Tuesday, October 17, 2017

KOSEP PENCIPTAAN DALAM AGAMA BUDDHA

Artilek saduran berikut ini merupakan reverensi tambahan yang sangat mendukung tentang konsep "penciptaan" dalam Ajaran Buddha:
“Agama Masa Depan adalah Agama Kosmik (berkenaan dengan Alam Semesta atau Jagad Raya).Melampaui Tuhan sebagai suatu pribadi serta menghindari Dogma dan Teologi (ilmu ketuhanan).Meliputi yang Alamiah maupun yang Spiritual, Agama yang seharusnya berdasarkan pada Pengertian yang timbul dari Pengalaman akan segala sesuatu yang Alamiah dan Perkembangan Rohani, berupa kesatuan yang penuh arti. Buddhism sesuai dengan Pemaparan ini. Jika ada agama yang sejalan dengan kebutuhan Ilmu Pengetahuan Modern, maka itu adalah Ajaran Buddha.”
( ALBERT EINSTEIN )
“Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa“
Salam Damai dan Cinta Kasih … ,
Pada wacana kali ini saya akan mengajak anda membahas mengenai “ Awal Mula Penciptaan “ dari sudut pandang Buddha-Dhamma. Meskipun kata “Penciptaan” tidaklah tepat jika itu mengacu pada Buddha-Dhamma, namun judul ini saya gunakan karena lebih populis, lebih dikenal oleh para pembaca yang non-Buddhis.
Pada wacana ini saya mereferensi buku “ Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha” ( Djoko Mulyono, Petrus Santoso, Kristiyanto Liman ), dan dari referensi tersebut wacana ini saya kembangkan.
Dulu, pada wacana-wacana terdahulu, saya sudah pernah merujuk salah satu sutta Sang Buddha yang berhubungan dengan awal mula terjadinya alam semesta ini, yaitu Agganna-sutta, yang merupakan Sutta ke-27 dari Digha Nikaya. Kali ini kita akan membahas sutta / khotbah Sang Buddha tersebut dalam bentuk alur proses, sebagai berikut ini :
(a). Masa Setelah Kiamat / Hancurnya Bumi
“Vasetha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur ( kiamat ). Dan ketika hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara ( alam cahaya, surga ke-12 dalam kosmologi Buddhis ); disana mereka hidup dari ciptaan batin ( mano maya ), diliputi kegiuran batin, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan.
Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
(b). Kondisi Bumi setelah berlalunya masa Kiamat / Hancurnya Bumi ( pembentukan awal )
“ Pada waktu itu ( bumi kita ini ) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan, siang maupun malam belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja. “
Khotbah Sang Buddha tersebut ternyata senada dengan pendapat para ilmuwan modern, bahwa pada awal-mulanya, permukaan bumi ini tertutup oleh air. Merujuk pada khotbah tersebut, Sang Buddha tidak menyatakan bahwa matahari dan bintang-bintang belum ada atau tercipta setelah bumi. Yang dinyatakan Sang Buddha adalah, bahwa matahari dan bintang-bintang belumlah nampak, atau dengan kata lain ada sesuatu yang lain yang menghalangi penampakan mereka. Bisa diartikan, yang menghalangi terlihatnya cahaya matahari dan bintang-bintang adalah karena makhluk-makhluk yang ada waktu itu semuanya adalah makhluk cahaya, yang memancarkan sinar kemilau yang megah, yang karenanya menutupi sinar matahari, bulan dan bintang. Makhluk hidup yang ada pertama kali adalah “aseksual”, tidak berjenis kelamin, tidak ada laki-laki, tidak ada perempuan. Hal ini senada dengan temuan para ilmuwan modern.
(c). Makanan yang Muncul Pertama Kali
“ Vasetha, cepat atau lambat setelah masa yang lama sekali bagi makhluk-makhluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih ( busa )di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu.
Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu. “
(d). “Dosa-Asal” Para Makhluk : Keserakahan
“ Kemudian Vasetha, diantara makhluk-makhluk yang memiliki sifat serakah ( lolojatiko )berkata : “O apakah ini ? “, dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, nafsu keinginan masuk dalam dirinya.
Makhluk-makhluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu, dengan jari-jari…makhluk-makhluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka.”
(e). Lenyapnya Cahaya dari Para Makhluk Cahaya dan Terlihatnya Sinar Matahari dan Bintang-bintang
“ Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak… siang dan malam terjadi.”
(f). Bermulanya Pembentukan Bumi Kembali ( Evolusi )
“ Demikianlah Vasetha, sejauh itu bumi terbentuk kembali. Vasetha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.”
(g).Terbentuknya Tubuh Para Makhluk Dunia
“ Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang buruk.”
(h). Munculnya Tumbuhan Pertama Kali ( Tumbuhan Serupa Cendawan )
“ Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk…maka sari tanah itupun lenyap…ketika sari tanah lenyap…muncullah tumbuhan dari tanah ( bhumipappatiko ).
Cara tumbuhnya seperti cendawan…mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali…( seperti diatas )…”
Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itupun lenyap.
(i). Munculnya Tumbuhan Selanjutnya ( Tumbuhan Menjalar )
“ Selanjutnya tumbuhan menjalar ( badalata ) muncul…warnanya seperti dadih susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu…maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan tubuh mereka nampak lebih jelas, sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk.
Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk…
Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itupun lenyap. “
(j). Munculnya Padi
“ Kemudian Vasetha, ketika tumbuhan menjalar lenyap…muncullah tumbuhan padi ( Sali ) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari, mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan pada waktu malam, pada keesokan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasetha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi ( masak ) dari alam terbuka, mendapatkan makanan itu dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.”
(k). Terbentuknya Jenis Kelamin : Laki-laki dan Perempuan
“ Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya ( itthilinga ) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya ( purisalinga ).”
(l).Terjadinya Hubungan Sexual
“ Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-lakipun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indria yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indria tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.
Vasetha, ketika makhluk-makhluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin…dst…dst… “.
Menurut Sang Buddha, alam semesta ini tidak berawal ; tidak ada awal yang benar-benar awal, karena daur-hidup semesta ini, dari awal-mula terjadi hingga kiamat, dan mulai dari awal evolusi lagi, telah berlangsung sangat lama, tidak hanya sekali saja.
Keberadaan dan berlangsungnya alam-semesta itu ditunjang oleh hukum alam semata. Hukum alam itu sendiri, sesungguhnya bersifat relatif, hanya berlaku di alam fenomena, dan muncul “secara khayal” / “delusif” dari dalam tathagatagarbha ( “rahim Tathagata” ).
Sang Buddha juga mengajarkan bahwa ada banyak planet lain yang juga dihuni makhluk hidup, jauh sebelum tata-surya kita terbentuk. Mungkin inilah yang saat ini oleh ilmuwan dan masyarakat modern dikenal dengan “alien”. Tidak mengherankan bila makhluk luar angkasa ini mempunyai teknologi dan peradaban yang jutaan tahun lebih maju daripada manusia, karena ternyata menurut Sang Buddha sendiri, sebelum tata-surya kita terbentuk, diluar sana telah ada tata-surya yang juga telah dihuni oleh makhluk-makhluk hidup.

AWAL-MULA MUNCULNYA KONSEP  “YANG-MAHA-PENCIPTA”
Sang Buddha bukanlah manusia yang hidup di jaman orang-orang tidak mengenal suatu konsepsi adanya “Yang-Maha-Kuasa”, “Pencipta-Langit-dan-Bumi”, “ Asal-dan-Tujuan-Semua-Makhluk”, “Dari-Nya-kembali-Pada-Nya”.
Sosok tersebut, dalam jaman Sang Buddha, oleh para Brahmana dikenal dengan sebutan Maha-Brahma. Maha-Brahma ini mempunyai pandangan-salah, karena ia secara keliru menganggap dirinya sebagai “Bapa-Alam-Semesta”. Pandangan-salah ini ditunjang dengan kenyataan bahwa Maha-Brahma ini adalah makhluk-mulia, pemimpin para Dewa dari seluruh surga Kammadhatu ( keenam lapisan surga diatas alam manusia ) dan pemimpin para Dewan dan Menteri Brahma.
Brahmajala Sutta didalam Digha Nikaya mengisahkan mengapa Maha-Brahma sampai memiliki pandangan-salah semacam itu ( untuk membaca Brahmajala-Sutta, buka lagi artikel saya yang berjudul “Alam-Semesta, Kehidupan dan Alam-Kehidupan (V)”, buka di Arsip September 2008, tulisan tanggal 16 September 2008 ).
Sang Buddha mengajarkan bahwa dunia yang kita tempati sekarang ini beserta surga-surga kammadhatu akan mengalami penciptaan dan kehancuran secara berkala. Pada saat terjadinya kehancuran bumi kita ini , yang oleh ajaran agama-agama samawi disebut sebagai “kiamat”, para makhluk yang berdiam di alam yang lebih rendah akan terlahir kembali di alam Surga Abhassara ( Sanskrit : Abhasvara ), surga tertinggi di Jhana II ( surga ke-12 bila dihitung dari surga tingkat pertama di alam Kammadhatu ).
Setelah berlalunya waktu yang sangat lama sekali, tiga surga di alam Jhana I muncul kembali, dan seorang dewa Abhassara mati serta terlahir kembali di alam ini sebagai Maha-Brahma ( surga ke-9 bila dihitung dari surga tingkat pertama di alam Kammadhatu ).
Karena lamanya ia sendirian disana, ia merasa kesepian dan menginginkan kehadiran makhluk lain. Tak lama kemudian, harapannya terpenuhi, semata-mata hanya karena para dewa Abhassara lainnya mati dan terlahir kembali di alam Brahma, karena karma-karma mereka sendiri, dan kemudian menjadi para Menteri dan Dewan Brahma.
Karena Maha-Brahma tidak mengingat kehidupannya yang sebelumnya, maka ia berpikir, “ Aku adalah Brahma, Maha-Brahma,… Maha-Tahu, Pengendali, Tuhan, Pembuat, Pencipta… makhluk lainnya yang ada disini adalah ciptaan-Ku.”. Para Menteri dan Dewan Brahma serta para pengikutnya setuju dengan kesimpulan yang keliru ini.
Dan ketika beberapa di antara mereka mati dan terlahir kembali sebagai manusia, ada beberapa banyak dari mereka yang meninggalkan kehidupan perumah tangga, dan menempuh hidup sebagai Petapa / seorang Brahmana, lalu mereka mengembangkan kemampuannya untuk mengingat kehidupan sebelumnya, dan karenanya mengajarkan bahwa Maha-Brahma adalah Pencipta yang kekal dari semua makhluk.

MAHA-BRAHMA : MAKHLUK TERBATAS DAN LEBIH RENDAH TINGKATANNYA BILA DIBANDINGKAN DENGAN SAMMA-SAMBUDDHA
Didalam Digha Nikaya, sebuah Kitab Suci Buddhis, dikisahkan sebuah cerita ironis yang memberikan gambaran tentang keterbatasan-keterbatasan  sosok yang disebut sebagai “Yang-Maha-Pencipta” ini, yang dalam Brahmanisme dikenal dengan nama : Maha-Brahma. Terdapatlah seorang Bhikkhu yang ingin mengetahui asal-usul dunia, bersamadhi supaya dapat berkomunikasi dengan para dewata dan mengajukan pertanyaan filosofis tersebut.
