Wednesday, March 21, 2012

Mitos dan Tradisi dalam Agama Buddha


Mitos dan Tradisi dalam Agama Buddha
Menurut Sudut Pandang Tantrayana

Oleh: Y.M. Lama Yeshe Dorje

Minggu kedua bulan Juni ini ruang altar agaknya dipenuhi umat Buddha yang mendengarkan dhammadesana pada saat kebaktian umum tanggal 13 Juni 1999. Jika Anda kebetulan menyimak pembabaran dhamma oleh Lama Yeshe Dorje mengenai beberapa mitos atau tradisi yang masih dianut oleh sebagian umat Buddha pasti Anda telah memahaminya , tapi bagi Anda yang melewatkan kesempatan ini jangan kecewa, karena BVD kembali me-resume dhammadesana saat itu. Dengan mendengarkan uraian Dharma ini, diharapkan dapat mengetahui asal mula dan sebab dilakukannya tradisi tersebut sehingga umat Buddha dengan berpikir dan membuktikannya sendiri akan dapat menghapus tradisi-tradisi yang kurang benar. Topik yang dibahas, di antaranya adalah:
1. Altar dan keberuntungan.

Dalam peletakan Buddharupang Altar selayaknya bersih karena di tempat itulah kita menghabiskan waktu untuk pembacakan parita, meditasi dan perenungan. Dalam Tantrayana digunakan pula hiolo (tempat dupa). Untuk menghemat uang, kita dapat pula membuatnya sendiri dari bambu . Jika abunya sudah banyak maka dapat kita buang. Terkadang dalam peletakan Buddharupang di altar dikaitkan pula dengan hoki atau keberuntungan. Sebenarnya Sambogha Kaya Buddha ada dimana-mana, termasuk disetiap ruangan dialam ini, jadi peletakannya di mana saja bukanlah masalah. Kepercayaan bahwa jika di ruangan altar ada lubang, maka rejeki akan keluar lewat lubang itu. Hal tersebut tidaklah benar. Seperti layaknya kita memberikan penghormatan kepada orang tua kita dimana memberikan apa yang terbaik, maka selayaknya pula peletakan Buddharupang adalah di suatu altar yang bersih, di tengah ruangan, (sebaiknya jangan di pojok). Peletakan Buddharupang pada kamar atau ruangan yang terbatas, misalkan kita sebagai mahasiswa yang sedang menimba ilmu, maka dapat diletakan dalam lemari yang di dalamnya disediakan meja. Pada saat kita melakukan puja, lemari tersebut dapat dibuka dan setelah selesai dapat ditutup kembali. Ataupun jika situasi lebih memungkinkan dapat ditaruh di tembok, sedang potret para guru dapat ditutup dengan kain merah atau kuning setelah melakukan puja. Akan tetapi yang terpenting dari semua hal diatas adalah pelaksanaan puja dan penerapan Dharma itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari, hal itu yang membawa kita pada keberuntungan, memupuk karma baik kita dan mengurangkan karma buruk.
2. Pantangan pembacaan parita bagi wanita yang sedang menstruasi.
Banyak orang mengatakan jika seorang wanita sedang haid, maka jangan sekali-kali datang ke Vihara dan membaca parita-parita suci, akan tetapi terkadang orang yang mengatakan hal itu sendiri tidak mengetahui alasannya. Haid bukan merupakan sesuatu yang dibuat oleh manusia ataupun sesuatu yang menjijikkan. Dalam pembacaan parita itu yang terpenting adalah terjaganya kebersihan pikiran kita, dan justru lebih berbahaya lagi jika pikiran kita penuh kekotoran, itu yang sulit untuk dibersihkan. Hal ini akan berbeda lagi, Jika kita berbicara tentang Miau (kelenteng), karena di dalamnya terdapat Sinbeng (dewa-dewa) yang memiliki kekuatan dimana mereka menyukai persembahan darah segar, sedang pada saat haid, wanita tersebut membawa darah kotor. Jadi akan lebih bijaksana kalau pada saat haid, wanita tersebut tidak ke Klenteng bukannya ke Vihara.
3. Larangan untuk membacakan Mantra tertentu?
Seringkali ada yang menanyakan apakah seorang umat awam boleh membaca parita atau Mantra-mantra tertentu. Dalam Tantrayana diharuskan adanya Abhiseka (Rei, inisiasi,red) bagi pembacaan parita tersebut, yang hanya dibaca oleh Guru yang mencapai tingkat suci, sedangkan selebihnya boleh dilafalkan oleh umat awam. Dalam aliran Mahayana dan Theravada tidak ada aturan-aturan khusus mengenai hal tersebut.
4. Pemujaan Sin Beng (dewa,red) atau Sin Tien Siang Tee
