Thursday, October 27, 2011

PRAKTIK KEHIDUPAN PABBAJITA


Tradisi Buddhis mazhab Theravada memiliki banyak keberagaman ciri dan corak, di dalam keberagaman ciri dan corak tersebut terdapat kesamaan yaitu kesamaan dalam menjalankan pokok-pokok ajaran Sang Buddha. Sesugguhnya, Tradisi Buddhis terdiri dari beberapa mazhab salah satu diantaranya yaitu tradisi Buddhis mazhab Theravada, mazhab ini disebut sebagai mazhab yang berpegang teguh pada Dhamma dan Vinaya sesuai dengan kitab Tipitaka Pali. Selain itu, Theravada juga disebut sebagai ajaran para sesepuh atau Buddhisme awal (Early Buddhism). Istilah ini di ambil dari makna kata Theravada dalam kamus Bahasa Pali yang diartikan sebagai the doctrine of the Theras, the original Buddhist doctrine, yang diterjemahkan dengan istilah ajaran para sesepuh (Pali English, 1999:414). Bhikkhu Jotidhammo dalam buku 30 Tahun Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia juga mengungkapkan bahwa Pandangan keagamaan Buddhis yang berpedoman pada kitab suci Tipitaka Pali lazim disebut Theravada, ajaran sesepuh (Jotidhammo, 2006:40).
Mazhab Theravada banyak berkembang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang menjadi kawasan penyebaran mazhab Theravada, meskipun Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah umat Buddha dalam kuantitas yang minoritas namun, Theravada juga mengalami perkembangan di Indonesia. Tradisi Buddhis mazhab Theravada di Indonesia berkembang sejak masuknya Agama Buddha di Indonesia sekitar abad ke enam hingga sekarang. Perkembangan tradisi Buddhis mazhab Theravada ini dalam perjalanan perkembangannya tentu tidak terlepas dari peranan masyarakat di sekitarnya khususnya masyarakat Buddhis. Masyarakat Buddhis memiliki arti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang sama dalam tradisi yang sama yaitu tradisi Buddhis (KBBI, 2008:885). Masyarakat Buddhis terdiri dari kelompok gharavasa (perumah tangga) dan agharavasa atau pabbajita (bukan perumah tangga). Kedua jenis masyarakat Buddhis ini hidup saling berdampingan dan melengkapi, namun minat dan kesadaran masyarakat Buddhis untuk menjalani kehidupan pabbajita masih sangat sedikit. Hal ini menjadi suatu masalah, karena di satu sisi kebutuhan umat Buddha terhadap pelayanan kaum pabbajita cukup besar, sedangkan jumlah bhikkhu khususnya dalam lingkup Sangha Theravada Indonesia masih cukup terbatas. Karena keterbatasan ini pemahaman umat di beberapa wilayah Indonesia terhadap tradisi kebhikkhuan mazhab Theravada menjadi kurang maksimal, ditambah dengan adanya fenomena bhikkhu palsu yang mengaku menjalankan tradisi Theravada membuat resah masyarakat terhadap keaslian tradisi kebhikkhuan mazhab Theravada di Indonesia. Umat Buddha merupakan bagian kecil masyarakat yang memiliki tradisi Buddhis dan cenderung akan kehilangan kesempatan untuk menjalankan tradisi Buddhis, jika tidak mengenal tata cara tradisi yang seharusnya dilakukan. Contohnya Tradisi Pindacara yang hanya dilaksanakan pada saat-saat tertentu saja. Berbeda dengan negara-negara lain yang penduduknya mayoritas memeluk agama Buddha, pelaksanaan pindacara dilaksanakan setiap hari. Selain itu, kurangnya minat pemuda Buddhis untuk mengikuti praktik kehidupan pabbajita menjadi suatu kendala untuk kelestarian tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda di Indonesia. Sehingga, jika hal ini dibiarkan maka kelestarian Tradisi kebhikkhuan mazhab Theravada akan mengalami kemunduran bahkan akan hilang. (Majalah Permata Dhamma: Edisi 5, Agustus 2006:31)
Berdasarkan permasalahan tersebut dalam kajian pustaka dengan teknik analisis isi ini dibahas bagaimana menumbuhkan kesadaran masyarakat Buddhis dalam menjalani kehidupan Pabbajita untuk melestarikan Tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda di Indonesia. Pemahaman terhadap kehidupan pabbajita, tujuan, manfaat dan kondisi yang mendukung praktik kehidupan pabbajita, hingga pandangan negatif dan positif masyarakat terhadap praktik kehidupan pabbajita dikaji sebagai upaya menumbuhkan pengertian masyarakat terhadap kehidupan pabbajita dalam Tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda di Indonesia.

PRAKTIK KEHIDUPAN PABBAJITA
Pabbajita memiliki arti one who has gone out from home, one who has given up worldly life and undertaken the life of a bhikkhu, recluse or ascetic, seseorang yang telah meninggalkan rumah, melepas hidup keduniawian dan menjalani hidup sebagai bhikkhu atau petapa (Pali English Dictionary, 1999:414). Jadi praktik kehidupan pabbajita didefinisikan sebagai melaksanakan atau menjalani cara hidup pabbajita atau menjalani cara hidup meninggalkan keduniawian sebagai seorang bhikkhu atau petapa.
Tujuan praktik kehidupan pabbajita antara lain:
a. meninggalkan kehidupan berumah tangga, meninggalkan hidup keduniawian,
Tujuan meninggalkan kehidupan berumah tangga ini adalah untuk medukung kesejahteraan dan mendapat kemajuan selama menjalani kehidupan sebagai seorang pabbajita. Hal ini di jelaskan dalam Samannaphala Sutta, bahwa: “Selama para bhikkhu tidak bersukaria, tidak bergembira dan tenggelam dalam pekerjaan-pekerjaan, dalam percakapan-percakapan, dalam tidur, dalam teman-teman, dalam keinginan jahat, dalam pergaulan dengan teman jahat, selama mereka tidak merasa puas dengan pencapaian setengah dalam hal pencerahan. Selama para bhikkhu mempertahankan tujuh hal ini dan terlihat melakukan hal ini, maka akan mendapat kemajuan dan bukan kemunduran” (D, II:16).
b. menjalani sila kebhikkuan dengan teguh,
Sila kebhikkhuan disebut sebagai peraturan disiplin yang wajib dijalankan oleh seorang bhikkhu. Peraturan disiplin yang pertama kali diberikan oleh Sang Buddha disebut mulapaññatti, peraturan akar; sedangkan yang ditambahkan kemudian disebut anupaññatti. Keduanya disebut sebagai sikkhâpada atau peraturan disiplin. Tindakan pelanggaran peraturan, yang menimbulkan sanksi bagi bhikkhu yang bersalah disebut apatti, yang berarti mencapai atau melakukan. Peraturan-peraturan disiplin bagi para bhikkhu dikelompokan menjadi delapan kategori, antara lain: (1) Parajika, (2) Sanghadisesa, (3) Aniyata, (4) Nissagiya Pâcittiya, (5) Suddhika Pacittiya, (6) Patidesaniya, (7) Sekhiya, dan (8) Adhikaranasamatha. Dengan demikian delapan kelompok peraturan ini dijadikan aturan pokok yang dijalankan oleh seorang bhikkhu dan menjadi tujuan menjalani kehidupan pabbajita (Jotidhammo, 2000:1).
c. mencapai Nibbana
Tujuan untuk mencapai Nibbâna merupakan tujuan tertinggi dalam praktik kehidupan pabbajita. Nibbâna dijelaskan sebagai tujuan tertinggi karena tujuan ini merupakan tujuan yang paling sulit untuk diraih jika seorang bhikkhu masih terbelenggu oleh keinginan nafsu, kebencian dan kebodohan batin. Sang Buddha bersabda: “Tumhe hi kiccam attappam, akkhataro tatthagata”, yang artinya engkau sendirilah yang harus berusaha, Sang Tathagatha hanya sebagai penunjuk jalan”. Para Buddha hanya mengajarkan jalan menuju bebasnya penderitaan, namun diri sendirilah yang harus berusaha menempuh jalan menuju bebasnya penderitaan hingga tercapainya Nibbâna. (Dh, XX:183).
Hal-hal yang Membawa Kesejahteraan dalam Praktik Kehidupan Pabbajita
Praktik kehidupan pabbajita berbeda dengan praktik kehidupan yang dijalani oleh umat awam pada umumnya. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik cara hidup yang dijalani oleh seorang pabbajita. Apabila praktik ini dijalankan dengan sungguh-sungguh maka akan terdapat tujuh hal yang membawa kesejahteraan dan bukan kemunduran. Tujuh hal yang membawa kesejahteraan dalam praktik kehidupan pabbajita tersebut antara lain: (1) sering mengadakan pertemuan, (2) tidak mengubah dan meniadakan serta meneruskan apa yang telah ditetapkan, (3) menghormati para senior yang lebih dulu ditahbiskan, ayah dan pemimpin Sangha (4) mampu berpengendalian diri tidak menjadi mangsa dari keinginan yang mengarah pada kelahiran kembali, (5) menjalani kehidupan dalam kesunyian, (6) menjaga perhatian masing-masing, dan (7) berkumpul dan memberi manfaat atas pertemuan dengan orang-orang yang baik. Hal ini disabdakan oleh Sang Buddha dalam Mahaparinibbana Sutta (D, II:16).
