Monday, September 23, 2013

Kejadian Bumi dan Manusia Menurut Agama Buddha


Semoga Anda Sehat, Panjang Umur, sejahtera dan Bahagia...

Pada kesempatan ini saya akan mencoba membahas tentang "Kejadian Bumi dan Manusia menurut agama Buddha".

Hal yang utama harus dipahami adalah, dalam ajaran Buddha berlandaskan pada "sebab-musabab yang saling bergantungan", atau sering dikenal dengan "Patticcasamuppada". Pengertian ini harus dipahami segala sesuatu di alam semesta ini muncul dan lenyap karena ada sebab yang mendahuluinya, bukan berdasarkan konsep penciptaan tunggal. Dalam kata lain, tidak ada satupun yang yang terbentuk tanpa sebab. Begitu juga tidak ada satupun yang hancur tanpa sebab. Namun demikian juga harus dipahami sebab yang dimaksud adalah bukan hanya satu sebab tunggal melainkan berbab akibat yang saling berhubungan satu sama lain.


Sebagai perumpamaan dapat digambarkan seperti sebuah mobil. Dapat disebut sebuah mobil karena terdiri dari banyak sebab/unsur; ada ban mobil, pintu, mesin, bahan bakar, besi, kabel instalasi, dan banyak lagi bagian-bagian dari mobil, dengan adanya unsur-unsur tersebut disebutlah sebuah mobil. Jadi dapat dikatakan bahwa disebut sebagai mobil karena banyak unsur/sebab yang mengkondisikannya. Jika dilihat dari kacamata kebenaran mutlak maka kata "mobil" hanyalah sekedar konsep atau kesepakatan saja, karena dibalik nya terdapat sebab-sebab atau unsur-unsur yang mengkondisikannya.

Nah.. perumpamaan di atas merupakan konsep awal yang harus dipahami sebelum kita mengetahui bagaimana konsep "Kejadian Bumi dan Manusia Menurut Agama Buddha".

Selanjutnya dijelaskan bahwa, kejadian bumi dan manusia menurut pandangan Buddhis adalah berlangsung dalam proses yang sangat lama sekali. Proses kejadian ini merupakan suatu proses evolusi, namun bukan seperti evolusi dari teori Darwin, hal ini dapat kita ikuti pada uraian berikut ini;

Secara tekstual kejadian bumi disebutkan secara singkat dalam Mahaparinibbana Sutta, ketika Sang Buddha menerangkan tentang Delapan sebab gempa bumi kepada bhikkhu Ananda sebagai berikut: ‘Bumi yang sangat luas ini terbentuk dari zat cair; zat cair terbentuk dari udara, dan udara ada di angkasa”.    (Mahaparinibbana Sutta) 

Selanjutnya dalam proses pengerasan bumi dari zat cair ke padat, manusia muncul di bumi adalah banyak sekali jumlahnya. Proses terbentuknya bumi dan manusia yang muncul di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Aganna Sutta, Patika Sutta dan Brahmajala Sutta, yang merupakan bagian dari Digha Nikaya, Sutta Pitaka. Tetapi pada kesempatan ini, hanya Aganna Sutta yang akan dikutip, yang merupakan percakapan Sang Buddha dengan Vasettha, sebagai berikut :

“Vasettha, terdapat suatu waktu, cepat atau lambat, setelah berselang suatu masa yang lama sekali, ketika bumi ini mulai terbentuk kembali. Ketika hal ini terjadi, mahkluk-makhluk yang meninggal di Abhassara (alam cahaya), biasanya terlahir kembali di bumi sebagai manusia. Mereka hidup seperti itu dalam masa yang lama sekali. Pada waktu itu, (bumi) semuanya terdiri dari air dan gelap gulita. Tidak ada Matahari dan bulan yang nampak. Tidak ada bintang maupun konstelasi yang kelihatan, siang maupun malam belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk saja. Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali, bagi makhluk-makhluk tersebut, sari tanah (Rasa Pathavi) muncul dari air. Sama seperti bentuk-bentuk busa di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah muncul tanah itu. Tanah itu berwarna, bau dan rasanya sama seperti dadi susu atau mentega mumi, demikianlah warna tanah itu, sama seperti madu tawon murni demikianlah manis tanah itu.

Kemudian, diantara makhuk-makhluk yang memiliki sifat serakah mencicipinya, maka merka diliputi oleh rasa sari tanah itu, dan nafsu keinginan muncul dalam diri mereka. Makhluk-makhluk mulai makan sari tanah .... Dengan melakukan hal itu, maka cahaya tubuh mereka meredup dan lenyap, bersamaan itu maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak.  Demikian pula dengan siang dan malam .... Demikianlah, sejauh itu bumi terbentuk kembali.

Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati sari tanah, .... Berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh mereka. Ada makhluk-makhluk yang memiliki tubuh indah dan ada makhluk-makhluk yang memiliki tubuh buruk. Karena keadaan ini, maka mereka yang memilki bentuk tubuh indah merendahkan mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk, dengan berpikir: “Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita. Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh sehingga mereka menjadi sombong dan congkak, maka sari tanah itu lenyap .... kemudian, ketika sari tanah lenyap bagi makhluk-makhluk itu muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (Bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan. Tumbuhan ini memiliki warna, bau dan rasa seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tubuh itu, sama seperti madu tawon murni demikianlah manisnya tumbuhan itu .... Mereka menikmati, mendapatkan masakan, hidup dengan yang lama sekali...., maka tubuh mereka berkembang menjadi lebih padat, perbedaan tubuh mereka nampak jelas, sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk.... Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka sehingga mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (Badalata), muncul. Cara tumbuhnya seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna tumbuhan itu, sama seperti madu tawon murni manisnya tumbuhan itu.

Vasettha, kemudian makhluk-makhluk itu mulai makan tumbuhan menjalar tersebuh. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dari tumbuhan menjalar tersebut. Hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.... Maka tubuh mereka menjadi semakin padat, perbedaan bentuk tubuh mereka nampak semakin jelas.... Mereka bangga akan keindahan diri mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itupun lenyap...

Vasettha, kemudian... Muncullah tumbuhan (semacam) padi (Sali) yang matang dalam alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum dengan butir-butir bersih. Bilamana pada sore hari mereka mengambilnya dan membawanya untuk makan malam, maka pada keesokan paginya itu telah tumbuh dan masak kembali. Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus-menerus padi itu muncul.

Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut. Hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh padat, sehingga perbedaan tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (Itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (Purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laiki dan laki-laki memperhatikan tentang keadaan wanita, maka mereka saling memperhatikan diri satu sama lain terlalu lama, maka timbullah nafsu indera yang membakar tubuh mereka. Selanjutnya sebagai akibat adanya nafsu indera tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (Methuna). (Agana Sutta).

Dari uraian sutta diatas sebenarnya tujuan Dhamma Ajaran Sang Buddha lebih cenderung dipergunakan untuk mengendalikan pikiran, ucapan dan perbuatan. Serta, kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri ini sama sekali tidak ada hubungan langsung dengan pengetahuan tentang manusia pertama. Tanpa mengetahui manusia pertama sekalipun, seseorang bisa saja mencapai kesucian. Namun, dalam salah satu kesempatan, kepada mereka yang telah mempunyai kemampuan batin dari latihan meditasi yang tekun sehingga mampu mengingat berkali-kali muncul dan hancurnya bumi, barulah Sang Buddha menceritakan terjadinya manusia pertama. Cerita Sang Buddha hanya kepada mereka yang mampu mengingat terbentuk dan hancurnya bumi ini agar ada orang yang bisa menyaksikan serta mengingat sendiri peristiwa yang disampaikan Sang Buddha. Tentu saja, sikap Sang Buddha ini berhubungan dengan pengertian dasar dalam Dhamma yaitu ‘datang dan buktikan’ (ehipassiko), bukan ‘datang dan percaya saja’.

Dalam kisah yang disampaikan oleh Sang Buddha, manusia pertama bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan banyak. Mereka bukan hasil ciptaan. Mereka merupakan hasil sebuah proses panjang bersamaan dengan proses terjadinya bumi beserta planet-planetnya. Seperti diketahui bahwa dalam pengertian Dhamma, tata surya seperti yang dihuni manusia saat ini bukan hanya satu melainkan lebih dari satu milyar jumlahnya. Masing-masing tata surya ketika kiamat akan terbentuk lagi. Pada saat terjadinya bumi ini, datanglah mahluk-mahluk berupa cahaya dari tata surya yang lain. Mereka berproses bersamaan dengan proses pembentukan tata surya ini. Dalam proses tersebut mereka tertarik mencicipi dan mengkonsumsi sari bumi, sari tumbuhan dsb. Ketertarikan mereka menyebabkan tubuh cahaya menjadi redup dan mulai terjadilah proses pembentukan tubuh, jenis kelamin, persilangan serta keturunan. Dan, sekali lagi, manusia pertama karena merupakan hasil proses seperti ini, jumlahnya tidak bisa ditentukan lagi. Sangat banyak. Mereka berproses dan berevolusi secara lambat sampai membentuk manusia sekarang. Hanya saja, dalam Dhamma juga tidak membenarkan maupun menolak pandangan ilmu pengetahuan modern bahwa manusia berasal dari monyet. Sikap ini sehubungan dengan kepastian bahwa asal manusia dari monyet ataupun bukan sama sekali tidak ada kaitan dengan keberhasilan seseorang untuk mencapai kesucian ataupun Nibbana.# Berikut ini artikel pendukung konsep "penciptaan" dalam agama Buddha: Awal Mula "Penciptaan" dalam ajaran Buddha. Baca juga Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dalam Agama Buddha

2 comments: