Semoga Anda Sehat, Panjang Umur, sejahtera dan Bahagia...
Pada kesempatan ini saya akan mencoba membahas tentang
"Kejadian Bumi dan Manusia menurut agama Buddha".
Hal
yang utama harus dipahami adalah, dalam ajaran Buddha berlandaskan pada
"sebab-musabab yang saling bergantungan", atau sering dikenal dengan
"Patticcasamuppada". Pengertian ini harus dipahami segala sesuatu di
alam semesta ini muncul dan lenyap karena ada sebab yang mendahuluinya, bukan berdasarkan konsep penciptaan tunggal. Dalam
kata lain, tidak ada satupun yang yang terbentuk tanpa sebab. Begitu juga tidak
ada satupun yang hancur tanpa sebab. Namun demikian juga harus dipahami sebab
yang dimaksud adalah bukan hanya satu sebab tunggal melainkan berbab akibat
yang saling berhubungan satu sama lain.
Sebagai perumpamaan
dapat digambarkan seperti sebuah mobil. Dapat disebut sebuah mobil karena
terdiri dari banyak sebab/unsur; ada ban mobil, pintu, mesin, bahan bakar,
besi, kabel instalasi, dan banyak lagi bagian-bagian dari mobil, dengan adanya
unsur-unsur tersebut disebutlah sebuah mobil. Jadi dapat dikatakan bahwa
disebut sebagai mobil karena banyak unsur/sebab yang mengkondisikannya. Jika
dilihat dari kacamata kebenaran mutlak maka kata "mobil" hanyalah
sekedar konsep atau kesepakatan saja, karena dibalik nya terdapat sebab-sebab
atau unsur-unsur yang mengkondisikannya.
Nah.. perumpamaan di
atas merupakan konsep awal yang harus dipahami sebelum kita mengetahui
bagaimana konsep "Kejadian Bumi dan Manusia Menurut Agama Buddha".
Selanjutnya dijelaskan bahwa, kejadian bumi dan manusia
menurut pandangan Buddhis adalah berlangsung dalam proses yang sangat lama
sekali. Proses kejadian ini merupakan suatu proses evolusi, namun bukan seperti
evolusi dari teori Darwin, hal ini dapat kita ikuti pada uraian berikut ini;
Secara tekstual kejadian bumi disebutkan secara singkat
dalam Mahaparinibbana Sutta, ketika Sang Buddha menerangkan tentang Delapan
sebab gempa bumi kepada bhikkhu Ananda sebagai berikut: ‘Bumi yang sangat luas
ini terbentuk dari zat cair; zat cair terbentuk dari udara, dan udara ada di
angkasa”. (Mahaparinibbana Sutta)
Selanjutnya dalam proses pengerasan bumi dari zat cair ke
padat, manusia muncul di bumi adalah banyak sekali jumlahnya. Proses
terbentuknya bumi dan manusia yang muncul di bumi ini diuraikan oleh Sang
Buddha dalam Aganna Sutta, Patika Sutta dan Brahmajala Sutta, yang merupakan
bagian dari Digha Nikaya, Sutta Pitaka. Tetapi pada kesempatan ini, hanya
Aganna Sutta yang akan dikutip, yang merupakan percakapan Sang Buddha dengan
Vasettha, sebagai berikut :
“Vasettha, terdapat suatu waktu, cepat atau
lambat, setelah berselang suatu masa yang lama sekali, ketika bumi ini mulai
terbentuk kembali. Ketika hal ini terjadi, mahkluk-makhluk yang meninggal di
Abhassara (alam cahaya), biasanya terlahir kembali di bumi sebagai manusia.
Mereka hidup seperti itu dalam masa yang lama sekali. Pada waktu itu, (bumi)
semuanya terdiri dari air dan gelap gulita. Tidak ada Matahari dan bulan yang
nampak. Tidak ada bintang maupun konstelasi yang kelihatan, siang maupun malam
belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal
sebagai makhluk saja. Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama
sekali, bagi makhluk-makhluk tersebut, sari tanah (Rasa Pathavi) muncul dari
air. Sama seperti bentuk-bentuk busa di permukaan nasi susu masak yang
mendingin, demikianlah muncul tanah itu. Tanah itu berwarna, bau dan rasanya
sama seperti dadi susu atau mentega mumi, demikianlah warna tanah itu, sama
seperti madu tawon murni demikianlah manis tanah itu.
Kemudian, diantara makhuk-makhluk yang
memiliki sifat serakah mencicipinya, maka merka diliputi oleh rasa sari tanah
itu, dan nafsu keinginan muncul dalam diri mereka. Makhluk-makhluk mulai makan
sari tanah .... Dengan melakukan hal itu, maka cahaya tubuh mereka meredup dan
lenyap, bersamaan itu maka matahari, bulan, bintang-bintang dan
konstelasi-konstelasi nampak. Demikian pula dengan siang dan malam
.... Demikianlah, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu
menikmati sari tanah, .... Berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.
Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi
padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh mereka. Ada makhluk-makhluk
yang memiliki tubuh indah dan ada makhluk-makhluk yang memiliki tubuh buruk.