Tetapi, tidak ada satupun dewa. Mulai dari surga tingkat pertama hingga ketujuh ( kediaman dewa pengikut Maha-Brahma ) yang dapat menjawab pertanyaan sulit itu.
Namun para dewa dengan gegabah berani memastikan bahwa Maha-Brahma sanggup menjawab pertanyaan itu. Selang beberapa saat kemudian , Maha-Brahma menampakan diri dan Sang Bhikkhu pun mengajukan pertanyaan padanya.
Jawaban yang diperolehnya hanya semata-mata berupa penegasan penuh percaya diri bahwa alam semesta adalah ciptaannya. Setelah tiga kali memberikan jawaban yang sama, Maha-Brahma menarik Bhikkhu tersebut ke satu sisi dan berkata bahwa dia tidak dapat mengecewakan para pengikutnya dengan mengakui kelemahannya bahwa ia tidak tahu jawaban dari pertanyaannya. Maha-Brahma kemudian memberikan saran bahwa pilihan terbaik bagi Bhikkhu tersebut adalah pergi mengunjungi Sang Buddha, yang pasti mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut.
Demikianlah sosok yang diyakini sebagai “Maha-Pencipta”, Maha-Brahma, ini masih lebih rendah tingkatannya apabila dibandingkan dengan Buddha. Sekalipun mempunyai kebanggaan yang berlebihan akan dirinya , namun “Maha-Dewa” ini merupakan sesosok makhluk yang baik hati dan welas asih ( ingat empat sifat luhur, Brahmavihara ). Ia adalah “Maha-Dewa-Yang-Penuh-Welas Asih “ yang menyangka dirinya sebagai “Maha-Pencipta”, “Bapa-Semua-Makhluk”.

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Dalam Patika-suttaSang Buddha menyatakan Beliau tidak hanya mengetahui asal-muasal ( agganna )dari segala sesuatu, tapi jauh lebih banyak lagi. Dan menurut Sang Buddha, maka sesungguhnya tidaklah ada “awal” yang benar-benar bisa disebut sebagai “awal”, Sang Bhagava Guru, Sang Sugatha, bersabda, “ Tak dapat ditentukan awal dari alam semesta. Titik terjauh dari kehidupan, berpindah dari kelahiran ke kelahiran, terikat oleh ketidak-tahuan dan keinginan, tidaklah dapat diketahui. “ ( SN. II. 178 )
Sang Buddha menyatakan kepada Ratu Srimala ;
“ Adalah sulit untuk mengetahui dan memahami bagaimana pikiran murni yang intrinsik dapat dikontaminasi oleh noda-noda batin. Srimala, ada dua hal yang sulit dipahami. Apa kedua hal tersebut ? Pertama, pikiran murni yang intrinsik ; Kedua, kontaminasi terhadap pikiran ini oleh noda-noda batin. Hanya engkau dan Bodhisatva-Bodhisatva yang telah mencapai Dhamma-Agung yang dapat menerima dua hal ini setelah mendengarkannya. Para Srawaka dapat memahami mereka hanya melalui ‘iman’ ( Srimala-devi-simhanada-sutra ).
Menurut sabda diatas, hanya Sang Buddha sendiri yang memahami secara eksperiensial mengapa terlahir ketidaktahuan dasar ( avijja ; Sanskrit : Avidya ) berupa noda batin “primordial” dari pikiran sejati yang secara intrinsik adalah suci murni ; makhluk suci lainnya , para savaka, hanya bisa menerima hal ini dengan ‘keyakinan/iman’. Menurut Buddha-Dhamma, pengetahuan tentang asal-muasal dunia tidak dapat dituangkan ke dalam bahasa manusia karena kelahiran semesta bersifat dualistis dan khayal / delusiv, sedangkan pengetahuan itu bersifat transendental, melampaui penggambaran.
Demikianlah, kelahiran segenap fenomena dan makhluk-hidup ( dhatu ) dipandang oleh agama Buddhasebagai suatu kesalahan, ketidakmuliaan, dan bukan merupakan unsur kesengajaan ( penciptaan ) dari suatu makhluk Adikuasa. Bahkan, taman dan istana surgawi tidak diciptakan oleh siapa-siapa, melainkan muncul dari pikiran diskriminatif dan delusiv ( Sutra Winaya Definitif ). Seperti yang dikatakan dalam Srimala-devi-simhanada-sutra, “ Tathagata, dengan kemelekatan sebagai kondisi dan karma penoda sebagai musabab, tiga alam ( dhatu ) dilahirkan. “

ASAL KEMUNCULAN ALAM KEHIDUPAN ( SAMSARA )
Setelah terjadinya “penciptaan”, kemudian barulah muncul berbagai alam kehidupan.
Pada sistem-dunia kita sendiri ada 31 alam kehidupan, yang terbagi menjadi : Kammadhatu, Rupadhatu, dan, Arupadhatu ( sudah saya bahas pada artikel “Alam-Semesta, Kehidupan, dan Alam-Kehidupan”,) . Pembagian ke-31 alam kehidupan tersebut juga dapat dibagi menjadi enam-alam-kehidupan, yaitu :
1. Alam-alam surga ( dari surga Kammadhatu s/d Arupadhatu )
2. Alam para Asura, Resi, Yakkha.
3. Alam para manusia ( Pali : Manussa ), tempat kita hidup sekarang ini.
4. Alam para binatang ( tirrachana-yoni ).
5. Alam para hantu ( Peta ), setan, dan lain-lain.
6. Alam Neraka ( Sanskerta : Naraka , artinya alam penderitaan ).
Pertanyaannya, darimanakah munculnya alam-alam kehidupan tersebut ? Menurut Sang Buddha di dalam Surangama-sutra, sesungguhnya semua makhluk secara fundamental adalah sejati dan suci murni, tetapi disebabkan oleh pandangan keliru mereka, mereka memunculkan kesalahan dalam bentuk kebiasaan jelek, yang terbagi menjadi dua :
i. Aspek Internal, dan,
ii. Aspek Eksternal.
Aspek internal, menunjuk pada apa yang terjadi di dalam makhluk. Disebabkan karena cinta-jasmaniah / nafsu, dan kotoran batin, mereka memunculkan kesalahan dalam bentuk emosi. Emosi yang disebut disini bukan menunjuk pada luapan perasaan dalam waktu singkat, melainkan keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis, seperti kebencian, kekikiran, kemelekatan, kebahagiaan, kemarahan, kesedihan. Ketika emosi-emosi ini berakumulasi tanpa henti, mereka menciptakan “cairan-cinta” . “Cairan-Cinta” dan nafsu keinginan menjelaskan mengapa air liur mereka keluar ketika memikirkan makanan lezat ; ketika mereka memikirkan tentang seorang yang meninggal, air mata mereka menetes ; ketika mereka dengan nafsu serakah ingin memiliki sebuah batu permata, aliran nafsu akan “mengalir” melalui hatinya ; ketika dihadapkan pada tubuh yang “semlohai”, sexy, mulus dan menggiurkan, pikiran mereka menjadi melekat pada nafsu birahi, dan organ seksnya mengeluarkan cairan. Kendati jenis-jenis cinta tersebut berbeda-beda, sifat aliran dan penindasan mereka adalah sama. Dengan adanya “embunan” ini, seseorang tak bisa “menaik”, tetapi akan jatuh secara alami. Ini disebut “Aspek-Internal”. Aspek internal dari emosi seperti cinta-jasmaniah dan kemelekatan mendorong mereka jatuh, berat dan tenggelam. Cinta-jasmaniah , kemelekatan, dan nafsu keinginan ( seperti keserakahan ) berkaitan dengan unsur air.
Aspek eksternal, menunjuk pada apa yang terjadi di luar makhluk, yakni lingkungan. Disebabkan oleh “kerinduan” dan hasrat, mereka menciptakan kesalahan dalam pemikiran yang mengembara.
Ketika proses pemikiran berakumulasi tanpa henti ( pengoptimalan pemurnian batin / buddhi ), ia dapat menciptakan “uap-air” yang naik. Embunan ( aspek-internal ) bersifat jatuh karena berat, sedangkan uap air bersifat naik karena ringan. Dari pemikiran terus-menerus, tanpa melibatkan emosi, suatu respons khusus dapat terjadi, yaitu sebuah gerakan yang bersifat mengangkat. Itulah sebabnya, manusia yang menjaga sila secara murni, tubuh mereka ringan seperti mengapung. Bila mereka berangang-angan dilahirkan di surga, dalam mimpi mereka akan bisa terbang. Bila ada seseorang yang sering bermimpi terbang/melayang, itu adalah bagus, menunjukkan anda memiliki “Sila” yang sudah cukup terjaga ( meski tentunya belumlah semurni seorang “petapa” atau “yogi” yang seumur hidupnya benar-benar menjaga Sila-sila khusus , seperti : selibat, tidak melakukan perbuatan tidak suci ( orgasme ), puasa , meninggalkan kemewahan, dan lain-lain ).Kendati aneka pemikiran itu berbeda-beda, sifat ringan dan mengangkat tersebut adalah sama. Ini disebut aspek eksternal.
Spektrum dari rasio antara pemikiran / batin yang bersifat “naik” dengan emosi yang bersifat “turun”menyebabkan munculnya enam alam kehidupan, berikut adalah penjelasannya :
1. Alam-alam Surga ( dari Kammadhatu s/d Arupadhatu ) :
 Rasio Penggunaan Pikiran / Buddhi : Emosi =
100 % : 0 %
 Karakteristik utama : Kebanggaan akan diri ( tetapi hal ini tidak berlaku di alam para Anagami / Suddhavasa ).
2. Alam para Asura , Resi, Yaksa :
 Rasio Penggunaan Pikiran / Buddhi : Emosi =
30-100% : 0-70%
 Karakteristik utama : Cemburu / temperamental.
 Keterangan : Tergantung rasio penggunaan pikiran / buddhi dengan emosi, mana yang lebih besar. Alam Asura karena prosentase penggunaan emosi cukup tinggi.
3. Alam para Manusia :
 Rasio Penggunaan Pikiran / Buddhi : Emosi =
50 % : 50 %
 Karakteristik utama : Penuh nafsu keinginan.
 Keterangan :
Pemikiran / Buddhi terang = menjadi pintar.
Emosi berat = menjadi bodoh.
4. Alam para Binatang :
 Rasio penggunaan Pikiran / buddhi : Emosi =
40 % : 60 %
 Karakteristik utama = Kebodohan.
 Keterangan =
Emosi ringan = terlahir sebagai binatang bersayap.
Emosi berat = terlahir sebagai binatang buas berbulu.
5. Alam para Hantu / Setan :
 Rasio penggunaan Pikiran / buddhi : Emosi =
30 % : 70 %.
 Karakteristik utama : Kemelekatan , keserakahan.
 Keterangan = contoh-contoh makhluk ini ; kuntilanak, thuyul, pocong, wewe, dll.
6. Alam Neraka ( Sanskrit : Naraka ) :
 Rasio penggunaan Pikiran / buddhi : Emosi =0-20% : 80-100%
 Karakteristik utama : Penuh Kebencian.