Peletakan antara Buddharupang dengan Sin Beng secara berjejer agak merumitkan, mungkinkah keduanya dapat bertengkar????. Hal seperti itu tampaknya diragukan dan mengada-ada saja. Akan tetapi yang rumit adalah bahwa kita sebagai umat Buddha tidak melakukan persembahan berupa daging seperti persembahan kepada Sin Beng, melainkan puja kita berupa air, wewangian dupa, bunga yang mengingatkan kita akan ketidakkekalan badan jasmani kita, lilin dan buah. Jumlah buah tidak harus ditentukan dan buah itupun dapat kita makan setelah selesai puja. Lalu peletakan Sin Beng adalah sedikit lebih rendah dari Buddharupang, karena memang beda tingkatannya. Terkadang pula dalam pelaksanaan puja kita sering mengalami keresahan,
dalam hal ini kita harus lebih mengkonsentrasikan diri dengan bermeditasi, menvisualisasikan (memunculkan di pikiran dengan hormat, berbeda dengan imaginasi,red) dengan mengangap bahwa kita berada di tempat suci dan di depan kita adalah Buddha yang suci, barulah kita
dapat melakukan visualisasi dengan tenang.
5.Pembunuhan Terhadap Mahkluk-makhluk Hidup?
Apakah kita tidak boleh membunuh nyamuk yang merupakan sumber penyakit, semut yang sering mengotori lantai dan dinding rumah kita ataupun hewan yang mengancam nyawa mahkluk lain?, apakah dengan membunuh mereka maka kita akan masuk ke neraka. Pertanyaan ini merupakan sesuatu yang dapat dijawab oleh Anda sendiri, karena jika Anda melakukan maupun tidak
melakukannya, karma itulah yang anda terima. Nyamuk dilahirkan untuk menerima karma, mungkin mereka akan terlahir kembali ribuan atau bahkan jutaan kali dalam wujud yang sama. Jika kita tidak membunuhnya, maka akan terlahir kembali dalam wujudnya yang sama sampai
karma buruk yang harus ditanggungnya habis. Jika kita membunuh untuk menyelamatkan orang lain atau memberantas penyakit maka tetap saja kita akan memperoleh karma buruk tetapi karma yang akan kita terima tentunya berbeda jika kita melakukannya tanpa kebenciaan (tergantung motivasi,red) dan demi menolong mahkluk lain. Jangan sampai kita menganggap nyawa/jiwa
nyamuk itu lebih ringan dari manusia. Apakah kita mampu menimbangnya, apakah kita dapat menciptakan nyamuk itu untuk hidup kembali? "Dikisahkan, dahulu kala dulu terdapat bhikkhu tua yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat, beliau mampu melihat alam kehidupan lain dengan meditasinya dan melihat apakah yang dapat dibantunya. Suatu ketika ia mendapatkan bahwa umur kehidupan dari samanera cilik, seorang pelayan yang sering membantunya hanya tersisa satu minggu lagi. Dengan perasaan berat hati dan welas asih, maka ia menyuruh bocah cilik itu untuk pulang berlibur ke rumah orang tuanya selama satu minggu dan memberi buah-buahan sebagai bekal. Akan tetapi satu minggu kemudian samanera cilik itu kembali dengan wajah berseri-seri. Bhikkhu itu bingung apakah ada yang salah dengan meditasinya, akhirnya ia mendapati bahwa sewaktu ia pulang, di daerah kaki gunung yang saat itu basah karena kikisan hujan terdapat ribuan ekor semut yang terenggap-enggap di kubangan, dan dengan welas
asihnya yang sangat tinggi ia bertindak cepat menggunakan ranting pada bekal buahnya itu, berusaha agar semut-semut itu mencapai ranting itu dan berulang-ulang ia lakukan hingga semut-semut itupun terselamatkan.
6. Vegetarian Yang Ekstrim?
Berbagai pendapat yang memusingkan antara boleh atau tidak untuk memakan telur dan susu bagi seorang vegetarian. Bahkan ada pula yang terlalu ekstrim sampai makan di daun dengan tangan. Kita harus tahu bahwa vegetarian dianjurkan dalam agama Buddha akan tetapi tidak diwajibkan. Tujuannya baik yaitu melatih cinta kasih, mengikis kemelekatan, tetapi bukan
satu-satunya cara menuju kesucian, inti dari semuanya itu adalah pengendalian pikiran, ucapan dan perbuatan.
7. Memperdagangkan Mahkluk Hidup?
