawar itu lembut, indah dan harum, tetapi tangkainya penuh dengan duri. Bagaimanapun, orang tidak akan meremehkan bunga mawar karena ada duri-durinya.

Bagi orang yang optimis, dunia ini seluruhnya berisi bunga mawar, bagi seorang yang pesimis, dunia in seluruhnya berduri. Tapi untuk seorang realistis, dunia ini tidak seluruhnya berisi bunga mawar ataupun seluruhnya berduri. Baginya dunia berisi keduanya, bunga mawar yang indah dan duri-duri yang tajam.

Orang yang mengerti tidak akan terbius oleh keindahan bunga mawar, tapi ia akan melihatnya sebagaimana adanya. Dengan mengetahui dengan baik sifat dari duri-duri, ia pun akan melihat mereka sebagaimana adanya dan akan berhati-hati agar tidak terluka.

Bagaikan bandul yang terus menerus bergoyang ke kiri dan kanan, empat keadaan yang diinginkan dan empat keadaan yang tidak diinginkan terus berlangsung di dunia ini. Setiap orang dalam hidupnya tanpa kecuali akan menghadapi keadaan-keadaan ini. Keadaan ini adalah keuntungan dan kerugian, terkenal akan kebaikan dan terkenal akan keburukan, pujian dan celaan, kegembiraan dan kesedihan.


Keuntungan Dan Kerugian

Pengusaha, sesuai hukumnya , akan mengalami keuntungan maupun kerugian. Adalah hal yang wajar bahwa seorang akan merasa puas diri ketika ia memperoleh keuntungan. Dalam hal ini tidak ada yang salah. Keuntungan baik legal maupun ilegal menghasilkan kenikmatan dalam jumlah tertentu yang dicari oleh umat manusia biasa.

Tanpa saat-saat yang menyenangkan, bagaimanapun singkatnya, hidup tak akan berarti. Dalam dunia yang kacau dan penuh persaingan, adalah benar bahwa orang hendaknya menikmati beberapa jenis kegembiraan yang menyenangkan hatinya. Kegembiraan ini, walaupun secara materil, akan membantu meningkatkan kesehatan dan umur penjang.

Masalah akan timbul jika kerugian terjadi. Keuntungan diterima dengan gembira, tapi tidak demikian halnya dengan kerugian. Kerugian sering menyebabkan penderitaan batin dan kadang kala usaha bunuh diri dilakukan karena karena kerugian yang tidak tertanggulangi. Dalam situasi yang berlawanan inilah, seseorang hendaknya menunjukkan keberanian moral yang tinggi dan mempertahankan keseimbangan batin yang baik. Kita semua pernah mengalami jatuh dan bangun dalam perjuangan hidup. Seseorang hendaknya menyiapkan diri menghadapi yang baik maupun yang buruk, sehingga ia tidak terlalu kecewa.

Ketika sesuatu dicuri, orang umumnya merasa sedih. Tetapi dengan merasa sedih, ia tidak akan dapat mengganti kehilangannya. Ia hendaknya menerima kehilangan itu secara filosofis. Hendaknya ia memiliki sikap yang murah hati dengan berpikir: "Si pencuri lebih membutuhkan barang tersebut daripada saya, semoga ia berbahagia." Pada masa Sang Buddha, seorang wanita bangsawan mempersembahkan makanan kepada Yang Ariya Sariputra dan beberapa orang bhikkhu. Ketika melayani mereka, ia menerima pesan yang menyatakan bahwa suatu musibah telah terjadi pada keluarganya. Tanpa menjadi cemas, dengan tenang ia menaruh pesan itu dalam kantung di pinggangnya dan melayani para bhikkhu seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seorang pelayannya yang membawakan guci berisi mentega(terbuat dari susu kerbau India) untuk dipersembahkan kepada para bhikkhu, secara tidak disengaja tergelincir dan memecahkan guci yang dibawanya. Mengira bahwa sang wanita akan merasa sedih karenanya , Yang Ariya Sariputra menghiburnya dengan berkata bahwa segala sesuatu yang dapat pecah suatu saat pasti akan pecah. Sang wanita berkata, "Bhante, apalah artinya kehilangan yang tak berarti ini? Saya baru saja menerima pesan yang menyatakan suatu musibah telah menimpa keluarga saya. Saya menerima hal itu tanpa merasa kehilangan keseimbangan batin saya. Saya melayani anda semua walaupun ada berita buruk tersebut."