Karena keadaan ini, maka mereka yang memilki bentuk tubuh indah merendahkan
mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk, dengan berpikir: “Kita lebih indah
daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita. Sementara mereka bangga akan
keindahan tubuh sehingga mereka menjadi sombong dan congkak, maka sari tanah
itu lenyap .... kemudian, ketika sari tanah lenyap bagi makhluk-makhluk itu
muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (Bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti
cendawan. Tumbuhan ini memiliki warna, bau dan rasa seperti dadi susu atau
mentega murni, demikianlah warna tubuh itu, sama seperti madu tawon murni
demikianlah manisnya tumbuhan itu .... Mereka menikmati, mendapatkan masakan,
hidup dengan yang lama sekali...., maka tubuh mereka berkembang menjadi lebih
padat, perbedaan tubuh mereka nampak jelas, sebagian nampak indah dan sebagian
nampak buruk.... Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka sehingga
mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu
pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (Badalata), muncul. Cara tumbuhnya
seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna tumbuhan itu, sama seperti madu
tawon murni manisnya tumbuhan itu.
Vasettha, kemudian makhluk-makhluk itu mulai
makan tumbuhan menjalar tersebuh. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan
hidup dari tumbuhan menjalar tersebut. Hal ini berlangsung demikian dalam masa
yang lama sekali.... Maka tubuh mereka menjadi semakin padat, perbedaan bentuk
tubuh mereka nampak semakin jelas.... Mereka bangga akan keindahan diri mereka
sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itupun lenyap...
Vasettha, kemudian... Muncullah tumbuhan
(semacam) padi (Sali) yang matang dalam alam terbuka, tanpa dedak dan sekam,
harum dengan butir-butir bersih. Bilamana pada sore hari mereka mengambilnya
dan membawanya untuk makan malam, maka pada keesokan paginya itu telah tumbuh
dan masak kembali. Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya
untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak
kembali, demikian terus-menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu
menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan
tumbuhan padi tersebut. Hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama
sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh
mereka tumbuh padat, sehingga perbedaan tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi
wanita nampak jelas kewanitaannya (Itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas
kelaki-lakiannya (Purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan
laki-laiki dan laki-laki memperhatikan tentang keadaan wanita, maka mereka
saling memperhatikan diri satu sama lain terlalu lama, maka timbullah nafsu
indera yang membakar tubuh mereka. Selanjutnya sebagai akibat adanya nafsu
indera tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (Methuna). (Agana Sutta).
Dari uraian sutta diatas sebenarnya tujuan Dhamma Ajaran
Sang Buddha lebih cenderung dipergunakan untuk mengendalikan pikiran, ucapan
dan perbuatan. Serta, kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri ini sama
sekali tidak ada hubungan langsung dengan pengetahuan tentang manusia pertama.
Tanpa mengetahui manusia pertama sekalipun, seseorang bisa saja mencapai
kesucian. Namun, dalam salah satu kesempatan, kepada mereka yang telah
mempunyai kemampuan batin dari latihan meditasi yang tekun sehingga mampu
mengingat berkali-kali muncul dan hancurnya bumi, barulah Sang Buddha
menceritakan terjadinya manusia pertama. Cerita Sang Buddha hanya kepada mereka
yang mampu mengingat terbentuk dan hancurnya bumi ini agar ada orang yang bisa
menyaksikan serta mengingat sendiri peristiwa yang disampaikan Sang Buddha.
Tentu saja, sikap Sang Buddha ini berhubungan dengan pengertian dasar dalam
Dhamma yaitu ‘datang dan buktikan’ (ehipassiko), bukan ‘datang dan percaya
saja’.
Dalam kisah yang disampaikan oleh Sang Buddha, manusia
pertama bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan banyak. Mereka bukan
hasil ciptaan. Mereka merupakan hasil sebuah proses panjang bersamaan dengan
proses terjadinya bumi beserta planet-planetnya. Seperti diketahui bahwa dalam
pengertian Dhamma, tata surya seperti yang dihuni manusia saat ini bukan hanya
satu melainkan lebih dari satu milyar jumlahnya. Masing-masing tata surya
ketika kiamat akan terbentuk lagi. Pada saat terjadinya bumi ini, datanglah
mahluk-mahluk berupa cahaya dari tata surya yang lain. Mereka berproses
bersamaan dengan proses pembentukan tata surya ini. Dalam proses tersebut
mereka tertarik mencicipi dan mengkonsumsi sari bumi, sari tumbuhan dsb.
Ketertarikan mereka menyebabkan tubuh cahaya menjadi redup dan mulai terjadilah
proses pembentukan tubuh, jenis kelamin, persilangan serta keturunan. Dan,
sekali lagi, manusia pertama karena merupakan hasil proses seperti ini,
jumlahnya tidak bisa ditentukan lagi. Sangat banyak. Mereka berproses dan
berevolusi secara lambat sampai membentuk manusia sekarang. Hanya saja, dalam
Dhamma juga tidak membenarkan maupun menolak pandangan ilmu pengetahuan modern
bahwa manusia berasal dari monyet. Sikap ini sehubungan dengan kepastian bahwa
asal manusia dari monyet ataupun bukan sama sekali tidak ada kaitan dengan
keberhasilan seseorang untuk mencapai kesucian ataupun Nibbana.# Berikut ini artikel pendukung konsep "penciptaan" dalam agama Buddha: Awal Mula "Penciptaan" dalam ajaran Buddha. Baca juga Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dalam Agama Buddha
terimakasih untuk materinya kak
ReplyDeleteIya nak
ReplyDelete