Sunday, April 1, 2012

KETIKA ANDA DI CAP ATHEIS

Oleh: Corneles Wowor, M.A.

Pola pikir atau paradigma kita (terutama) dengan yang bukan Buddhis sangat berbeda. 

Orang sering membuat suatu rumusan sesuai dengan pendapatnya dan menuntut orang lain mengikuti rumusan-rumusan dari sistemnya tersebut sehingga pada akhirnya tidak ada titik temu. 

Sebagai contoh, kata 'baik' saja tidak sama artinya bagi non Buddhis. Kalau ia menangkap ikan lalu dipotong, dimasak, kemudian dimakan, itu dikatakan baik. Bagi konsep Buddhis, pada saat menangkap ikan saja dikatakan menyiksa, jika ia sampai memakan ikan tersebut, itu merupakan karma buruk meningkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbuatan itu salah dan tidak baik. 

Banyak orang yang pusing dan mempermasalahkan konsep Ketuhanan. Jika seseorang tidak percaya kepada "Tuhan" dan tidak mempunyai suatu agama tertentu untuk dianut, maka ia dikatakan atheis. Kata atheis berasal dari Bahasa Yunani yaitu: "a" artinya tidak, dan "teos" artinya deva. Tetapi banyak agama yang menyebut theis sebagai "Tuhan", dan mereka menyebut agamanya adalah Agama Tuhan.

Dalam ajaran lain dikatakan bahwa Tuhan itu juga mempunyai rasa amarah, mengusir ciptaanNya karena melakukan pelanggaran, pilih kasih dengan hanya menyelamatkan keluarga tertentu dan membinasakan orang yang tidak taat padaNya, apakah "Tuhan" memiliki sifat-sifat makhluk seperti layaknya manusia? 


Menurut konsep lain juga dikenal adanya malaikat. Dalam kontek Agama Buddha sendiri, malaikat itu bisa dikatakan sebagai Deva Catu-Maharajika dan Tuhan seperti itu dikatakan sebagai Maha Brahma. 

Jadi kalau kita sebagai Umat Buddha dikatakan atheis, mungkin harus dipertanyakan atheis yang seperti apa. Jika "Tuhan" seperti konsep mereka yang dimaksud di atas, boleh saja kita tidak percaya. Apakah Anda ingin konsep "Tuhan" seperti itu yang posisinya sebagai Deva atau Maha Brahma saja?

Model-model Ketuhanan dalam agama umumnya diterangkan secara antropologis yaitu "Ia" menyerupai (bentuknya) seperti manusia, bertemu dengan seorang Nabi kemudian berdialog langsung. "Ia" juga mempunyai sifat-sifat seperti layaknya manusia yaitu Pengasih, Penyayang, Murka, Marah, Cemburu bila diduakan, dan lain-lain.

Dalam konsep Buddhis, sifat-sifat di atas adalah sifat dari Deva yang miccha-ditthi (berpandangan salah). Dikatakan demikian karena "Ia" murka, marah. Kalau kita mengikuti cerita riwayat kehidupan Buddha Gotama, bagaimana Sang Buddha diganggu (bukan digoda), baik Beliau sebagai petapa maupun sudah menjadi Buddha, diganggu oleh Mara. Mara yang mengganggu ini salah satunya adalah makhluk hebat. 

Bisa jadi Deva Catu-Maharajika yang mempunyai kemampuan dapat muncul cepat, menyamar, bahkan bisa berkomunikasi dengan manusia. Deva tingkat ini ada disekeliling kita, akan tetapi kadang-kadang bisa juga Asura yang menyamar jadi Deva. Kalau makhluk tersebut munculnya bercahaya, itu adalah deva dari Surga Tavatimsa, lebih tinggi lagi dari Yama dan Tusita. Kalau makhluk tersebut silanya lebih hebat, ia akan terlahir di alam deva tingkat keenam yaitu Nimmana-Rati. Tapi deva tingkat keenam terjadi karena silanya baik. Deva bisa dikatakan miccha-ditthi (berpandangan salah) karena sebelum menjadi deva, pada kehidupan sebagai manusia ia orang baik dan suka berdana, melaksanakan sila, tetapi bodoh, maka jika ia menjadi deva mengalami miccha-ditthi sehingga melakukan kesalahan. Jadi deva-deva itu bisa juga mempunyai pandangan yang salah dengan menganggap dirinya hebat.

Kalau kita membaca Brahmajala Sutta diceritakan bahwa: ada makhluk yang karena kammanya habis di alam jhana ke-2, ia mati dan terlahir di alam brahma; setelah cukup lama di sana lalu yang lain datang belakangan, yang pertama berpikir 'sudah lama saya di sini, begitu saya berpikir ada makhluk lain datang, mereka muncul, jadi mereka muncul karena saya, saya menciptakan mereka dengan kekuatan pikiran saya', dan makhluk yang belakangan berpikir 'saya tidak tahu tiba-tiba ada di sini, ia lebih dulu ada di sini'; jadi di alam brahma ini pun miccha-ditthi muncul, lalu makhluk-makhluk yang belakangan muncul mati dan lahir di alam manusia; sesudah menjadi manusia mereka bermeditasi dan berhasil mencapai jhana pertama dan mereka ingat satu kehidupan yang lampau, ketika mereka ada di alam brahma dan di sana Maha Brahma ada; dan sekarang saat menjadi manusia, Maha Brahma masih ada di situ maka mereka berpikir 'Ia Kekal', Maha Brahma sudah diclaim sebagai Pencipta. Sesungguhnya di Alam Deva Brahma pun ada masanya dan kalau kamma kehidupan di sana sudah habis, maka Maha Brahma pun akan mati.

Dalam konsep Agama Buddha, berbicara tentang "Tuhan" adalah sesuatu yang mutlak, tidak bisa diterangkan, sebab "Ia" tidak mempunyai model. Tuhan itu tidak bisa diterangkan dalam bentuk apapun, tidak dilahir, tidak dibuat, tidak diciptakan, dan tidak berfenomena. Dengan kata lain, kita tidak mengetahui apa-apa tentang "Dia". Laksanakanlah Sila, Samadhi, dan Panna, begitu mencapai tingkat kesucian, pada waktu itulah kita tahu tentang "Tuhan" yang sebenarnya. Jadi kalau kita yang masih di bawah ini sekarang berbicara tentang "Tuhan", itu adalah "Tuhan" dalam bentuk teori. Timbul lagi pertanyaan: jadi yang sebenarnya "Tuhan" itu bagaimana? 

Bagaimana kita mengetahui tentang "Tuhan" jika kita belum suci. Sesungguhnya bagaimana dan apapun yang kita bicarakan tentang "Tuhan", itu hanya terdapat dalam kitab suci saja. Kalau berbicara sejujurnya, kita semua mengetahui tentang "Tuhan" dari orang-tua, dari kitab suci, dan dari cerita-cerita. Semua agama sama saja, hanya teori dari kitab suci. Jadi apapun yang kita bicarakan hanya teori, dan jika kita mencoba mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, kita hanya merealisasikan semuanya dalam bentuk harapan. Semua orang yang belum suci pasti pernah menyangsikan apakah benar ajaran agamanya, apakah konsep "Tuhan"nya sudah benar? Akan tetapi bagi agama tertentu, rasa ragu dan ingin bertanya itu tidak boleh ada. Berbeda dengan kita Umat Buddha yang boleh dan bebas berpikir serta bertanya tentang hal tersebut. Setelah kita banding-bandingkan secara teori atau memakai nalar, ternyata Konsep Tuhan menurut Ajaran Buddha itu jauh lebih canggih, masuk akal, dan sesuai dengan nalar kita. 

No comments:

Post a Comment