Jejak-jejak Tantrayana di
Nusantara
Tim Wacana Nusantara
14 August 2009
Mungkin sebagian dari kita masih ada
yang kurang paham: apa Tantrayana itu, agama atau sekte dari sebuah agama?
Lalu, adakah hubungannya dengan Buddha atau Hindu? Tentu ada karena ternyata
Tantrayana merupakan perkembangan dari agama Hindu-Siwa dan Buddha itu sendiri.
Maka dari itu, mari kita telusuri sekilas sejarah kemunculan Tantrayana
ini.
Perpaduan Hindu Siwaisme dengan Buddha Mahayana
Dasar-dasar paham Tantra sebenarnya
telah ada di India sebelum bangsa Arya datang di India, jadi sebelum kitab Weda
tercipta. Pada masa itu, di peradaban lembah Sungai Sindu, cikal-bakal paham
Tantra telah terbentuk dalam praktik pemujaan oleh bangsa Dravida terhadap Dewi
Ibu atau Dewi Kemakmuran. Dalam salah satu seloka lagu pujaan, Dewi ini
dilukiskan sebagai penjelmaan kekuatan (sakti) penyokong alam semesta.
Timbullah paham Saktiisme, atau disebut juga Kalaisme, Kalamukha,
atau Kalikas (Kapalikas), yang dianut oleh penduduk asli India
tersebut. Karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka oleh
bangsa Arya disebut Sudra Kapalikas.
Aliran ini memusatkan pemujaan
terhadap Devi/Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali). Sebagai sakti
(istri) Dewa Siwa, kedudukan Dewi Durga ini lebih ditonjolkan daripada dewa itu
sendiri. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran ini
disebut Kalimasada (Kali-Maha-Husada), artinya “Dewi Durga adalah obat
yang paling mujarab” dalam zaman kekacauan moral, pikiran, dan perilaku.
Pengikut Saktiisme ini tidak mengikuti sistem kasta dan Veda (Weda).
Dalam menunaikan ajaran, pengikutnya melaksanakan Panca Ma yang diubah
arti dan pemahamannya menjadi pemuasan nafsu; maka dari itu akhirnya aliran ini
dikucilkan dari Veda, keluar dari Hindusme.
Syahdan, ketika terjadi peperangan
antara bangsa Arya melawan Dravida, lahirlah Sadashiva, artinya
"dia yang selalu terserap dalam kesadaran", yang kemudian dikenal
sebagai Shiva (Siwa), seorang guru rohani. Sumbangan terbesar Siwa terhadap
peradaban adalah pengenalan konsep dharma. Seperti ajaran kuno lain,
ajaran Siwa disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru kemudian dituliskan ke
dalam sebuah kitab. Istri Siwa, Parvati (Parwati), sering bertanya padanya
mengenai pengetahuan rohani. Siwa memberikan jawabannya, dan kumpulan
tanya-jawab tersebut dikenal sebagai Tantra Shastra. Prinsip-prinsip
Tantra terdapat dalam Nigama, sedangkan praktik-praktiknya dalam buku Agama.
Sebagian buku-buku kuno itu hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti
karena tertulis dalam tulisan rahasia yang dimaksudkan untuk menjaga
kerahasiaan Tantra terhadap mereka yang awam. Kitab-kitab yang memuat ajaran
Tantrayana banyak sekali, kurang lebih ada 64 macam, antara lain: Maha
Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya
Tantra.
Istilah Tantra berasal dari kata tan,
artinya “memaparkan kesaktian/kekuatan dewa”. Tantra sendiri bisa diartikan
sebagai intisari, esensi, atau asal. Dalam
perkembangannya, paham ini begitu memuja sakti Siwa secara ekstrim.
Setelah abad ke-5, paham Tantrayana ini muncul di tenggara Benua India di
daerah Bengal dan Assam.
Dan sejak kematian Siwa, tak
ada guru yang sepadan lagi dengannya, dan Tantra pun mengalami kesurutan.
Berbagai ajarannya hilang dan sebagian lagi melenceng. Padahal, dalam kitab Wrehaspati
Tattwa, rumusan sakti adalah: orang banyak ilmu dan banyak kerjanya.
Jadi, orang sakti itu adalah orang yang rajin belajar dan banyak kerja
mengamalkan ilmunya. Demikian pula praktik upacara Tantrayana, yakni Maka
Kama Pancaka atau lebih terkenal dengan Panca Ma atau Malima,
sering disalahartikan. Panca Ma (Lima M) itu adalah: madya, mamsa,
matsya, mudra, dan maithuna. Ajaran tersebut lebih diarahkan kepada
konsep karma marga, bakti yoga, dan jnana marga.
- Mada/Madya(kebingungan/tengah), artinya lebih kepada jalan tengah, tidak terlalu banyak atau kurang, tidak terlalu keras atau lemah, yang kemudian ditafsirkan menjadi mabuk minuman atau tidak sadar.
- Mamsa (mam=aku, sa= pertiwi/tanah), artinya lebih kepada memadamkan nafsu dan keinginan, mematikan semua indra, yang kemudian ditafsirkan menjadi memakan daging dan meminum darah.
- Matsya (nyaman, luwes, mengalir), artinya lebih kepada keluwesan pergerakan, merasakan empati dan simpati, tidak kaku (dalam yoga, disebut pranayama, yang bertujuan agar pikiran menjadi tenang dan mudah bermeditasi), yang kemudian ditafsirkan menjadi memakan ikan (kembung yang beracun).
- Mudra(bayu, tekad, jiwa), adalah penjiwaan yang mendalam, penuh tekad, pelaksanaan tindakan dan pembuktian, yang kemudian ditafsrikan menjadi melakukan gerak-gerik tangan dan tarian hingga lelah.
- Maithuna(persatuan, menghancurkan), yakni menyatukan pikiran kepada kosmis, menghancurkan pikiran, tenggelam kepada kehampaan, mencapai kebebasan pikiran, yang kemudian diartikan sebagai persetubuhan massal.
Selanjutnya, paham Tantrayana pun
memengaruhi agama Buddha, terutama aliran Mahayana. Seperti kita ketahui bahwa
dalam Buddha terdapat dua aliran: Mahayana dan Hinayana yang muncul pada abad
pertama Masehi. Mazhab Mahayana menitikberatkan kepada usaha saling membantu
antarpengikutnya dalam mencapai kebebasan jiwa (nirvana), sedangkan
Hinayana lebih bersifat individualistis dalam mencapai nirwana. Aliran Hinayana
berkembang di Sri Langka, Burma, dan Thailand, namun kemudian tak berkembang
dan lebih dulu menghilang. Sementara itu, Mahayana berkembang seiring dengan
pesatnya paham Tantrayana yang ikut melebur di dalamnya (disebut Tantra
Vajrayana atau Tantra Mahayana).
Akibat pengaruh Siwaisme, dalam Mahayana
kemudian dikenal pendewaan atas diri Buddha dan Bodhisatwa, surga dalam artian
tempat, bhaktimarga (jalan bakti), dan dewa-dewa lainnya yang patut
disembah. Penyelewengan ajaran ini tentunya makin menjauhkan Buddhisme dari
semangat Buddha Siddharta, karena ajaran Buddha asli tak mengenal adanya Tuhan,
tak mengenal doa, tak mengenal dewa-dewa layaknya dalam Hindu. Maka dari itu,
di India sendiri ajaran Buddha menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di
Asia Timur dan Tenggara. Pada abad ke-7 Tantrayana menyebar ke Tibet, Cina,
Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan Sumatra). Malah, pada abad ke-7,
Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat studi Mahayana di Asia Tenggara.
Mazhab Tantrayana memiliki
akar pandangan yang sama dengan Mahayana, khususnya dalam hal Yogacara. Namun,
Tantrayana berbeda dengan Mahayana dalam hal tujuan, wujud manusia yang telah
mencapai tujuan Tantrayana, dan cara pengajarannya. Hal ini terlihat salah
satunya dari pemujaan terhadap sakti Boddhisatwa dan pemujaan terhadap
kekuatan gaib dari Dhyani Buddha. Ajarannya lebih bersifat esoterik karena
penyebarannya bersifat rahasia dan tersembunyi. Tantra diajarkan oleh seorang
guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk
ujian.