Tambak udang, ternak ayam, dan sejenisnya apakah boleh dilakukan oleh umat buddhis?. Jika kita renungkan bahwa hewan tersebut menerima karma yang berat. Kita secara tidak langsung ikut terlibat dalam pembunuhan tersebut. Akan tetapi adakah perbedaan jika mereka lahir di tambak orang lain dan di tambak kita? Pasti ada sesuatu yang dapat kita lakukan, dengan membacakan mantra-mantra pelimpahan jasa dan kita melakukan sujud pula agar hewan-hewan tersebut mencapai alam kehidupan selanjutnya yang lebih baik. Semua mahkluk tidak menginginkan dirinya dibunuh, coba anda bayangkan saja bagaimana rasanya jika tangan kita terpotong, lalu seperti kepala babi-babi yang akan dipenggal. Jadi jika kita sebagai umat Buddhis mampu mencari usaha mata pencaharian yang baik, mengapa kita tidak berganti saja. Satu hal lagi, yang patut kita syukuri, bahwa kita terlahir dalam wujud manusia, tanpa cacat. Memperoleh wujud sebagai manusia pada kehidupan ini diibaratkan seperti lolos dari timpaan yang sangat
berat, oleh karena itu jalankanlah sila saat anda masih memiliki kesempatan untuk melaksanakannya!
Setelah penjelasan Dhammadesana yang cukup panjang lebar pagi hari itu, diberikan pula kesempatan tanya jawab kepada para umat, ada tiga pertanyaan.
Pertanyaan pertama alasan diadakannya Liamkeng (membaca sutra) bagi orang yang meninggal, hal ini dijawab dengan senda gurau oleh Lama bahwa orang meninggal tidak dapat melakukan liamkeng bagi dirinya sendiri. Dalam Liamkeng itu sendiri biasanya ada pembacaan parita, yang bertujuan sebagai pelimpahan jasa, juga melepaskan raga dari keterikatan pada keduniawiaan. Dalam Tantrayana seseorang yang meninggal memiliki getaran tak terbatas, kesadarannya
masuk ke alam bardo (alam peralihan saat menusia meninggal), dapat pula menitis menjadi satu atau lebih, seperti penelusuran kisah Rinpoche (Tulku) oleh para muridnya.
Pertanyaan kedua mengenai sejarah Rinpoche, Apakah Tantrayana itu? dan apakah ada buku yang membicarakan tentang konsep Tantrayana itu sendiri? Tantrayana dalam pengajarannya memiliki silsilah dan ajaran turun-menurun, yang ditransmisi dari mulut ke mulut, hingga dibukukan oleh para Guru. Perbedaan Tantrayana dengan kedua aliran Buddhis yang lainnya diibaratkan ada sebuah pohon yang memiliki buah beracun, maka ajaran dari ketiga aliran ini berbeda mengenai bagaimana untuk mengatasi racun tersebut. Dalam Theravada hal tersebut diatasi dengan adanya aturan atau rambu-rambu untuk tidak menikmati buah tersebut yaitu dengan sila, sedangkan dalam Mahayana, usaha yang dilakukan dengan memberitahukan kepada orang bahwa buah pada pohon tersebut beracun, berusaha pula agar racun tersebut dikorek agar habis. Akan beda lagi dalam Tantrayana yang menganggap bahwa segala
sesuatunya seimbang, adanya Yin dan Yang (negatif dan positif,red), jika ada keburukannya, pasti ada pula manfaatnya, dan hal itulah yang diambil.
Pertanyaan ketiga yang diikuti komentar pula mengenai membersihkan hiolo pada hari-hari uposatha, yaitu setiap tanggal 1,8,15 dan 23. Pertanyaan apakah ada pula Bhikkhu atau samanera di Tibet selain Rinpoche dan istilah "ciong" dalam Tantrayana?? Dijelaskan pula
bahwa kata ‘Rinpoche’ itu sendiri berarti Yang Terhormat (Yang termulia,red), Yang Termulia memiliki dua macam pengertian, yaitu Mereka yang benar-benar merupakan titisan Rinpoche sebelumnya yang sering disebut "Tulku". Mereka yang mencapai kesucian tinggi dan sangat berjasa sehingga berhak memperoleh sebutan tersebut Selain Rinpoche, ada pula Bhikkhu di Tibet dipanggil dengan sebutan Gelong dan Bhikuni (Ani), Samanera ,para Yogi dan ada pula para pendeta atau romo yang disebut dengan panggilan Lopon. "Ciong" itu sendiri merupakan istilah dari Tiongkok yang sebenarnya dalam Tantrayana diakui memang ada, bahkan para tokoh agama Tibet belajar dari guru-guru besar Cina mengenai hal ini, karena dipercaya Manshu
Bhodisatva menitis disana. Ada kalanya kalacakra atau perputaran roda waktu tidak setiap saat selalu baik, ada kalanya energi yang memancar itu buruk dan bersamaan dengan lahirnya orang tertentu. Diibaratkan jika kita akan memasak, akan tetapi angin kencang datang, sehingga diperlukan penangkal, atau seperti payung untuk menlindungi kita dari panas terik matahari, akan tetapi payung tersebut tidak abadi, jadi hal ini kembali kita alihkan kepada Dhamma, yaitu karma.
"Bila engkau bertemu dengan orang bijaksana, yang menunjukan salah dan benar seperti orang menunjukkan harta karun, bergaullah dengannya; akan sangat baik dan tidak merugi mengikuti orang seperti itu" (Dhammapada VI:76)
Sumber: Berita Vimala Dharma

No comments:

Post a Comment