Ketabahan semacam ini yang dimiliki wanita tersebut sungguh sangat terpuji. Suatu saat Sang Buddha pergi mencari sedekah di suatu desa. Karena campur tangan Mara, Sang Buddha tidak memperoleh makanan. Ketika Mara menanyakan apakah Sang Buddha merasa lapar, Sang Buddha dengan agung menerangkan sikap mental mereka yang telah terbebas dari kekotoran batin, dan menjawab, "Ah, betapa bahagianya kita yang hidup terbebas dari kekotoran batin. Sebagai pemberi kebahagiaan, kita bahkan dapat disamakan dengan para dewa di alam cahaya."

Pada kesempatan lain, Sang Buddha dan para muridnya berdiam selama musim hujan di suatu desa atas undangan seorang brahmana yang ternyata benar-benar lupa akan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan Sang Buddha dan Sangha. Selama tiga bulan, walaupan Yang Ariya Monggalana rela berkorban untuk mendapatkan makanan dengan kekuatan batinnya, Sang Buddha tidak mengeluh, dan merasa puas atas rumput makanan kuda yang ditawarkan oleh seorang penjual kuda.

Seseorang yang tidak beruntung harus berusaha untuk menerima kenyataan secara dewasa. Sungguh sayang, orang menghadapi kerugiannya seringkali secara kelompok dan tidak sendirian. Ia harus menghadapinya dengan ketenangan dan memandangnya sebagai suatu kesempatan untuk menumbuhkan kebajikan yang mulia.

Terkenal Akan kebaikan Dan Terkenal Akan Keburukan

Terkenal atas hal yang baik dan terkenal atas hal yang buruk adalah pasangan keadaan lain yang tidak terhindarkan, yang kita hadapi dalam kehidupan kita sehari-hari. Terkenal karena hal yang baik kita terima, terkenal karena hal yang buruk sangat kita benci. Terkenal karena hal yang baik menggembirakan hati kita, terkenal karena hal yang buruk menyedihkan kita. Kita ingin menjadi terkenal. Kita mendambakan foto kita terpampang di surat kabar. Kita sangat gembira ketika kegiatan kita, bagaimanapun tidak berartinya, dipublikasikan. Kadang kala kita bahkan menginginkan publikasi yang berlebihan.

Banyak orang ingin melihat fotonya di majalah, seberapapun biayanya yang harus dikeluarkannya. Untuk mendapatkan kehormatan, sebagian orang menawarkan hadiah atau memberikan sumbangan besar kepada orang yang berkuasa. Demi ketenaran, sebagian orang memamerkan kedermawanan mereka dengan memberikan sedekah kepada seratus orang bhikkhu atau lebih, tetapi mungkin mereka sama sekali tidak memperdulikan penderitaan orang miskin dan orang yang membutuhkan di lingkungan sekitar mereka. Seseorang dapat mendenda dan menghukum orang yang sangat kelaparan, yang untuk menghilangkan rasa laparnya mencuri sebutir kelapa di kebunnya, tetapi ia tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan seribu butir kelapa untuk mendapatkan nama baik.
Inilah kelemahan-kelamahan manusia. Kebanyakan orang memiliki maksud terselubung. Orang yang tidak egois yang bertindak tanpa terpengaruhi oleh perasaannya sangatlah jarang di dunia ini. Kebanyakan orang yang terikat keduniawian memiliki maksud terselubung. Siapakah orang yang sempurna? Berapa banyak orang yang memiliki maksud yang benar-benar murni? Berapa banyak orang yang benar-benar tidak mementingkan diri sendiri dan mendahulukan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain?

