Sunday, April 29, 2012

Filsafat Buddhist


BUDDHISME AWAL


Latar belakang Sejarah

Rgveda dibuat oleh orang – orang yang menempati lembah Indus pada waktu penyerbuan bangsa Arya. Namun penemuan para Arkeolog mengubah hal itu, karena penduduk asli yang berkulit hitam yang dikalahkan oleh bangsa Arya tidak dapat dianggap sebagai bangsa yang tidak berbudaya. Para cendekiawan membedakan aliran kebudayaan dan peradaban yang beraal dari bangsa Aryayang telah menjadi satu penampilan yaitu: yang dimulai dengan Upanisad. Kebudayaan bertapa tidak berasal dari kebudayaan bangsa Arya.
Para ahli Indologi menemukan adanya pandangan tentang alam yang bersifat antromorfik, seperti sifat ketuhanan, misterius, dan berkuasa serta menakutkan. Akibatnya muncul pemujaan yang menunjukan sifat illahi dan kepadanya manusia menggantungkan hidupnya. Max Muller menyebut tingkat ini sebagai Henotheisme, konsepsi dewa yang menjadi dua arah yaitu: monotheisme (prajapati dan Brahma) dan monisme ( Brahma –Atma). Persembahan yang dilakukan pada saat itu untuk maksud menampakan rasa terima kasih atas anugerah yang diterima.
Penekanannya sekarang berpindah dari pengorbanan atau upacara (karma) kepada pengatahuan atau jhana, dari pengetahuan akan dunia luar (loka) kepada pengertian tentang individu (atman). Yoga adalah penghapusan secara bertahap kesan – kesan indria dan juga nafsu rendah yang berkaitan dengannya seperti sifat tamak.
 “Kebanyakan cendikiawan hindu yang menulis tentang Buddhisme, bahwa: Buddha lahir sebagai orang hindu, hidup sebagai hindu, dan mati sebagai orang hindu”, sebagai umat Buddha yang seutuhnya mengenal ajarannya, harus jeli terhadap ungkapan seperti ini. Tanpa kita sadari tujuan dari ungkapan tersebut adalah untuk mengkaburkan ajaran Buddhisme yang sesungguhnya sehingga mengurangi minat para umat yang hendak mengikuti ajaran Buddha, karena menilai bahwa Buddhisme itu hanya “ jiplakan” dari agama hindu.
Dalam Upanisad awal tidak pernah ditegaskan bahwa Atman merupakan obyek dari persepsi ekstrasensori ( Abhinna). Tetapi menggunakan alasan ini, lalu menganggap apra ahli metafisika pada masa Upanisad awal sebagai kaum Rasionalis.
Sebelum kemunculan Buddhisme terdapat dua “sekolah”, yaitu:
  1. Ajivika dengan ajarannya “Kehidupan diukur dengan gantang, dengan kesenangan dan kesedihannya, dan dengan akhir yang ditetapkan” (kamasukalikanuyoga)
  2. Jainisme yang tergolong seluruhnya dalam tradisi pertapaan.
Hal yang paling menonjol dari setiap sekolah filsafat ini adalah adanya pengaruh kuat dari berbagai bentuk absolutisme.Adapun dua perbedaan dari golongan ini adalah:
Menurut kaum Ajivika materi sebagai realitas terakhir sedangkan kaum Jaina percaya bahwa keabadian maupun ketidak kekalan adalah ciri dari realitas terakhir.
Kontribusi Sang Buddha pada zamannya adalah; Buddha hadir diantara perkembangan Upanisad yang sedang berkembang pesat, mengangkat persamaan gender bagi kaum wanita dengan mentahbiskan wanita sebagai Bhikkhuni dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat kesucian.



