Friday, November 18, 2011

RELEVANSI PATICCASAMUPPADA DALAM VIPASSANA BHAVANA


RELEVANSI PATICCASAMUPPADA DALAM VIPASSANA BHAVANA
Oleh: Edy Cahyadi Dhīrasirī.

Paticcasamuppada berarti “sebab-musabab yang saling bergantungan” atau dependent origination .Muncul bersamaan karena syarat-syarat yang saling bergantungan atau dependent coproduction. Biasanya dinyatakan dengan sebuah syair: “Bergantung pada ini maka mengkondisikan itu, atau oleh karena adanya kondisi ini itu ada”.
“Tanah liat merupakan asal mula dari sebuah kendi” demikian kata para ahli pikir pada abad pertengahan. (PPDAB hal-179). Kalau kita menyebautkan tanah liat saja yang merupakan asal dari sebuah kendi maka hal itu kuranglah tepat. Jika tidak  ada air, roda pemutar, tidak ada tukang pembut kendi, tidak ada niat dalam pikiran itu untuk membuat kendi, maka kendi itu pun tidak akan jadi. Semua hal tersebut tidak dapat diabaikan dalam proses pembuatan kendi itu. Jika satu faktor saja tidak ada, maka kendi itu pun tidak dapat dihasilkan. Maka tidak dapat dikatakan bahwa “tanah liat merupakan asal mula dari sebuah kendi”. Ini muncul karena kitalah yang dengan sekehendak hati menentukan salah satu faktor tersebut. Dan menyebutkanya sebagai asal mula sebuah kendi. Cara yang paling tepat untuk menyatakan hal ini adalah; “adanya kendi itu bergantung juga pada tanah liat”.
Di atas merupakan sebuah perumpamaan untuk memudahkan pemahaman tentang relevansi paticcasamuppada. Sebenranya penggunaan hukum ini (paticcasamuppada) untuk menjelaskan tentang adanya dukkha.
Relefansi hukum paticcasamuppada.
Buddha merenungkan sebab-musabab kematian, kelapukan dan kesengsaraan. Berbeda dengan orang-orang lain, yang pada waktu itu masih diliputi ketahayulan. Beliau tidak percaya bahwa penderitaan manusia disebabkan oleh murkanya dewa-dewa yang bermacam-macam. Beliau mempergunakan akal pikiran, sehingga penyelidikan-penyelidikan-Nya bersifat ilmiah. Dicoba-Nya untuk mencari sebab-musabab penderitaan manusia berdasarkan paticasamuppada.
Berkenaan dengan tiga jenis penghancuran kilesa atau tiga jenis pahana yang telah di jelaskan sebelumnya, maka pada akhirnya jika kita memperaktikan meditasi vipassana dengan benar kesadaran menjadi setabil terus-menerus, dan pada akhirnya pikiran sedikit demi sedikit akan terkonsentrasi. Bila kesadaran itu dapat berlangsung terus-menerus, maka konsentrasi yang dicapai semakin dalam. Hal inilah yang membuat semakin jelas pengetahuan pandangan terang yang diperoleh. Dengan konsentrasi yang lebih mendalam, pengetahuan pandangan terang kita menjadi semakin menembus dan tajam. Kemudian kesadaran tersebut dapat digunakan untuk menyadari proses-proses pada batin dan jasmani.
Misalnya ketika kita mendengar sebuah lagu yang sangat indah dan menyukainya. Apa yang kemudian terjadi? Kita merasa senang, dan kita menyukainya. Timbulnya perasaan senang itu tergantung pada telinga dan lagu yang merdu. Maka timbul perasaan senang terhadap lagu tersebut. Jika hal itu tidak dapat disadari dan dicatat sebagai; “mendengar…mendengar…”, kita akan semakin menikmati lagu tersebut. Sehingga timbulah kelekatan untuk terus mendengarkan lagu itu. Dan ketika perasaan senang itu semakin kuat, akan timbul keinginan untuk terus mendengarkan lagu itu, bahkan kita sempat mengikuti nada/lirik lagu tersebut. Dan bahkan kita malah ingin bertemu dengan penyanyinya.
Ketika kita belum bisa menyadari akan lagu tersebut kita tidak mencatatnya kedalam batin sebagai; “mendengar…mendengar”, bahkan semakin menikmatinya. Lalu keinginan untuk terus menyanyikan dan bahkan keinginan untuk bertemu dengan penyanyinya semakin kuat muncul terus-menerus, tergantung pada perasaan senang atas lagu tersebut. Mengapa? Sebab kita lengah untuk mengamati dan menyadarinya.
Dengan semakin kuat keinginan kita untuk bertemu dengan penyanyi lagunya, maka akan tibulah tindakan, dengan melakukan usaha. Mungkin kita akan pergi untuk menemuinya. Perbuatan tersebut bisa baik dan juga bisa buruk. Saat bertemu dengan si penyanyi kita akan membicarakan sesuatu. Pembicaraan pun bisa baik dan juga bisa buruk. Hal ini lah yang disebut vaci-kamma atau perbuatan baik atau buruk yang dilakukan melalui ucapan muncul.
Dari contoh di atas nampak jelas mengapa kita selalu membangun rantai kekotoran batin secara berkelanjutan. Sebab kita tidak mencatat dan menyadari hal itu sebagai mana adanya. Yang perlu diperhatikan mencatat yang dimaksud di sini adalah menyadari. Jika kita tidak dapat menyadari akan proses yang muncul maka paticcasamuppada akan terus berkelanjutan tiada henti. Namun ketika dengan kesadaran penuh kita mengatahui bahwa itu hanyalah suatu proses dan kita tidak terhanyut akan proses tersebut, maka kita tidak akan melanjutkan rangkaian-rangkaian paticcasamuppada tersebut.
Dalam kata lain jika saja saat kita meditasi vipassana lalu mendengar lagu yang indah, jika kita langsung mencatat itu sebagai; “mendengar…mendengar”, maka prosesnya hanya akan samapai disitu. Dan perasaan suka dan tidak suka tidak akan muncul. Kelekatan pada lagu itu pun tidak akan muncul. Begitu seterusnya bahkan kita tidak akan mengambil keputusan untuk menemui penyanyi lagu itu. Dengan demikian, penggunaan penyadaran pada proses paticcasamuppada inilah yang merupakan salah satu cara kita untuk dapat terbebaskan dari kelekatan atau keinginan yang kuat akan segala sesuatu (taṇha). Jika salah satu bagian dari paticcasamumpada ini dapat kita hentikan atau sadari dengan kesadaran penuh, maka yang lainya pun akan dapat dihentikan. Karena prinsip dari pada hukum ini adalah saling keterkaitan/bergantungan.
Referensi:
SH, Muliyadi Wahyono, Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha, Departemen Agama RI Proyek
Peningkatan Pendidikan Agama Buddha Diperguruan Tinggi Jakarta, 2002.
Sayadaw, Mahasi, Editor Thitaketuko Thera. Meditasi Vipassana, Surabaya, 2002.
M.Pd, Warsana, S.Ag, Pokok-Pokok Dasar Ajaran Buddha. CV. Yanwreko Wahana Karya,
Jakarta, 2009.

No comments:

Post a Comment