Kita tidak perlu memburu ketenaran. Jika kita benar-benar pantas untuk menjadi terkenal, ketenaran akan datang kepada kita tanpa perlu dicari. Kumbang akan tertarik pada bunga yang berisi madu. Bunga sendiri tidak mengundang kumbang.

Tentu saja, kita tidak hanya merasa senang tapi juga sangat bahagia ketika ketenaran kita tersebar. Tetapi kita harus menyadari bahwa ketenaran, kehormatan, dan kekuasaan hanyalah bersifat sementara. Mereka dapat menghilang begitu saja.

Bagaimana dengan ketenaran akan keburukan? Hal ini tidak enak didengar dan mengganggu pikiran. Kita pasti gelisah ketika kata-kata tentang reputasi buruk kita menusuk telinga. Perasaan sakit akan lebih hebat ketika laporan tersebut tidak adil dan fitnah belaka.

Umumnya diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mendirikan gedung yang megah. Dalam satu atau dua menit, dengan senjata penghancur modern, dengan mudah gedung itu runtuh. Kadang kala diperlukan waktu bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup untuk membangun reputasi yang baik. Dalam waktu singkat nama baik yang diperoleh dengan susah payah itu hancur. Tidak ada orang yang terlepas dari kata penghancur yang dimulai dengan kata 'tetapi'. "Ya, ia orang baik, dia melakukan ini dan melakukan itu," tetapi reputasi yang baik ini diperburuk dengan kata 'tetapi'. Anda mungkin hidup sebagai seorang Buddha tetapi anda tidak akan terlepas dari kritik, serangan, dan hinaan.

Sang Buddha adalah guru yang paling dikenal dan paling sering difitnah dalam masanya. Orang-orang besar sering kali dikenal, walaupun kadang kala mereka dikenal bukan karena hal-hal yang baik. Beberapa orang yang membenci Sang Buddha menyebarkan desas-desus bahwa seorang wanita sering bermalam di vihara. Setelah gagal dalam upaya ini, mereka menyebarkan fitnah diantara penduduk bahwa Sang Buddha dan para muridnya membunuh wanita tersebut dan menyembunyikan mayatnya di timbunan sampah bunga-bunga layu dalam vihara. Para penghasut akhirnya mengakui bahwa merekalah pelakunya.

Ketika misi bersejarah-Nya berhasil dan banyak orang meminta ditahbiskan oleh-Nya, para musuh memfitnah-Nya, dengan berkata bahwa Beliau merebut putra dari para ibu, memisahkan para istri dari suami mereka, dan bahwa Beliau menghambat kemajuan negara.

Gagal dalam usaha-usaha untuk menghancurkan sifat-Nya yang mulia, Sepupu-Nya sendiri Devadatta, murid-Nya yang iri, berusaha membunuh-Nya dengan menggulingkan batu dari atas, tetapi gagal. Jika demikian menyedihkannya nasib Sang Buddha yang sempurna dan tidak bersalah, bagaimanakah nasib dari manusia biasa yang tidak sempurna?

Semakin tinggi anda mendaki bukit, semakin mudah anda terlihat dan tampak dalam mata orang lain. Punggung anda terlihat, tapi bagian depan tersembunyi. Dunia mudah menemukan kesalahan, menunjukkan kegagalan dan keraguan anda, tetapi mangabaikan kebajikan anda yang lebih mudah terlihat. Kipas perontok merontokkan sekam tapi tetap membiarkan padinya, sebaliknya saringan mempertahankan ampas yang kasar dan membiarkan sari buah yang manis mengalir. Orang yang bermoral mengambil bagian yang halus dan menghilangkan bagian yang kasar, Orang yang tidak bermoral memgambil bagian yang kasar, tapi menghilangkan bagian yang halus.