Berdasarkan uraian diatas, kita melihat bahwa kadar emosi merupakan salah satu unsur pokok yang menentukan jenis alam kehidupan berikutnya setelah meninggal. Sebagai contoh, misalnya ada seseorang yang menjaga lima-sila / Pancasila ( 1). Tidak membunuh / menyebabkan penderitaan makhluk lain, 2). tidak mengambil barang yang tidak diberikan, 3). tidak berbuat sex yang tidak benar dan baik, 4). tidak berucap dusta, 5). tidak meminum minuman keras / barang madat yang menyebabkan lemahnya kesadaran ), tapi sepanjang hidupnya, atau saat menjelang kematiannya dipenuhi dengan emosi kemelekatan pada anggota keluarganya, harta bendanya, atau sesuatu hal yang mengganjal di hatinya. Disebabkan oleh derajat emosi kemelekatan yang tinggi, ia sementara tertunda kelahirannya di alam surga ( karena sesuai dengan prioritas karma sebagaimana pernah kita bahas dahulu pada artikel mengenai “Hukum-Karma” dan artikel-artikel lain yang berkaitan dan menjelaskannya ), ia terpaksa terlahir kembali menjadi manusia atau bahkan terlahir di alam yang lebih rendah, didorong oleh energi emosi berupa kemelekatan. Setelah kekuatan karma dari energi kemelekatan itu perlahan-lahan terkikis habis, ia baru kemudian akan terlahir di alam surga.
Sesungguhnya samsara diciptakan oleh pikiran setiap makhluk sendiri-sendiri, bukan diciptakan oleh sosok “Sang-Maha-Pencipta”. Beragam alam kehidupan berkorespondensi dengan ragamnya keadaan mental. Alam kehidupan merupakan lokalisasi dari alam pemikiran yang menghasilkannya.
Selanjutnya, marilah kita bahas empat alam kehidupan : alam surga, alam neraka, alam hantu, dan alam binatang. Alam manusia tidak kita bahas lagi, karena dulu sudah cukup banyak dibahas, dan kita sendiri telah mengenal dan mengalaminya. Alam Asura ( penentang para dewa ) tidak dibahas tersendiri, karena golongan ini juga hidup di alam surga, alam manusia, alam hantu, dan alam binatang.
1. Alam-alam Surga
Kosmologi Buddhis mengenal 26 tingkatan alam-surga, dari alam Kamadhatu s/d Arupadhatu ( bila menurut Mazhab Mahayana, ada 28 tingkatan alam-surga ).
Para dewata di enam alam surga pertama, yaitu di lingkup alam keindriaan ( Kamadhatu ), menikmati kesehatan, kenyamanan, kekayaan dan kebahagiaan. Namun, seketika berkah karma untuk hidup di alam surga telah habis, para dewata mau tak mau mesti terlahir kembali di alam yang lebih rendah.
Mengapa keenam surga tingkat pertama itu masih digolongkan dalam Kamadhatu ? Hal ini dikarenakan para makhluk yang terlahir disana masih memiliki semacam nafsu keinginan sexual. Hanya saja kadarnya dapat dikatakan jauh lebih ringan apabila dibandingkan dengan alam manusia dan alam binatang.
Aktivitas dan kehidupan para dewata di alam Kamadhatu sesungguhnya tidak jauh berbeda denga umat manusia, hanya saja kekuatan supranatural mereka jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan manusia biasa. Secara etika dan kemoralan mereka masih belum sempurna, karena nafsu keinginan masih membelenggu mereka. Meskipun mereka masih terbakar oleh api nafsu seksualnya, namun makin tinggi tingkatan alam tempat dewa tersebut tinggal, makin halus cara mereka memuaskan keinginan sexualnya tersebut. Sebagai contoh, para dewa dari dua tingkatan surga pertama ( catummaharajika dan tavatimsa )masih harus memuaskan nafsu sexualnya, tetapi ini cukup dilakukan dengan cara berpelukan saja. Itulah sebabnya mereka dipandang lebih tinggi tingkatannya bila dibandingkan dengan manusia biasa.
Pada umumnya , para dewata menghabiskan sebagian waktu untuk bersenang-senang sehngga sepanjang kehidupan mereka tidak muncul pemikiran untuk menyempurnakan diri ( demi pencapaian Nibbana / Nirvana ). Lalu, tiba-tiba mereka “kaget” karena dihadang oleh datangnya kematian.
Dalam It. 83 dijabarkan lima hal yang menandakan bahwa kematian seorang dewa telah dekat ;
I. Cahaya tubuhnya yang biasanya terang, menjadi redup.
II. Tahta kedewaan yang biasanya memberikan rasa nyaman kepadanya, menjadi tidak nyaman lagi untuk diduduki ; sebaliknya, dia merasa gelisah dan tidak bisa duduk tenang di atas tahtanya.
III. Karangan bunganya, yang biasanya tidak pernah layu, mulai layu.
IV. Pakaiannya, yang selalu bersih dan segar sekalipun sudah dipakai dalam waktu yang lama, mulai kelihatan tua, pudar, kotor, serta mulai mengeluarkan bau.
V. Tubuhnya, yang biasanya tidak pernah berkeringat, mulai berkeringat.
Ketika lima pertanda ini muncul, dewata tersebut tersiksa oleh pemikiran bahwa sebentar lagi ia juga akan mati. Rekan-rekan dan kekasihnya juga mengetahui bahwa ia akan mati ; mereka tidak lagi mendekatinya, melainkan melempar bunga-bunga dari jarak jauh dan mengirimkan harapan baik, “ Ketika engkau mati dan pergi dari sini, semoga engkau terlahir di antara manusia. Semoga perbuatan baikmu disana bisa membuat engkau terlahir kembali di alam dewa. “ Dengan begitu teman-temannya meninggalkannya.