Epistemologi

Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat tentang suatu pengalaman spiritual yang telah dicapai oleh seseorang yang menuju ke arah perkembangan bathin. Pada waktu Gotama menerima meditasi yoga Ia telah menyadari akan adanya kekuatan ekstrasensori yang dapat dikembangkan, Gotama menyadari akan keterbatasan indria sebagai sumber pengetahuan. Namun oleh para petapa lainnya kekuatan ini disalahgunakan  dengan merumuskan teori metafisika tentang keadaan sesungguhnya dari realitas, meskipun sebenarnya teori tersebut tidak dapat disusun berlandaskan persepsi ekstrasensori.
Dalam Canki- sutta dari Majjhima – nikaya ditemukan  ada lima hal yang mempunyai muka dua  di dalam kehidupan ini. Apakah kelima hal itu?.................
·         Kepercayaan
·         Kesenangan
·         Wahyu
·         Perenungan yang dangkal
·         Persetujuan akan suatu teori
Tidaklah tepat bagi seseorang yang cerdas, melindungi kebenaran, untuk tiba pada kesimpulan (nittham) secara kategorik (ekasena) dalam hal ini bahwa hanya inilah yang benar dan selainnya keliru (idam eva saccam mogham annam).
Menurut Sandaka sutta dalam Majjhima nikaya, satu dari empat tipe agama yang dikatakan tidak memuaskan (anassasika) tetapi tidak harus keliru adalh yang berdasarkan pada pemikiran dan spekulasi (takka, vimamsa). Dikatakan;” Disini guru tertentu adalah pemikir dan penyelidik; ia mengajarkan doktrin yang terbukti sendiri dan merupakan hasil dari pemikiran. Sang Buddha tidak menuntut dirinya atau memandang dirinya sebagai pemilik cara yang unik untuk mendapatkan pengetahuan selain daripada  yang dipunyai dari para gurunya , sebagai hasil dari pengetahuan ini, sang Buddha tidak tiba pada kesimpulanyang sama seperti yang dicapai pendahulunya. Persepsi ekstrasensori dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi bukan tujuan itu sendiri. Perkembangan ekstrasensori (abhinna) dipandang sebagai suatu kejadian kausal, yang memungkinkan seseorang memeriksa keadaan sebenarnya dari keberadaan indria.
 Buddhisme bukanlah skeptisme keran lebih menekankan pada penitik beratan terhadap keterbatasan pengetahuan dimaksudkan untuk mencegah orang jatuh kedalam jaring teori spekulatif.persepsi atau kekuatan ekstrasensori yang diakui Sang Buddha adalah sebagai berikut;
§  Psikokinesis (iddhividha), kekuatan tekad
§  Telinga Bathin (dibbasota), kemampuan menangkap bunyi dari jarak jauh
§  Telepati  (cetopariyanana), kemampuan mengetahui pikiran orang lain
§  Retrokognisi (pubbenivasanussatinana), kemampuan mengetahui kehidupan masa lalunya
§  Mata Bathin (dibbacakkhu atau cut’upapatanana),kemampuan mengetahui kehidupan masa depan
§  Pengetahuan tentang penghancuran rangsangan kotor (asavakkhayanana), kemampuan menembus Empat Kenyataan Mulia


Kausalitas

Kausalitas adalah pengetahuan tentang pola sebab akibat yang memungkin beliau mengakhiri kecenderungan merusak dan karenanya berhasil mencapai kebebasan Vimutti. Sebelum dan selam Buddha hidup, udara filsafat India di tutupi oleh awan- awan teori metafisika, dan hal itu berlaku juga terhadap konsep sebab akibat. Ada tiga golongan besar dari teori kausalitas; disebabkan oleh faktor dari dalam (sayam katam), disebabakan oleh faktor dari luar (param katam ), kombinasi dari penyebab dari luar dan dalam (sayam katam ca param katam).
Menurut teori kaum Naturalis, sifat bawaan merupakan prinsip yang mengatur alam fisika, dan manusia sendiri akibatnya ditentukan oleh prinsip fisika ini oleh karena itu kejiwaannya tidak berperan apa-apa terhadap tingkah lakunya. Sang Buddha setelah melalui dan mengalami berbagai kejadian kausal mencapai nilai tengah emasdi antara dua ekstrim. Pengetahuan yang dapat di alami itu adalah (Dhamme nana) ; pengetahuan tentang fenomena yang terjadi secara bersyarat (paticcasmuppada- dhamma).
Seperti yang dikelompokkan oleh para cendikiawan berikutnya, ada lima bidang yang dikuasai  kausalitas, yaitu:
·         Keteraturan fisis ( inorganik) (utu niyama)
·         Keteraturan fisis (organik) (bija niyama)
·         Keteratura psikologi (citta niyama)
·         Keteraturan moral (kammaniyama)
·         Keteraturan spiritual ideal (dhamma niyama)
Sabda Sang Buddha “ Ia yang menyelami sebab akibat, menyelami Dhamma
Ketiada- matian merupakan akibat akhir dari pencapaian penerangan dan penghapusan keinginan. Tetapi hasil yang segera dari penerangan adalah pencapaian kebahagiaan yang sempurna (paramam sukkham )yang timbul dari ketiada keinginan atau ketiada keterikatan.



Tiga Ciri Keberadaan

Pada bab Kausalitas menerangkan mengenai muncul dan lenyapnya segala sesuatu karena itu, segala sesuatu yang ada didunia ini adalah; 
1)      Tidak kekal (anicca)
2)      Tidak memuaskan (dhukkha)
3)       Tidak berinti (anatta)
Ketidak kekalan seperti yang terdapat dalam sutta terdahulu dapat dipastikan sebagai teori empirik, yang pada intinya adalah “Kedamaian muncul bila timbul    keseimbangan”. Menurut pernyataan ini, segala sesuatu tidak kekal bukan karena mereka hanya muncul sesaat, tetapi karena mereka berciri muncul (uppada) dan hancur ( vaya).
Para penafsir Barat menganggap Buddhisme amat  bersifat pesimistik, pendapat ini muncul karena kehidupan orang Barat yang bersifat materialistis dan mengutamakan kepuasan indria sedangkan Buddhisme yang lebih menekankan pada kehidupan yang sederhana, sehingga sangat wajar bila orang Barat beranggapan seperti itu.
Teori Upanisad tentang “diri” yang kekal dan tidak dapat mati dimaksudkan untuk memuaskan keinginan manusia akan kebahagian abadi. Namun Sang Buddha membalik teori tentang kekekalan jiwa dengan teori anicca, dukkha dan anatta. Sang Buddha berpendapat bahwa materi menurut Buddhis adalah netral, nilai negatif dan positif adalh bergantung pada manusia. Adapun yang melatar belakangi teori tanpa inti dari Buddhisme, dikarenakan adanya kaum Eternalis yang menyatakan bahwa realitas dan fenomena tentang diri adalah kekal. Teori tanpa inti ini dipandang sebagai “jalan tengah” antara dua ekstrim, Eternalisme dan  Anihilasionisme. Jadi ke- tanpa inti-an merupakan sinonim untuk kausalitas, dan unutk mereka, baik yang di timur maupun yang di baratyang terbiasa berpikir dalam kerangka jiwa yang abadi, teori ini merupakan sesuatu yang sulit untuk di pahami.  