Ketika anda difitnah, secara sengaja atau tidak, ingatlah nasehat dari Epictus, untuk berpikir atau berkata, "O, dengan pengenalannya yang terbatas dan pengetahuannya yang sedikit tentang saya, saya hanya sedikit dikritik. Tetapi jika ia mengenal saya lebih baik, maka lebih serius dan lebih hebatlah tuduhan yang ditujukan kepada saya.

Tidaklah perlu menghabiskan waktu memperbaiki laporan-laporan palsu kecuali jika keadaan memaksa anda membuat suatu penjelasan. Musuh anda akan senang ketika ia melihat anda terluka. Inilah yang sesungguhnya diharapkannya. Jika anda acuh saja, tuduhan itu akan menghilang dengan sendirinya.

Dengan melihat kesalahan orang lain, hendaknya kita berlaku seperti orang buta. Dalam mendengar kritikan yang tidak adil kepada orang lain, hendaknya kita berlaku seperti orang tuli. Dalam membicarakan keburukan orang lain, hendaknya kita berlaku seperti orang bisu.

Adalah tidak mungkin untuk menghentikan tuduhan, laporan, maupun desas-desus yang salah. Dunia ini penuh dengan duri dan kerikil. Adalah tidak mungkin untuk memindahkan seluruhnya. Tapi, jika kita harus berjalan melewati rintangan tersebut, daripada mencoba memindahkannya, lebih baik memakai sepasang sandal dan berjalan tanpa terluka.

Dharma mengajarkan: Berlakulah seperti seekor singa yang tidak takut akan suara apapun. Berlakulah seperti angin yang tidak terikat oleh jaring. Berlakulah seperti bunga teratai yang tidak terkotori oleh lumpur dimana ia tumbuh. Berkelanalah sendiri bagaikan seekor badak. Sebagai raja rimba, singa tidak memiliki rasa takut. Secara alamiah singa tidak dapat ditakuti oleh geraman dari binatang lain. Dalam dunia ini, kita dapat mendengar laporan palsu, tuduhan yang tidak benar, dan kata-kata hinaan. Seperti seekor singa, kita hendaknya tidak mendengarkannya. Seperti sebuah bumerang, semua akan kembali ke tempat asalnya. Anjing menggonggong tapi kafilah tetap berlalu.

Kita hidup dalam dunia yang berlumpur. Begitu banyak bunga teratai muncul dari lumpur tanpa terkotori dan menghiasi dunia. Bagaikan bunga teratai kita hendaknya mencoba menjalani kehidupan yang tidak tercela dan mulia, tidak memperdulikan lumpur yang mungkin dilemparkan kepada kita.

Kita hendaknya mengharapkan lumpur yang dilemparkan kepada, bukan bunga mawar. Dengan demikian kekecewaan tidak akan terjadi. Walaupun sulit, kita hendaknya berusaha mengembangkan ketidakterikatan. Kita datang sendiri dan kita akan pergi sendiri. Ketidakterikatan adalah suatu kebahagiaan di dunia ini.

Tanpa memperdulikan fitnahan, kita hendaknya berkelana sendiri melayani orang lain dengan seluruh kemampuan kita. Hal yang agak aneh bahwa orang-orang besar telah difitnah, dicemarkan namanya, diracun, disalib atau ditembak. Socrates yang agung telah diracun. Yesus Kristus yang mulia telah disalibkan. Mahatma Gandhi yang tidak bersalah telah ditembak. Apakah berbahaya untuk menjadi orang yang terlalu baik? Ya, selama hidup mereka dikritik, diserang, dan dibunuh. Setelah kematiannya, mereka dipuja dan dihormati. Orang-orang besar tidak peduli akan kemahsyuran ataupun namanya tercemar. Mereka tidak marah ketika dikritik atau difitnah karena mereka bekerja bukan untuk nama baik atau kemahsyuran. Mereka tidak peduli apakah orang menghargai jasa mereka atau tidak. Mereka memiliki hak atas kerja mereka, tapi tidak atas buah yang diperolehnya (kritik dan hinaan).

