BUDDHISME AWAL
Latar
belakang Sejarah
Rgveda dibuat oleh orang – orang yang menempati lembah Indus pada waktu
penyerbuan bangsa Arya. Namun penemuan para Arkeolog mengubah hal itu, karena
penduduk asli yang berkulit hitam yang dikalahkan oleh bangsa Arya tidak dapat
dianggap sebagai bangsa yang tidak berbudaya. Para cendekiawan membedakan
aliran kebudayaan dan peradaban yang beraal dari bangsa Aryayang telah menjadi
satu penampilan yaitu: yang dimulai dengan Upanisad. Kebudayaan bertapa tidak
berasal dari kebudayaan bangsa Arya.
Para ahli Indologi menemukan adanya pandangan tentang alam yang bersifat
antromorfik, seperti sifat ketuhanan, misterius, dan berkuasa serta menakutkan.
Akibatnya muncul pemujaan yang menunjukan sifat illahi dan kepadanya manusia
menggantungkan hidupnya. Max Muller menyebut tingkat ini sebagai Henotheisme,
konsepsi dewa yang menjadi dua arah yaitu: monotheisme (prajapati dan Brahma)
dan monisme ( Brahma –Atma). Persembahan yang dilakukan pada saat itu untuk
maksud menampakan rasa terima kasih atas anugerah yang diterima.
Penekanannya sekarang berpindah dari pengorbanan atau upacara (karma)
kepada pengatahuan atau jhana, dari pengetahuan akan dunia luar (loka) kepada
pengertian tentang individu (atman). Yoga adalah penghapusan secara bertahap
kesan – kesan indria dan juga nafsu rendah yang berkaitan dengannya seperti
sifat tamak.
“Kebanyakan cendikiawan hindu yang menulis
tentang Buddhisme, bahwa: Buddha lahir sebagai orang hindu, hidup sebagai
hindu, dan mati sebagai orang hindu”, sebagai umat Buddha yang
seutuhnya mengenal ajarannya, harus jeli terhadap ungkapan seperti ini. Tanpa
kita sadari tujuan dari ungkapan tersebut adalah untuk mengkaburkan ajaran
Buddhisme yang sesungguhnya sehingga mengurangi minat para umat yang hendak
mengikuti ajaran Buddha, karena menilai bahwa Buddhisme itu hanya “
jiplakan” dari agama hindu.
Dalam Upanisad awal tidak pernah ditegaskan bahwa Atman merupakan obyek
dari persepsi ekstrasensori ( Abhinna). Tetapi menggunakan alasan ini,
lalu menganggap apra ahli metafisika pada masa Upanisad awal sebagai kaum
Rasionalis.
Sebelum
kemunculan Buddhisme terdapat dua “sekolah”, yaitu:
- Ajivika dengan ajarannya “Kehidupan diukur dengan gantang, dengan kesenangan dan kesedihannya, dan dengan akhir yang ditetapkan” (kamasukalikanuyoga)
- Jainisme yang tergolong seluruhnya dalam tradisi pertapaan.
Hal yang paling menonjol dari setiap sekolah filsafat ini adalah adanya
pengaruh kuat dari berbagai bentuk absolutisme.Adapun dua perbedaan dari
golongan ini adalah:
Menurut kaum
Ajivika materi sebagai realitas terakhir sedangkan kaum Jaina percaya bahwa
keabadian maupun ketidak kekalan adalah ciri dari realitas terakhir.
Kontribusi Sang
Buddha pada zamannya adalah; Buddha hadir diantara perkembangan Upanisad yang
sedang berkembang pesat, mengangkat persamaan gender bagi kaum wanita dengan
mentahbiskan wanita sebagai Bhikkhuni dan mempunyai kesempatan yang sama untuk
mencapai tingkat kesucian.