Ritual-ritual Tantrayana
Tantrayana mengenal adanya meditasi
dengan menggunakan alat berupa mandala (bagi penganut Buddha) atau yantra
(bagi penganut Hindu). Mandala adalah yantra yang dianut Hindu dalam variasi
lain yang bercorak Buddha, yakni lukisan yang berfungsi sebagai alat bantu
dalam meditasi sehari-hari. Alat tersebut—dibuat dari tanah, kain, pada
dinding, logam, atau batu—harus digunakan oleh mereka yang mencari pelepasan
dari rangkaian siklus (lingkaran) kelahiran kembali. Penggunaan mandala/yantra
ini biasanya dibarengi dengan memegang aksamala (tasbih atau rosario)
oleh tangan kanan untuk menghitung mantra yang diucapkan terus menerus hingga
kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya.
Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan, serta pikiran digiatkan oleh
ritual, mantra, dan samadi.
Dalam Tantrayana Hindu—seperti
telah dibahas di atas mengenai Panca Ma, konsep sakti Siwa mengakibatkan
lahirnya kegiatan “hubungan intim” yang dianggap “suci” dan membawa manusia
kepada “kebebasan jiwa” dalam upacara Tantra. Begitu pula dalam Tantrayana
Buddha (Wajrayana), yang ditandai dengan adanya hubungan Dewi Tara dengan Dyani
Buddha. Tantrayana menganggap bahwa penciptaan alam semesta beserta isinya dilakukan
oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam Hinduisme
disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya. Dalam
hubungan intim, unsur jantan disebut upaya (alat mencapai kebenaran yang
agung), sedangkan unsur wanita disebut prajna (kemahiran yang
membebaskan). Maka timbul “penyelewengan” paham bahwa maithuna adalah
paham kebebasan, tepatnya kebebasan untuk bersenggama antara pria dengan
wanita. Mereka melakukan upacara tersebut di ksetra atau lapangan
tempat membakar mayat, sebelum mayat dibakar saat gelap bulan.
Ajaran Tantrayana ini makin
menyimpang dengan adanya penggunaan minuman keras oleh para pengikutnya,
sebagai penyimpangan dari konsep madya/mada. Minuman keras ini
dimaksudkan untuk mempercepat “peleburan diri” dengan Unsur Asal. Pun, mereka
selalu mengutamakan makanan-makanan lezat dan mewah, sebagai penyimpangan dari
konsep mamsa dan matsya, yang jelas bertentangan dengan ajaran
Buddha yang menolak minuman keras dan hidup berfoya-foya.
Dalam ajarannya, Tantra pun banyak
memuat “kutukan” atau “sumpah”. Misalnya, Prasasti Sanghyang Tapak (Cibadak)
peninggalan Kerajaan Sunda/Pajajaran menyebutkan sejumlah kutukan yang lumayan
mengerikan, yakni agar orang yang menyalahi ketentuan dalam prasasti tersebut
diserahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib untuk dibinasakan dengan menghisap
otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya, dan membelah dadanya. Di
Sriwijaya, di mana aliran ini lebih dulu berkembang pada abad ke-7, terdapat
sejumlah prasasti, yakni Talang Tuwo dan Kota Kapur, yang berisi kutukan dan
sumpah. Berikut kutipan bunyi Prasasti Kota Kapur yang dibuat pada 686 M.
…. pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk
biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau
beberapa datu Sriwijaya, dan biar mereka / dihukum bersama marga dan
keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu
ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan
mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja / saramwat, pekasih,
memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga
perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah
melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula
biar mereka yang menghasut orang / supaya merusak, yang merusak batu yang
diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para
pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar
pelaku perbuatan tersebut / mati kena kutuk ….
Jejak-jejak Tantrisme di Nusantara
Selain di Sriwijaya, aliran
ini berkembang pula di Jawa. di Jawa Tengah pada abad ke-8 dalam Prasasti
Kalasan tahun 778 disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci,
Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara merupakan salah satu bentuk
penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (sakti)
para Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai kama (syahwat)
merupakan musuh terbesar manusia.