Pujian Dan Celaan


Adalah hal yang wajar untuk menjadi bersemangat ketika dipuji dan menjadi tertekan ketika dicela. Dari sudut pandang duniawi, satu kata pujian dapat berdampak luas. Dengan sedikit pujian, bantuan dapat diperoleh dengan mudah. Satu kata pujian cukup untuk menarik pendengar sebelum seseorang berbicara. Jika pada awalnya seorang pembicara memuji pendengar, ia akan didengarkan. Jika ia mengkritik pendengar pada awalnya, tanggapan yang diperolehnya tidak akan memuaskan.

Orang yang bermoral tidak menggunakan sanjungan untuk mendapatkan bantuan, dan juga tidak mengharapkan untuk disanjung-sanjung oleh orang lain. Orang yang pantas dipuji akan mereka puji tanpa rasa iri. Orang yang pantas dicela akan mereka cela tidak dengan merendahkan, tetapi dilandasi kasih sayang dengan tujuan untuk memperbaiki mereka.

Bagaimana dengan celaan? Sang Buddha bersabda, "Mereka yang banyak bicara dicela. Mereka yang sedikit bicara dicela. Mereka yang diam juga dicela. Di dunia tidak ada yang tidak dicela." Sebagian besar orang di dunia menyatakan bahwa Sang Buddha tidak disiplin, namun bagaikan seekor gajah di medan perang menahan semua panah yang ditembakkan kepadanya, Sang Buddha menahan segala hinaan.

Orang yang bermoral rendah dan jahat cenderung mencari keburukan orang lain, tetapi tidak akan mencari kebaikannya. Tidak ada orang yang sempurna baiknya. Sebaliknya tidak ada orang yang benar-benar jahat. Ada keburukan dari orang yang terbaik di antara kita. Ada kebaikan dari orang yang terjahat di antara kita.

Sang Buddha bersabda, "Ia yang berdiam diri bagaikan gong yang telah pecah ketika diserang, dihina, dan dikutuk, Saya sebut berada dalam Nibbana, walaupun ia belum mencapai Nibbana." Pada suatu kesempatan, Sang Buddha diundang oleh seorang brahmana untuk dijamu di rumahnya. Atas undangan itu, Sang Buddha berkunjung ke rumahnya. Namun bukan menjamu-Nya, brahmana tersebut mencaci maki-Nya dengan kata-kata kotor.

Sang Buddha dengan sopan bertanya, "Apakah tamu-tamu datang ke rumah anda, brahmana yang baik?" "Ya," jawab brahmana. "Apa yang kamu lakukan ketika tamu datang?" "Oh, kami akan menyiapkan jamuan yang mewah." "Jika mereka tidak datang?" "Wah, dengan senang hati kita menghabiskan jamuan tersebut." "Baiklah , brahmana yang baik. Anda mengundang saya untuk dijamu dan anda telah menjamu saya dengan caci maki. Saya tidak menerima apa-apa, silahkan anda mengambilnya lagi." Sang Buddha tidak membalas. Tidak membalas merupakan nasehat Sang Buddha. "Kebencian tidak dapat diatasi dengan kebencian tetapi hanya dengan kasih sayang saja kebencian itu reda," adalah ucapan mulia dari Sang Buddha.

Hinaan adalah hal yang biasa dalam kemanusiaan. Semakin banyak anda bekerja dan semakin hebat anda, anda semakin dihina dan dipermalukan. Yesus Kristus telah dihina, dipermalukan, dan disalibkan. Socrates dihina oleh istrinya sendiri. Istrinya selalu memarahinya. Suatu hari istrinya sakit dan tidak mampu melakukan tugas rutinnya yang galak. Socrates meninggalkan rumahnya hari itu dengan wajah yang sedih. Teman-temannya bertanya, "Anda seharusnya merasa gembira karena tidak memperoleh omelan yang tidak menyenangkan itu." "Oh, tidak! Ketika ia memarahi saya, saya memperoleh kesempatan yang baik untuk melatih kesabaran. Itulah alasan mengapa saya bersedih,"