Epistemologi
Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat tentang suatu
pengalaman spiritual yang telah dicapai oleh seseorang yang menuju ke arah
perkembangan bathin. Pada waktu Gotama menerima meditasi yoga Ia telah
menyadari akan adanya kekuatan ekstrasensori yang dapat dikembangkan, Gotama
menyadari akan keterbatasan indria sebagai sumber pengetahuan. Namun oleh para
petapa lainnya kekuatan ini disalahgunakan
dengan merumuskan teori metafisika tentang keadaan sesungguhnya dari
realitas, meskipun sebenarnya teori tersebut tidak dapat disusun berlandaskan
persepsi ekstrasensori.
Dalam Canki- sutta dari Majjhima
– nikaya ditemukan ada lima hal
yang mempunyai muka dua di dalam
kehidupan ini. Apakah kelima hal itu?.................
·
Kepercayaan
·
Kesenangan
·
Wahyu
·
Perenungan yang dangkal
·
Persetujuan akan suatu teori
Tidaklah tepat bagi seseorang yang cerdas, melindungi
kebenaran, untuk tiba pada kesimpulan (nittham) secara kategorik (ekasena)
dalam hal ini bahwa hanya inilah yang benar dan selainnya keliru (idam
eva saccam mogham annam).
Menurut Sandaka sutta dalam Majjhima nikaya,
satu dari empat tipe agama yang dikatakan tidak memuaskan (anassasika)
tetapi tidak harus keliru adalh yang berdasarkan pada pemikiran dan spekulasi (takka,
vimamsa). Dikatakan;” Disini guru tertentu adalah pemikir dan
penyelidik; ia mengajarkan doktrin yang terbukti sendiri dan merupakan hasil
dari pemikiran. Sang Buddha tidak menuntut dirinya atau memandang dirinya
sebagai pemilik cara yang unik untuk mendapatkan pengetahuan selain
daripada yang dipunyai dari para gurunya
, sebagai hasil dari pengetahuan ini, sang Buddha tidak tiba pada
kesimpulanyang sama seperti yang dicapai pendahulunya. Persepsi ekstrasensori
dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi bukan tujuan itu sendiri.
Perkembangan ekstrasensori (abhinna) dipandang sebagai suatu
kejadian kausal, yang memungkinkan seseorang memeriksa keadaan sebenarnya dari
keberadaan indria.
Buddhisme bukanlah
skeptisme keran lebih menekankan pada penitik beratan terhadap keterbatasan
pengetahuan dimaksudkan untuk mencegah orang jatuh kedalam jaring teori spekulatif.persepsi
atau kekuatan ekstrasensori yang diakui Sang Buddha adalah sebagai berikut;
§
Psikokinesis (iddhividha),
kekuatan tekad
§
Telinga Bathin (dibbasota),
kemampuan menangkap bunyi dari jarak jauh
§
Telepati
(cetopariyanana), kemampuan mengetahui pikiran orang lain
§
Retrokognisi (pubbenivasanussatinana),
kemampuan mengetahui kehidupan masa lalunya
§
Mata Bathin (dibbacakkhu atau
cut’upapatanana),kemampuan mengetahui kehidupan masa depan
§
Pengetahuan tentang penghancuran rangsangan
kotor (asavakkhayanana), kemampuan menembus Empat Kenyataan Mulia
Kausalitas
Kausalitas adalah pengetahuan tentang pola sebab akibat
yang memungkin beliau mengakhiri kecenderungan merusak dan karenanya berhasil
mencapai kebebasan Vimutti. Sebelum dan selam Buddha hidup, udara filsafat
India di tutupi oleh awan- awan teori metafisika, dan hal itu berlaku juga
terhadap konsep sebab akibat. Ada tiga golongan besar dari teori kausalitas;
disebabkan oleh faktor dari dalam (sayam katam), disebabakan oleh
faktor dari luar (param katam ), kombinasi dari penyebab dari
luar dan dalam (sayam katam ca param katam).
Menurut teori kaum Naturalis, sifat bawaan merupakan prinsip
yang mengatur alam fisika, dan manusia sendiri akibatnya ditentukan oleh
prinsip fisika ini oleh karena itu kejiwaannya tidak berperan apa-apa terhadap
tingkah lakunya. Sang Buddha setelah melalui dan mengalami berbagai kejadian
kausal mencapai nilai tengah emasdi antara dua ekstrim. Pengetahuan yang dapat
di alami itu adalah (Dhamme nana) ; pengetahuan tentang fenomena
yang terjadi secara bersyarat (paticcasmuppada- dhamma).