Hidup menyendiri, dewata yang mendekati kematiannya itu diliputi rasa duka. Dengan mata dewanya ia melihat dimana ia akan dilahirkan kembali. Bila mengetahui akan dilahirkan di alam sengsara, siksaan batin dari kejatuhan tersebut akan meliputinya bahkan sebelum ia terlahir disana. Sementara penderitaan batinnya makin mendalam, ia merasa putus asa dan terpaksa menghabiskan tujuh hari waktu surgawi untuk meratapi kemalangannya. Jika seorang dewa dari surga Tavatimsa akan meninggal, maka tujuh hari waktu disana untuknya meratapi adalah sama dengan tujuh ratus tahun waktu manusia ( karena sehari semalam disana adalah sama dengan seratus tahun waktu manusia ).
Di alam surga yang lebih tinggi, yakni alam Rupa-Brahma ( surga ke-7 hingga surga ke-24 ) dan alam Arupa-Brahma ( surga ke-25 hingga surga ke-28 ) , tentu saja tidak ada pernderitaan dari kematian dan transmigrasi. Namun, ketika efek dari perbuatan bajik yang mengirim mereka kesana sudah habis, para Brahma ini akan jatuh kembali ke alam yang lebih rendah seperti seakan-akan bangun dari tidur / mimpi.
2. Alam-alam Neraka ( Sanskrit : Naraka )
Menurut kosmologi Buddhis, alam neraka ( Skt.: naraka – “tempat-penderitaan” ) setidaknya dibagi menjadi empat ( 4 ) kelompok neraka, keseluruhannya mengandung delapan-belas ( 18 ) neraka. Mereka terdiri dari :
 Delapan ( 8 ) neraka panas
 Satu ( 1 ) neraka pinggiran
 Delapan ( 8 ) neraka dingin
 Satu ( 1 ) neraka tersendiri ( soliter )
Akan tetapi sesungguhnya jumlah neraka itu jauh lebih banyak, karena keterbatasan tempat, tidak dibahas disini karakteristik masing-masing neraka tersebut dan jangka kehidupannya, tapi hanya membahas sebab-utama terjadinya aneka bentuk penderitaan di neraka.
Suatu kelompok makhluk bisa menerima balasan karma yang identik, dan terdapat tempat-tempat dimana hal itu terjadi. Semuanya ini datang dari balasan karma yang diciptakan mereka sendiri. Mereka menciptakan sepuluh musabab kebiasaan buruk :
 Kebiasaan nafsu birahi
 Kebiasaan keserakahan
 Kebiasaan arogan
 Kebiasaan kebencian
 Kebiasaan penipuan
 Kebiasaan kebohongan
 Kebiasaan permusuhan
 Kebiasaan pandangan sesat
 Kebiasaan ketidakadilan, dan ,
 Kebiasaan “litigasi” ; suka menuntut secara hukum / pengadilan
Disebabkan adanya sepuluh jenis kebiasaan tersebut, lahirlah pengalaman ilusi berupa aneka bentuk siksaan di neraka. Misalnya, kebiasaan mengobarkan nafsu birahi menciptakan kemunculan ilusi berupa hukuman di neraka dalam bentuk siksaan bersentuhan dengan ranjang besi atau tiang tembaga yang membara.
Kebiasaan keserakahan, menciptakan ilusi dingin yang menggigilkan. Sebab, keserakahan seperti magnet yang menarik benda-benda, hal ini sejenis “penyedotan”. Penyedotan yang berlangsung lama menciptakan ilusi dingin yang menggigilkan.
Kebiasaan kebencian yang disuplai terus-menerus menciptakan ilusi adanya aneka bentuk pisau, pedang, gergaji, kampak, dan lain-lain.
Kebiasaan kebohongan yang terus menerus menyebabkan si pelaku terlahir di berbagai neraka, dimana ia mencium bau kencing, kotoran, dan tempat-tempat kotor yang dipenuhi debu beterbangan. Berbohong sekali-kali ketika masih hidup di dunia tidak akan menyebabkan seseorang jatuh ke neraka-neraka ini karena kekuatan karma negatif yang ada tidak cukup untuk melemparkan ia ke dimensi ilusi tersebut.
Kebiasaan untuk tidak bertindak adil menciptakan ilusi diremukkan diantara gunung-gunung, diremukkan di antara batu-batu, digiling, dihancurlumatkan menjadi debu, dan pengalaman delusiv sejenisnya. Ketidakadilan mencakup mendakwa seseorang yang tak bersalah, memfitnah. Kekuatan karma dari ketidakadilan menciptakan beberapa tipe neraka, seperti pengalaman dihenyakkan dari empat gunung yang datang dari empat penjuru, menghimpit badannya hingga hancur remuk.
Demikian pula dengan kebiasaan buruk lainnya ; masing-masing pencipta kebiasaan buruk menciptakan siksaannya sendiri sesuai dengan energi karma buruk yang disuplainya. Karma buruk itu menciptakan berbagai halusinasi yang bersifat ilusi bagi si pembuat karma buruk. Aneka jenis neraka muncul semata-mata karena adanya suplai energi negatif, BUKAN CIPTAAN TUHAN atau makhluk apapun.
Kemunculan neraka-neraka itu merpakan manifestasi dari kekuatan karma negatif ; karenanya mereka disebut bersifat ilusi. Dimensi alam neraka muncul secara ilusi dari ketidaksucian pikiran, ucapan, dan perbuatan fisik. Ini seperti dimensi mimpi-mimpi buruk yang kita alami. Bagi pelaku karma buruk, neraka-neraka itu seperti nyata, eksis ; bagi makhluk yang tidak terlahir di neraka, neraka tidaklah eksis. Oleh sebab itu, dalam agama Buddha dikatakan bahwa neraka tidak boleh dikatakan “eksis” atau “tidak-eksis” karena pada dasarnya ia kosong dari eksistensi yang inheren, tapi disebabkan karena kekuatan karma, manifestasi ilusi berupa fenomena siksaan muncul didepan mata pelaku karma buruk.
3. Alam para Hantu
Jenis hantu pun bermacam-macam, dan ada beberapa kategori, tergantung dari aspek yang digunakan. Ada yang disebut sepuluh ( 10 ) kategori hantu, ada yang dikenal dengan istilah tiga ( 3 ) kelompok hantu, dan ada yang diistilahkan dengan dua ( 2 ) jenis hantu.
Dalam klasifikasi tiga ( 3 ) kelompok hantu, hantu dibagi menurut jumlah kekayaan, yaitu dari aspek jumlah makanan yang dapat dimakan :
( i ) Hantu yang tanpa kekayaan,
( ii ) Hantu yang memiliki sedikit kekayaan,
( iii ) Hantu yang memiliki banyak kekayaan.
Di antara hantu yang tak memiliki kekayaan adalah :
1. Hantu bermulut obor-api, dimana makanan dan minuman yang masuk kedalam mulutnya akan berubah menjadi kobaran api.
2. Hantu bermulut jarum, di mana tenggorokannya sangat sempit sehingga makanan tidak bisa melaluinya, dan ,
3. Hantu bermulut bau busuk, yang mulutnya sangat rusak, busuk, berbau amis dan mereka tidak bisa mencerna makanan/minuman apapun.
Hantu dengan sedikit kekayaan bisa memakan sedikit makanan. Ada tiga jenis yang termasuk dalam kategori ini , yaitu :
1. Hantu berambut seperti jarum,
2. Hantu berambut bau busuk,
3. Hantu berkulit tumor.
Beberapa dari mereka, pada saat hendak makan, mendapatkan makanannya berubah menjadi nanah dan darah. Beberapa dari mereka memakan dan meminum air ludah, air kencing, tahi, atau menelan benda kotor sebagai makanan.
Hantu yang memiliki banyak kekayaan, yang mempunyai kesenangan mewah, juga terdiri atas tiga sub bagian :
1. Hantu kurban, yang hidup dari kurban serta persembahan yang dilakukan manusia. Hantu ini serupa dengan jenis hantu yang digambarkan dalam tradisi China.
2. Hantu barang lenyap, yang hidup dari barang-barang yang lenyap dari dunia manusia,
3. Hantu dengan kekuatan besar, seperti para yaksa , raksasa, dan lain sebagainya, yang merupakan penguasa para hantu.
Hantu kurban dan hantu barang lenyap kadangkala masih menderita rasa lapar dan haus, tetapi hantu dengan kekuatan besar mempunyai kesenangan yang mendekati kesenangan duniawi. Ini terjadi karena hantu jenis terakhir ini telah berbuat banyak amal semasa masih menjadi manusia, namun pada saat yang sama mereka juga sangat rakus, serakah, dan tidak pernah puas diri, oleh sebab itu mereka terlahir menjadi hantu jenis ini.
Pada umumnya, kebanyakan hantu sedikit atau tidak memiliki kekayaan, dan mereka selalu lapar.
Jenis kategori hantu lainnya adalah berdasarkan komunitasnya, dan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu hantu yang hidup berkelompok dan yang menjelajah angkasa. Hantu yang hidup berkelompok masih dibagi menjadi tiga subkategori, yaitu hantu yang menderita rintangan eskternal, hantu yang menderita rintangan internal, dan hantu yang menderita rintangan spesifik.
4. Alam Binatang
Terdapat beberapa jenis klasifikasi binatang, tergantung dari kriteria yang dipakai. Ada klasifikasi binatang berdasarkan kriteria tempat tinggal, jumlah kaki, hingga sifat dan derajat penderitaan. Berdasarkan kriteria jumlah kaki, maka ada binatang yang tanpa kaki seperti cacing, dua kaki seperti burun, empat kaki seperti binatang buas, dan banyak kaki seperti serangga dengan enam, delapan kaki, atau lebih.
Penderitaan yang dialami binatang beraneka ragam. Pada umumnya dunia binatang diwarnai dengan saling memangsa dan saling membunuh untuk mempertahankan eksistensi kehidupan. Ikan besar memakan ikan yang lebih kecil, serangga yang besar memakan yang lebih kecil. Laba-laba membangun jaringan laba-laba di sudut rumah hanya untuk menangkap dan membunuh serangga yang terbang. Kodok dan burun menelan serangga, dan nafsu makan mereka luar biasa. Bahkan serangga kecil yang bersembunyi di bawah kulit kayu bisa dimakan oleh burung pelatuk. Ular naga pun harus dimakan oleh Garuda. Ada binatang yang dilahirkan di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh sinar matahari sehingga untuk melihat tubuhnya sendiri juga tidak bisa. Dunia binatang benar-benar adalah seperti rumah penjagalan ; mereka selalu saling membunuh dan bahkan dibunuh oleh manusia.
KESINAMBUNGAN DUNIA
Agama Buddha mengajarkan bahwa kesinambungan alam semesta disebabkan oleh interaksi keempat unsur. Untuk memahaminya, mari kita baca kutipan dari Surangama-Sutra berikut ini :
“ Interaksi antara kecemerlangan pencerahan dengan kekosongan buram menimbulkan gerakan yang terus menerus, sehingga melahirkan roda angin yang menyokong dunia. Oleh karena kekosongan menimbulkan gerakan, cahaya yang mengeras itu membangun kepadatan yang merupakan sifat-inheren metal. Cahaya yang ditambahkan ke pencerahan itu membuat sifat-keras tersebut, sehingga melahirkan roda metal yang menyokong daratan-daratan.