Karma dan Kelahiran Kembali


Penafsiran terhadap ajaran Buddha tentang karma dan kelahiran kembali rupanya didasar pada dua anggapan; pertama, bahwa ajaran tersebut diterima Sang Buddha terutama karena mereka terdapat pada aliran utama tradisi kaum Brahmana dan petapa dan bukan karena mereka telah diperiksa dan dibuktikan sendiri kebenarannya secara pribadi , kedua; bahwa mereka tidak berbeda dengan teori pra Buddh dan bahwa Buddhisme tidak punya apa – apa yang dapat disumbangkannya karena teori pra Buddha telah mencapai bentuk final sejauh menyangkut teori ini.
Sang Buddha menemukan bahwa perilaku karma ditentukan oleh salah satu di antara tiga faktor, yaitu;
Ø  Rangsangan luar ,karma yang timbul akibat adanya kontak dari luar
Ø  Motif yang disadari, adanya keserakahan, kebencian, dan pandangan sesat
Ø  Motif yang tidak disadari, adanya keinginan untuk hidup langgeng
Apa yang hendak ditegaskan oleh Sang Buddha adalah kenyataan, bahwa bergantung kepada keadaan karma dan sekelilingnya sewaktu suatu perbuatan dilakukan maka kemudian dapat diharapkan akan timbul akibat yang sesuai. Pendapat ini sangat jelas dicantumkan dalam Anguttara- nikaya.
Menurut Buddhisme awal kesadaran hanya akan berlanjut bila terbetuk dalam suatu pribadi berbathin – jasmani baru dan dinyatakan sendiri oleh Sang Buddha pengetahuan tentang kelahiran lalu seseorang dapat ditelusuri melalui ingatannya.
A.J. Ayer, tokoh terkemuka dari aliran Positivisme Logis berkomentar bahwa kelahiran kembali seperti yang disajikan dalam kitab – kitab Buddha awal dipandang sebagai kemungkinan logis. Pada zaman sekarang ini dapat pula dibuktikan mengenai kelahiran kembali yaitu dengan hipnotis yang dapat di lakukan dengan bimbingan seorang hipnoterapist.

MORALITAS dan ETIKA


Buddhisme, tidak memisahkan pengetahuan dari kelakuan, teori dari praktek. Tujuan terakhir dari pengetahuan atau panna adalah kebebasan (vimutti). Filsuf Amerika, Jhon Dewey, menulis dalam bukunya “ The Question for Certainty” sebagai berikut:
“ Manusia yang hidup dalam dunia yang berbahaya ini dipaksa unutk mencari keamanan. Ia mencarinya melalui dua cara. Yang satu mulai dengan usaha mengambil hati kekuatan – kekuatan yang melingkupi dan menentukan nasibnya. Yang kedua, mempersembahkan hati yang penuh penyesalan akan dosa dihargai lebih memuaskan daripada persembahan korban”. Yang dimaksudkan oleh Dewey adalah :”bahwa agama dijadikan perlindungan dengan berdasarkan pada kebudayaan setempatyang melakukan pengorbanan untuk mendapat perlindungan dari dewa”.
Tujuan dari kehidupan beragama dimaksudkan untuk mencapai kebebasan dari kelahiran (jati), dan dengan demikian menyingkirkan juga kelapukan dan kematian. Dewey menegaskan kemunduran agama Brahmana pada masa Sang Buddha. Buddhisme awal menitik – beratkan kenyataan bahwa seorang pemula tidak akan dapat mencapai kebesan akhir sekaligus, tetapi harus melalui proses belajar bertahap (anupubbasikkha), proses latihan bertahap ( anupubhakiriya) dan proses praktek bertahap (anupubbbapatipada.)
Mereka yang telah mencapai tingkatan tertinggi dari kesempurnaan moral adalah bagaikan teratai yang tumbuh di lumpur tetapi telah muncul ke atas dan tidak tercemar (anupalitta) oleh air kotor. Mereka yang telah melalui latihan moral demikian mampu mengembangkan kebajikan moral yang lebih tinggi ( adhisila) dan konsentrasi mental ( adhicitta) yang diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan yang lebih tinggi (adhipanna) dan selanjutnya mencapai kebebasan (vimutty).
 Jalan Mulia Berjalur Delapan ( ariya attahangiko maggo), yaitu;
1.      Pandangan benar ( samma ditthi)
2.      Pikiran benar  ( samma sankappa)
3.      Ucapan benar (samma vaca)
4.      Perbuatan benar (samma kamanta)
5.      Mata pencaharian benar( samma ajiva)
6.      Daya upaya benar (samma vayama)
7.      Perhatian benar (samma sati)
8.      konsentrasi benar ( samma samadhi)
Menurut analisis Sang Buddha, ada empat tipe orang di dunia ini:
1.      Orang yang menyiksa dirinya (attantapa), seperti para petapa yang mempraktekkan penyiksaan diri
2.      Orang yang menyiksa orang lain (parantapa), seperti para pemburu yang mencabut kehidupan mahkluk lain
3.      Orang yang menyiksa dirinya maupun orang lain (attantapo ca parantapo ca), seperti orang yang melakukan pengorbanan
4.      Orang yang menyiksa bukan dirinya ataupun bukan lainnya (neva attantapo na parantapo), seperti Arahat
Ludwig Wittgenstein, berargumen sebagai berikut:
“ Jika segala hal di dunia ini kebetulan, maka tak akan ada “nilai”di dunia ini, kerana apapun yang mempunyai nilai tidak dapat merupakan kebetulan”. Adapun makna yang tersirat sesungguhnya adalah segala sesuatu di dunia ini merupakan hasil dari kausalitas ( sebab akibat).
  