Seperti yang dikelompokkan oleh para cendikiawan berikutnya,
ada lima bidang yang dikuasai
kausalitas, yaitu:
·
Keteraturan fisis ( inorganik) (utu
niyama)
·
Keteraturan fisis (organik) (bija niyama)
·
Keteratura psikologi (citta niyama)
·
Keteraturan moral (kammaniyama)
·
Keteraturan spiritual ideal (dhamma
niyama)
Sabda Sang Buddha
“ Ia yang menyelami sebab akibat, menyelami Dhamma”
Ketiada- matian merupakan akibat akhir dari pencapaian
penerangan dan penghapusan keinginan. Tetapi hasil yang segera dari penerangan
adalah pencapaian kebahagiaan yang sempurna (paramam sukkham
)yang timbul dari ketiada keinginan atau ketiada keterikatan.
Tiga Ciri Keberadaan
Pada bab Kausalitas menerangkan mengenai muncul dan lenyapnya
segala sesuatu karena itu, segala sesuatu yang ada didunia ini adalah;
1)
Tidak kekal (anicca)
2)
Tidak memuaskan (dhukkha)
3)
Tidak berinti (anatta)
Ketidak kekalan seperti yang terdapat dalam sutta terdahulu
dapat dipastikan sebagai teori empirik, yang pada intinya adalah “Kedamaian
muncul bila timbul keseimbangan”. Menurut
pernyataan ini, segala sesuatu tidak kekal bukan karena mereka hanya muncul
sesaat, tetapi karena mereka berciri muncul (uppada) dan hancur (
vaya).
Para penafsir Barat menganggap Buddhisme amat bersifat pesimistik, pendapat ini muncul
karena kehidupan orang Barat yang bersifat materialistis dan mengutamakan
kepuasan indria sedangkan Buddhisme yang lebih menekankan pada kehidupan yang
sederhana, sehingga sangat wajar bila orang Barat beranggapan seperti itu.
Teori Upanisad tentang “diri” yang kekal dan tidak dapat mati
dimaksudkan untuk memuaskan keinginan manusia akan kebahagian abadi. Namun Sang
Buddha membalik teori tentang kekekalan jiwa dengan teori anicca, dukkha dan
anatta. Sang Buddha berpendapat bahwa materi menurut Buddhis adalah netral, nilai
negatif dan positif adalh bergantung pada manusia. Adapun yang melatar
belakangi teori tanpa inti dari Buddhisme, dikarenakan adanya kaum Eternalis
yang menyatakan bahwa realitas dan fenomena tentang diri adalah kekal. Teori
tanpa inti ini dipandang sebagai “jalan tengah” antara dua ekstrim,
Eternalisme dan Anihilasionisme. Jadi
ke- tanpa inti-an merupakan sinonim untuk kausalitas, dan unutk mereka, baik
yang di timur maupun yang di baratyang terbiasa berpikir dalam kerangka jiwa yang
abadi, teori ini merupakan sesuatu yang sulit untuk di pahami.
Karma dan Kelahiran Kembali
Penafsiran terhadap ajaran Buddha tentang karma dan kelahiran
kembali rupanya didasar pada dua anggapan; pertama, bahwa ajaran
tersebut diterima Sang Buddha terutama karena mereka terdapat pada aliran utama
tradisi kaum Brahmana dan petapa dan bukan karena mereka telah diperiksa dan
dibuktikan sendiri kebenarannya secara pribadi , kedua; bahwa mereka
tidak berbeda dengan teori pra Buddh dan bahwa Buddhisme tidak punya apa – apa
yang dapat disumbangkannya karena teori pra Buddha telah mencapai bentuk final
sejauh menyangkut teori ini.