Kegembiraan dan Kesedihan

Kebahagiaan dan kesedihan adalah faktor terkuat yang mempengaruhi umat manusia. Apa yang dapat ditahan dengan mudah adalah sukkha (kebahagiaan), Apa yang sulit ditahan adalah dukkha (kesedihan). Dapatkah harta benda memberikan kebahagiaan sejati? Jika demikian, seorang milyuner tidak akan merasa frustasi akan kehidupannya. Di negara-negara maju, begitu banyak orang menderita penyakit mental. Mengapa hal ini terjadi jika harta benda saja dapat memberikan kebahagiaan?

Dapatkah kekuasaan akan seluruh dunia menghasilkan kebahagiaan? Alexander Agung, yang penuh dengan kemenangan berbaris menuju India, menaklukkan daerah-daerah di sepanjang perjalanannya, menarik nafas panjang karena tidak ada lagi daerah di bumi yang bisa dikuasai.

Kebahagiaan sejati ditemukan dalam diri kita, dan tidak dapat dinyatakan berdasarkan kekayaan, kekuasaan, kehormatan, atau penaklukkan wilayah. Apa yang menggembirakan bagi seseorang mungkin bukanlah kegembiraan bagi orang lain. Apa yang menjadi makanan dan minuman bagi seseorang mungkin merupakan racun bagi orang lain.

Menjalani hidup yang bebas dari tuduhan adalah satu dari sumber-sumber kebahagiaan terbaik bagi umat awam. Bagaimanapun, sangatlah sulit untuk memperoleh pandangan yang baik dari semua orang. Orang yang berpikiran mulia hanya peduli akan kehidupan yang tak tercela dan tidak peduli kepada tanggapan orang lain.

Kesedihan atau penderitaan datang dalam berbagai bentuk. Kita menderita ketika kita mengalami usia tua, yang sebenarnya merupakan hal yang wajar. Dengan ketenangan, kita harus menahan penderitaan karena usia tua. Lebih menyakitkan adalah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit. Bahkan sakit gigi yang teringan atau sakit kepala terkadang sulit untuk ditahan.

Ketika kita menderita penyakit, tanpa menjadi khawatir hendaknya kita dapat menahannya, betapapun sakitnya. Kita harus menghibur diri sendiri dengan berpikir bahwa kita telah lolos dari penyakit yang lebih parah. Seringkali kita berpisah dengan orang yang dekat dan kita sayangi. Kita hendaknya menyadari bahwa segala pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan. Kadangkala kita dipaksa berada dengan orang yang kita benci. Kita hendaknya menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru atau mencoba mengatasi rintangan tersebut.

Bahkan Sang Buddha, mahluk yang sempurna, yang telah menghancurkan segala kekotoran batin, harus menahan penderitaan fisik yang disebabkan oleh penyakit dan kecelakaan. Sang Buddha menderita sakit kepala terus menerus. Akibat Devadatta, kaki-Nya terluka oleh pecahan batu. Kadang kala Beliau terpaksa menahan rasa lapar. Karena ketidakpatuhan murid-murid-Nya, Beliau terpaksa beristirahat di hutan selama tiga bulan, dialasi daun-daun, menentang angin dingin, Beliau mempertahankan ketenangan yang sempurna. Di antara kesakitan dan kebahagiaan Beliau hidup dengan pikiran yang seimbang.

Ketika seorang ibu ditanya mengapa ia tidak menangisi kematian tragis putra tunggalnya, ia menjawab, "Tanpa diundang ia datang. Tanpa diberitahu ia pergi. Ia datang seperti ia pergi, mengapa kita harus menangis? Apakah gunanya menangis?" Kematian yang tidak terhindarkan menimpa kita semua tanpa kecuali, kita harus menghadapinya dengan ketenangan yang sempurna.

Sang Buddha bersabda: "Ketika tersentuh oleh kondisi duniawi, pikiran seorang Arahat tidak pernah terpengaruhi."

No comments:

Post a Comment