RELEVANSI PATICCASAMUPPADA DALAM VIPASSANA BHAVANA
Oleh: Edy Cahyadi Dhīrasirī.
Paticcasamuppada berarti
“sebab-musabab yang saling bergantungan” atau dependent origination .Muncul bersamaan karena syarat-syarat yang
saling bergantungan atau dependent coproduction.
Biasanya dinyatakan dengan sebuah syair: “Bergantung pada ini maka
mengkondisikan itu, atau oleh karena adanya kondisi ini itu ada”.
“Tanah
liat merupakan asal mula dari sebuah kendi” demikian kata para ahli pikir pada
abad pertengahan. (PPDAB hal-179). Kalau kita menyebautkan tanah liat saja yang
merupakan asal dari sebuah kendi maka hal itu kuranglah tepat. Jika tidak ada air, roda pemutar, tidak ada tukang
pembut kendi, tidak ada niat dalam pikiran itu untuk membuat kendi, maka kendi itu
pun tidak akan jadi. Semua hal tersebut tidak dapat diabaikan dalam proses
pembuatan kendi itu. Jika satu faktor saja tidak ada, maka kendi itu pun tidak
dapat dihasilkan. Maka tidak dapat dikatakan bahwa “tanah liat merupakan asal
mula dari sebuah kendi”. Ini muncul karena kitalah yang dengan sekehendak hati
menentukan salah satu faktor tersebut. Dan menyebutkanya sebagai asal mula
sebuah kendi. Cara yang paling tepat untuk menyatakan hal ini adalah; “adanya
kendi itu bergantung juga pada tanah liat”.
Di
atas merupakan sebuah perumpamaan untuk memudahkan pemahaman tentang relevansi paticcasamuppada. Sebenranya penggunaan
hukum ini (paticcasamuppada) untuk
menjelaskan tentang adanya dukkha.
Relefansi hukum paticcasamuppada.
Buddha
merenungkan sebab-musabab kematian, kelapukan dan kesengsaraan. Berbeda dengan
orang-orang lain, yang pada waktu itu masih diliputi ketahayulan. Beliau tidak
percaya bahwa penderitaan manusia disebabkan oleh murkanya dewa-dewa yang
bermacam-macam. Beliau mempergunakan akal pikiran, sehingga
penyelidikan-penyelidikan-Nya bersifat ilmiah. Dicoba-Nya untuk mencari
sebab-musabab penderitaan manusia berdasarkan paticasamuppada.
Berkenaan
dengan tiga jenis penghancuran kilesa atau tiga jenis pahana yang telah di jelaskan sebelumnya, maka pada akhirnya jika
kita memperaktikan meditasi vipassana dengan benar kesadaran menjadi setabil
terus-menerus, dan pada akhirnya pikiran sedikit demi sedikit akan
terkonsentrasi. Bila kesadaran itu dapat berlangsung terus-menerus, maka
konsentrasi yang dicapai semakin dalam. Hal inilah yang membuat semakin jelas
pengetahuan pandangan terang yang diperoleh. Dengan konsentrasi yang lebih
mendalam, pengetahuan pandangan terang kita menjadi semakin menembus dan tajam.
Kemudian kesadaran tersebut dapat digunakan untuk menyadari proses-proses pada
batin dan jasmani.
Misalnya
ketika kita mendengar sebuah lagu yang sangat indah dan menyukainya. Apa yang
kemudian terjadi? Kita merasa senang, dan kita menyukainya. Timbulnya perasaan
senang itu tergantung pada telinga dan lagu yang merdu. Maka timbul perasaan
senang terhadap lagu tersebut. Jika hal itu tidak dapat disadari dan dicatat
sebagai; “mendengar…mendengar…”, kita akan semakin menikmati lagu tersebut.
Sehingga timbulah kelekatan untuk terus mendengarkan lagu itu. Dan ketika
perasaan senang itu semakin kuat, akan timbul keinginan untuk terus
mendengarkan lagu itu, bahkan kita sempat mengikuti nada/lirik lagu tersebut.
Dan bahkan kita malah ingin bertemu dengan penyanyinya.
Ketika
kita belum bisa menyadari akan lagu tersebut kita tidak mencatatnya kedalam
batin sebagai; “mendengar…mendengar”, bahkan semakin menikmatinya. Lalu
keinginan untuk terus menyanyikan dan bahkan keinginan untuk bertemu dengan
penyanyinya semakin kuat muncul terus-menerus, tergantung pada perasaan senang
atas lagu tersebut. Mengapa? Sebab kita lengah untuk mengamati dan
menyadarinya.
Dengan
semakin kuat keinginan kita untuk bertemu dengan penyanyi lagunya, maka akan
tibulah tindakan, dengan melakukan usaha. Mungkin kita akan pergi untuk
menemuinya. Perbuatan tersebut bisa baik dan juga bisa buruk. Saat bertemu
dengan si penyanyi kita akan membicarakan sesuatu. Pembicaraan pun bisa baik
dan juga bisa buruk. Hal ini lah yang disebut vaci-kamma atau perbuatan baik atau buruk yang dilakukan melalui
ucapan muncul.
Dari
contoh di atas nampak jelas mengapa kita selalu membangun rantai kekotoran
batin secara berkelanjutan. Sebab kita tidak mencatat dan menyadari hal itu
sebagai mana adanya. Yang perlu diperhatikan mencatat yang dimaksud di sini
adalah menyadari. Jika kita tidak dapat menyadari akan proses yang muncul maka paticcasamuppada akan terus
berkelanjutan tiada henti. Namun ketika dengan kesadaran penuh kita mengatahui
bahwa itu hanyalah suatu proses dan kita tidak terhanyut akan proses tersebut,
maka kita tidak akan melanjutkan rangkaian-rangkaian paticcasamuppada tersebut.
Dalam
kata lain jika saja saat kita meditasi vipassana lalu mendengar lagu yang
indah, jika kita langsung mencatat itu sebagai; “mendengar…mendengar”, maka
prosesnya hanya akan samapai disitu. Dan perasaan suka dan tidak suka tidak
akan muncul. Kelekatan pada lagu itu pun tidak akan muncul. Begitu seterusnya
bahkan kita tidak akan mengambil keputusan untuk menemui penyanyi lagu itu. Dengan
demikian, penggunaan penyadaran pada proses paticcasamuppada
inilah yang merupakan salah satu cara kita untuk dapat terbebaskan dari
kelekatan atau keinginan yang kuat akan segala sesuatu (taṇha). Jika salah satu
bagian dari paticcasamumpada ini
dapat kita hentikan atau sadari dengan kesadaran penuh, maka yang lainya pun
akan dapat dihentikan. Karena prinsip dari pada hukum ini adalah saling
keterkaitan/bergantungan.
Referensi:
SH,
Muliyadi Wahyono, Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha, Departemen Agama RI Proyek
Peningkatan
Pendidikan Agama Buddha Diperguruan Tinggi Jakarta, 2002.
Sayadaw,
Mahasi, Editor Thitaketuko Thera. Meditasi Vipassana, Surabaya, 2002.
M.Pd,
Warsana, S.Ag, Pokok-Pokok Dasar Ajaran Buddha. CV. Yanwreko Wahana Karya,
Jakarta,
2009.
No comments:
Post a Comment