Sang Buddha menemukan bahwa perilaku karma ditentukan oleh
salah satu di antara tiga faktor, yaitu;
Ø
Rangsangan luar ,karma yang timbul akibat adanya
kontak dari luar
Ø
Motif yang disadari, adanya keserakahan,
kebencian, dan pandangan sesat
Ø
Motif yang tidak disadari, adanya keinginan
untuk hidup langgeng
Apa yang hendak ditegaskan oleh Sang Buddha adalah kenyataan,
bahwa bergantung kepada keadaan karma dan sekelilingnya sewaktu suatu perbuatan
dilakukan maka kemudian dapat diharapkan akan timbul akibat yang sesuai.
Pendapat ini sangat jelas dicantumkan dalam Anguttara- nikaya.
Menurut Buddhisme awal kesadaran hanya akan berlanjut bila
terbetuk dalam suatu pribadi berbathin – jasmani baru dan dinyatakan sendiri
oleh Sang Buddha pengetahuan tentang kelahiran lalu seseorang dapat ditelusuri
melalui ingatannya.
A.J. Ayer, tokoh terkemuka dari aliran
Positivisme Logis berkomentar bahwa kelahiran kembali seperti yang disajikan
dalam kitab – kitab Buddha awal dipandang sebagai kemungkinan logis. Pada zaman
sekarang ini dapat pula dibuktikan mengenai kelahiran kembali yaitu dengan hipnotis
yang dapat di lakukan dengan bimbingan seorang hipnoterapist.
MORALITAS dan ETIKA
Buddhisme, tidak memisahkan pengetahuan dari kelakuan, teori dari
praktek. Tujuan terakhir dari pengetahuan atau panna adalah kebebasan (vimutti).
Filsuf Amerika, Jhon Dewey, menulis dalam bukunya “ The
Question for Certainty” sebagai berikut:
“ Manusia yang
hidup dalam dunia yang berbahaya ini dipaksa unutk mencari keamanan. Ia
mencarinya melalui dua cara. Yang satu mulai dengan usaha mengambil hati
kekuatan – kekuatan yang melingkupi dan menentukan nasibnya. Yang kedua,
mempersembahkan hati yang penuh penyesalan akan dosa dihargai lebih memuaskan
daripada persembahan korban”. Yang dimaksudkan oleh Dewey adalah :”bahwa
agama dijadikan perlindungan dengan berdasarkan pada kebudayaan setempatyang
melakukan pengorbanan untuk mendapat perlindungan dari dewa”.
Tujuan dari kehidupan beragama dimaksudkan untuk mencapai kebebasan dari
kelahiran (jati), dan dengan demikian menyingkirkan juga kelapukan dan
kematian. Dewey menegaskan kemunduran agama Brahmana pada masa Sang Buddha.
Buddhisme awal menitik – beratkan kenyataan bahwa seorang pemula tidak akan
dapat mencapai kebesan akhir sekaligus, tetapi harus melalui proses belajar
bertahap (anupubbasikkha), proses latihan bertahap ( anupubhakiriya)
dan proses praktek bertahap (anupubbbapatipada.)
Mereka yang telah mencapai tingkatan tertinggi dari kesempurnaan moral
adalah bagaikan teratai yang tumbuh di lumpur tetapi telah muncul ke atas dan
tidak tercemar (anupalitta) oleh air kotor. Mereka yang telah
melalui latihan moral demikian mampu mengembangkan kebajikan moral yang lebih
tinggi ( adhisila) dan konsentrasi mental ( adhicitta)
yang diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan yang lebih tinggi (adhipanna)
dan selanjutnya mencapai kebebasan (vimutty).
Jalan Mulia Berjalur Delapan (
ariya attahangiko maggo), yaitu;
1.
Pandangan benar ( samma ditthi)
2.
Pikiran benar (
samma sankappa)
3.
Ucapan benar (samma vaca)
4.
Perbuatan benar (samma kamanta)
5.
Mata pencaharian benar( samma ajiva)
6.
Daya upaya benar (samma vayama)
7.