Kemelekatan yang bandel pada kemampuan-kognisi yang tak tercerah mengakibatkan terjadinya formasi logam, sedangkan getaran dari kemampuan-kognisi yang bersifat ilusi menyebabkan timbulnya angin. Angin dan logam saling bergesekan, sehingga terjadilah cahaya-api yang sifatnya bisa berubah-ubah. Kecemerlangan dari logam menghasilkan embun, yang kemudian berubah menjadi uap air oleh cahaya api yang menyembul dari bawah, sehingga melahirkan roda air yang melingkupi sepuluh penjuru dunia.
Api menyembul ke atas dan air jatuh ke bawah, dan kombinasi dari keduanya membangun kepadatan. Yang basah menjadi samudera dan lautan ; yang kering menjadi benua-benua dan pulau-pulau. Disebabkan oleh hal ini, api sering menyembul didalam samudera, dan diatas benua, kali-kali dan sungai-sungai mengalir terus-menerus.
Ketika kekuatan air kurang daripada kekuatan api, hasilnya adalah gunung tinggi… . Ketika kekuatan tanah kurang daripada air, hasilnya adalah rerumputan dan pepohonan. Oleh sebab itulah belukar dan padang rumput berubah menjadi abu bila dibakar dan mengeluarkan air bila dipilin… interaksi [ dari api dan air ] menjadi benih untuk kesinambungan dunia… .
Menurut Surangama-sutra, konfrontasi terus-menerus antara pencerahan yang ditambah cahaya ( penyadaran yang merupakan subjek ) dengan kekosongan gelap yang merupakan objek, menyebabkan terjadi rotasi terus-menerus; oleh sebab itu terdapat angin yang eksis dimana-mana yang menyokong kehidupan dunia alam semesta.
Penyadaran berupa subjek itu terguncang oleh kekosongan relatif ini, terpana olehnya dan mengeras menjadi unsur logam ( tanah ). Kemelekatan yang kuat terhadap penyadaran (pengetahuan) yang belum tercerahkan itu mengakibatkan terbentuknya logam.
Gerakan getaran dari penyadaran yang khayal ini menyebabkan angin naik ke atas. Angin dan logam bergesekan satu sama lain. Dari sini terciptalah unsur api.
Kecemerlangan dari logam menimbulkan embun. Bila logam dipanaskan, ia akan mengeluarkan cairan ; butiran air akan muncul di permukaannya. Oleh karena adanya api, kelembaban tercipta di logam. Dari kebasahan logam itu, uap embun tercipta. Bila cahaya api dari bawah menyembur ke atas, ia menciptakan uap air saat melewati logam. Dari ini muncul unsur air yang ada di sepuluh penjuru dunia.
Api bersifat menyembul keatas, sedangkan air bersifat jatuh kebawah. Kombinasi dari api dan air menciptakan zat-zat. Yang basah menjadi samudera, yang kering menjadi benua dan pulau. Oleh sebab itu, api sering menyembul ke atas didalam lautan, dan aliran sungai selalu mengalir kebawah di atas permukaan bumi.
Bila kekuatan air lebih kecil daripada kekuatan api, gunung-gunung tinggi tercipta. Oleh sebab itulah bebatuan di pegunungan menimbulkan percikan api bila digesek keras, dan menjadi cairan bila dicairkan. Oleh sebab itu juga terdapat gunung berapi di berbagai tempat di bumi ini.
Bila kekuatan tanah lebih kecil daripada kekuatan air, maka akan tercipta rerumputan dan pepohonan. Oleh sebab itulah belukar dan padang rumput akan menjadi abu bila dibakar dan mengeluarkan air bila dipilin ( atau dipatahkan ). Demikianlah, interaksi air dan api menjadi benih bagi kesinambungan dunia, di mana dunia mengalami proses kemusnahan dan pembentukan kembali secara terus menerus tanpa henti ( kiamat dan berevolusi kembali berulang kali ).
Dari segi sains, keempat unsur ini dapat disejajarkan dengan unsur-unsur penyusun sebuah atom.Sebagaimana yang kita ketahui, atom merupakan baigan terkecil yang menyusun segala sesuatu di jagad-raya ini. Agar mendapatkan pemahaman yang lebih jelas kita perlu membahas secara lebih dalam seluk beluk dari keempat unsur dasar itu. Logam atau tanah memiliki fungsi sebagai faktor penunjang serta memiliki sifat kepadatan ( solidity ). Unsur air, berfungsi sebagai pengikat, sifatnya adalah kohesif dan unsur angin memiliki fungsi sebagai penggerak serta sifatnya yang selalu bergerak. Hal ini selaras sekali dengan unsur-unsur penyusun atom. Proton dan neutron yang memiliki andil besar dalam menentukan berat atom serta membentuk inti atom dapat diumpamakan dengan unsur tanah / bumi yang mengandung kepadatan. Meson yang mengikat keduanya dapat disejajarkan dengan unsur air yang berfungsi sebagai pengikat. Elektron yang terus-menerus bergerak mengelilingi inti atom ( proton dan neutron ) dapat disepadankan dengan unsur angin yang selalu bergerak. Energi yang mengikat antara inti atom dengan elektron dapat diumpamakan dengan unsur api yang mengandung unsur panas atau energi.
Demikian pembahasan kita mengenai “Awal Mula Penciptaan” ditinjau dari sudut pandang Buddha-Dhamma, baik mazhab Theravada, maupun mazhab Mahayana.

Salam Damai dan Cinta Kasih… ,
Semoga Semua Makhluk Berbahagia dan Terbebas… !
— RATANA KUMARO  —
Semarang Barat, Jumat, 03 Oktober 2008.

No comments:

Post a Comment