NIRVANA

Menurut tafsiran  Rune E. A. Johansson, berkata ; “ Sudah diketahui umum bahwa Nibbana merupakan summum bonum dari Buddhisme dan bahwa seorang yang telah mencapai tujuan terakhir disebut Arahat”. Untuk menghindari kekaburan, Nirvana terbagi menjadi dua aspek, yaitu: nirvana yang dicapai oleh Arahat dalam kehidupannya dan nirvana yang dicapai Arahat setelah meninggal.
Deskripsi tentang nirvana dalam Itivuttaka merupakan sumber yang paling berharga dalam usaha untuk memahami konsep ini.Bentuknya adalah :
1.      Nirvana dengan sisa ( saupadisesa, yaitu nirvana yang dicapai dalam kehidupan ini)
catatan : bila manusia yang mencapai nirvana maka usianya hanya tujuh hari setelah pencapaian. Apabila seorang bhikkhu yang mencapai nirvana dalam kehidupan ini maka bhikkhu tersebut akan berumur panjang.
2.      Nirvana tanpa sisa ( anupadisesa, yaitu Arahat yang telah meninggal)

Dari analisis yang terdapat dalam Madhupindika sutta menerangkan tiga tipe orang yaitu:
1)      Tipe pertama umumnya berusaha untuk menjalani kehidupan baik dengan menghindari kejahatan.
2)      Tipe kedua adalah orang yang telah lanjut dalam menjalani lintasan kemajuan spiritual dan telah mencapai tingkatan “ tak kembali”
3)       Tipe ketiga, ia yang tidak terikat, bahwa dengan menghapus kesadaran diri melalui pengembangan kebijaksanaan, proses pencerapan yang normal berubah.
Pernyataan lain dari Nikaya Pali, yang bunyinya sebagi berikut: “Tumimbal lair telah dihancurkan; kehidupan luhur telah dijalani; apa yang harus dikerjakan sudah dikerjakan; dan tak ada lagi kecenderungan akan ke “ini” an. Dapat pula diartikan sebagai “ Tak ada keberadaan berikutnya “ bagi seorang Arahat.
Jayatilleke, dalam bukunya “ Early Buddhist Theory of Knowledge” berusaha keras untuk memperlihatkan bahwa Buddhisme awal adalah bersifat empirik dan tidak menerima sifat metafisika apapun yang tak dapat diperiksa secara empirik. Jika setelah Sang Buddhamengatakan bahwa Arahat setelah meninggal tidak dapat diuraikan sebagai berada (atthi) atau tidak berada (n’atthi), tanpa menyebutkan apakah keberadaan itu empirik ataukah trasempirik, dan kita tetap mengatakan bahwa Arhat berkelanjutan dan tidak lenyap, kita tentulah hanya sedang memahami persoalan ini menurut kesukaan (ruci) dan ketidak sukaan (aruci) atau menurut selera ( chanda) kita sendiri. 

No comments:

Post a Comment