Di Jawa Timur abad ke-10 pun
keberadaan penganut Tantra telah diakui oleh Mpu Sindhok Raja Medang, pendiri
Wangsa Isana. Meski Raja Sindhok penganut Siwa, ia menganugerahkan Desa Wanjang
sebagai wilayah sima (yang dibebaspajakkan) kepada pujangga bernama
Sambhara Suryawarana yang menyusun kitab Tantra, Sanghyang Kamahayanikan.
Contoh lain adalah raja terakhir
Singasari (sebelumnya bernama Tumapel) yakni Kertanagara (1268-1292). Oleh Pararaton,
ia disebut Bhatara Siwa Buddha, yang berarti ia memeluk Hindu-Siwa sekaligus
Buddha. Nagarakretagama karya Mpu Prapanca menguraikan bahwa raja ini,
karena telah menguasai ajaran Siwa dan Buddha, maka disebut telah terbebas dari
segala dosa; bahkan pesta minuman keras adalah salah satu acara ritual
agamanya. Bahkan ketika diserang tentara Kubilai Khan dari Mongol, Sang Raja
tengah melakukan ritual Tantra bersama para menteri dan pendeta, dalam keadaan
mabuk minuman. Sebagai penganut dua agama, ia bergelar Sri Jnanabajreswara
atau Sri Jnaneswarabajra dan diarcakan sebagai Jina Mahakshobhya (kini
berada di Taman Apsari, Surabaya) sebagai simbol penyatuan Siwa-Buddha;
arca ini populer dengan sebutan Joko Dolog. Kertanegara dimuliakan sebagai Jina
Wairocana dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara.
Di Kerajaan Sunda-Pajajaran pun
diketahui ada sejumlah rajanya penganut Tantra, di antaranya: Sri Jayabhupati
dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana raja terakhir Pajajaran). Naskah
kuno karya anonim pada abad ke-16, Carita Parahyangan mengurai, “Karena
terlalu lama Raja (Nilakendra) tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang
disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan”.
Di Sunda, para penganut Tantra menjalankan ibadahnya di bangunan-bangunan
megalitik.
Dalam novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Arok Dedes
(Lentera Dipantara: 2009) yang bersetting awal abad ke-13, pengikut Tantra ini
pun dibahas. Disebutkan bahwa pengikut Tantra ini mengucapkan mantra “Hling,
Kling, kandarpa eraka …” ketika melakukan ritual maithuna, ritual
persetubuhan untuk memuja “kesuburan”. Ada pun najako (wanita yang
dikurbankan dalam ritual tersebut) direbahkan di atas daun kering (2009:
336). Mereka, begitu Pram menulis, melakukan ritual-ritualnya di dalam
hutan, di pedalaman, dan pada malam hari.
Seperti disebutkan di atas bahwa
paham Tantrayana-Hindu identik dengan paham Siwa-Bhairawa.
Bhairawa (artinya hebat) ini perwujudan Siwa yang mengerikan, digambarkan
ganas, memiliki taring, bertubuh besar, dan berwujud raksasa.
Bukti-bukti dari keberadaan
paham Bhairawa di antaranya: arca Bhairawa Heruka di Padang Lawas, Sumatra
Barat, arca Adityawarman dalam wujud Bhairawa Kalacakra pada masa Majapahit,
dan arca Bhairawa Bima di Bali. Aliran Bhairawa ditenggarai memunyai tendensi
politik guna untuk mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam
pengendalian keamanan negara. Misalnya, Kertanagara menganut Bhairawa Kalacakra
untuk mengimbangi kekuatan kaisar Kubilai Khan di Cina yang menganut Bhairawa
Heruka. Adityawarman menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi raja
Pagaruyung di Sumatra Barat yang menganut Bhairawa Heruka.
Arca Bhairawa ini tangannya ada
yang dua, ada yang empat. Ada pun arca Adityawarman sebagai Bhairawa hanya
memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan
tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat, maka biasanya dua
tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa dikaitkan di
pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru atau ksetra.
Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual matsya
atau mamsa. Ada pun mangkuk berfungsi untuk menampung darah untuk
upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana
atau kendaraan Siwa dalam perwujudan Siwa Bhairawa adalah serigala, karena upacara
dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan pemakan
mayat. Sementara itu terdapat sejumlah arca tengkorak di atas kaki
Bhairawa.
No comments:
Post a Comment