Perhatian benar (samma sati)
8.
konsentrasi benar ( samma samadhi)
Menurut analisis
Sang Buddha, ada empat tipe orang di dunia ini:
1.
Orang yang menyiksa dirinya (attantapa),
seperti para petapa yang mempraktekkan penyiksaan diri
2.
Orang yang menyiksa orang lain (parantapa),
seperti para pemburu yang mencabut kehidupan mahkluk lain
3.
Orang yang menyiksa dirinya maupun orang lain (attantapo
ca parantapo ca), seperti orang yang melakukan pengorbanan
4.
Orang yang menyiksa bukan dirinya ataupun bukan lainnya
(neva attantapo na parantapo), seperti Arahat
Ludwig
Wittgenstein, berargumen sebagai berikut:
“ Jika segala
hal di dunia ini kebetulan, maka tak akan ada “nilai”di dunia ini, kerana
apapun yang mempunyai nilai tidak dapat merupakan kebetulan”. Adapun makna yang
tersirat sesungguhnya adalah segala sesuatu di dunia ini merupakan hasil dari
kausalitas ( sebab akibat).
NIRVANA
Menurut tafsiran Rune
E. A. Johansson, berkata ; “ Sudah diketahui umum bahwa Nibbana
merupakan summum bonum dari Buddhisme dan bahwa seorang yang
telah mencapai tujuan terakhir disebut Arahat”. Untuk menghindari kekaburan,
Nirvana terbagi menjadi dua aspek, yaitu: nirvana yang dicapai oleh Arahat
dalam kehidupannya dan nirvana yang dicapai Arahat setelah meninggal.
Deskripsi
tentang nirvana dalam Itivuttaka merupakan sumber yang paling
berharga dalam usaha untuk memahami konsep ini.Bentuknya adalah :
1.
Nirvana dengan sisa ( saupadisesa, yaitu
nirvana yang dicapai dalam kehidupan ini)
catatan
: bila manusia yang mencapai nirvana maka usianya hanya tujuh hari setelah
pencapaian. Apabila seorang bhikkhu yang mencapai nirvana dalam kehidupan ini
maka bhikkhu tersebut akan berumur panjang.
2.
Nirvana tanpa sisa ( anupadisesa, yaitu
Arahat yang telah meninggal)
Dari analisis
yang terdapat dalam Madhupindika sutta menerangkan tiga tipe
orang yaitu:
1)
Tipe pertama umumnya berusaha untuk menjalani kehidupan
baik dengan menghindari kejahatan.
2)
Tipe kedua adalah orang yang telah lanjut dalam menjalani
lintasan kemajuan spiritual dan telah mencapai tingkatan “ tak kembali”
3)
Tipe ketiga, ia
yang tidak terikat, bahwa dengan menghapus kesadaran diri melalui pengembangan
kebijaksanaan, proses pencerapan yang normal berubah.
Pernyataan lain dari Nikaya Pali, yang bunyinya sebagi
berikut: “Tumimbal lair telah dihancurkan; kehidupan luhur telah dijalani; apa
yang harus dikerjakan sudah dikerjakan; dan tak ada lagi kecenderungan akan ke
“ini” an. Dapat pula diartikan sebagai “ Tak ada keberadaan berikutnya “ bagi
seorang Arahat.
Jayatilleke,
dalam bukunya “ Early Buddhist Theory of Knowledge” berusaha
keras untuk memperlihatkan bahwa Buddhisme awal adalah bersifat empirik dan
tidak menerima sifat metafisika apapun yang tak dapat diperiksa secara empirik.
Jika setelah Sang Buddhamengatakan bahwa Arahat setelah meninggal tidak dapat
diuraikan sebagai berada (atthi) atau tidak berada (n’atthi),
tanpa menyebutkan apakah keberadaan itu empirik ataukah trasempirik, dan kita
tetap mengatakan bahwa Arhat berkelanjutan dan tidak lenyap, kita tentulah
hanya sedang memahami persoalan ini menurut kesukaan (ruci) dan ketidak
sukaan (aruci) atau menurut selera ( chanda) kita sendiri.
No comments:
Post a Comment