Pandangan tentang Praktik Kehidupan Pabbajita
Terdapat dua pandangan dalam menilai kehidupan pabbajita. Hal tersebut dijelaskan sebagai paradigma seseorang yang memberikan penilaian terhadap praktik kehidupan pabbajita. Pandangan positif terhadap praktik kehidupan pabbajita dapat memberikan pengaruh positif terhadap individu yang menjalaninya. Pandangan tentang praktik kehidupan pabbajita dibedakan menjadi dua, yaitu (1) pandangan positif, dan (2) pandangan negatif.
(1). Pandangan Positif
Seseorang memiliki pandangan positif terhadap praktik kehidupan pabbajita karena memahami manfaat yang bisa diperoleh dari menjalani kehidupan pabbajita, jika memiliki pemahaman yang baik disertai kebijaksanaan maka praktik kehidupan pabbajita adalah praktik yang seharusnya dilaksanakan. Hal ini dapat diketahui dari beberapa kisah pada masa kehidupan Sang Buddha yang menceritakan tentang latar belakang seseorang menjalani kehidupan pabbajita karena telah memiliki pemahaman yang baik dan kebijaksanaan disertai keyakinan dengan menjalani kehidupan pabbajita akan memperoleh manfaat. Pandangan positif muncul dari pemikiran yang berorientasi pada hasil yang memberikan manfaat jika praktik kehidupan pabbajita dijalankan dengan baik dan sungguh-sungguh. Berdasarkan kajian, pandangan positif terhadap praktik kehidupan pabbajita meliputi:
1) Praktik Kehidupan pabbajita merupakan praktik kehidupan luhur, Praktik kehidupan luhur berarti praktik kehidupan yang tinggi dan mulia, karena dengan menjalani praktik kehidupan pabbajita, lebih banyak diperoleh kesempatan untuk praktik Dhamma yang merupakan wujud penghormatan tertinggi terhadap ajaran Buddha dan Sangha.Tugas utama seorang bhikkhu adalah melaksanakan Ajaran Sang Buddha, melaksanakan praktik sila kebhikkhuan (vinaya), melatih meditasi, dan praktik hidup sesuai dengan Dhamma untuk mencapai cita-cita luhur yaitu kesempurnaan batin yang terbebas dari segala bentuk keserakahan, kebencian dan kebodohan sebagai tujuan tertinggi Nibbana
2) Praktik Kehidupan pabbajita merupakan latihan hidup sederhana, latihan hidup sederhana memiliki arti berlatih untuk hidup tidak berlebihan, bersahaja dan mudah untuk dilayani. Seorang pabbajita yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga berusaha untuk berlatih memiliki sedikit barang, seperti jubah, mangkuk dan pisau untuk mencukur rambut. Semakin sedikit kebutuhan yang digunakan atau yang dimiliki maka akan semakin mudah seorang bhikkhu untuk dilayani. Selain hidup dalam kesederhanaan dalam hal kepemilikan barang-barang, seorang bhikkhu juga berusaha melatih diri sederhana dalam hal makan. Namun, seorang bhikkhu sesungguhnya dianjurkan untuk belajar makan secukupnya, penuh kesadaran dan peka terhadap kebutuhan akan makanan artinya seorang bhikkhu harus mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Hal ini bertujuan agar seorang bhikkhu berlatih untuk memiliki sedikit keinginan dan mengendalikan keinginan tersebut .
3) Praktik Kehidupan pabbajita merupakan usaha melestarikan Dhamma, Usaha melestarikan Dhamma adalah melakukan tindakan menjaga agar Dhamma tetap lestari. Praktik kehidupan pabbajita dikatakan sebagai salah satu cara agar Dhamma tetap lestari. Hal ini berkaitan dengan hubungan antara Dhamma dan komunitas yang berusaha melestarikannya. Selama Dhamma yang merupakan Ajaran Buddha masih ada yang menjalankannya, maka selama itu pula Dhamma akan masih tetap lestari. Selama para bhikkhu memiliki pemahaman intelektual yang baik, mengerti dan memahami ajaran Sang Buddha dengan benar dan berusaha mempraktikkannya dengan sungguh-sungguh maka kelestarian Dhamma masih bisa dipertahankan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan bhikkhu Nagasena Dalam Milindhapanha berkenaan dengan umur agama bahwa: “Bila pemahaman intelektual hilang, maka meskipun seseorang telah menjalani hidup dengan benar, maka tidak mempunyai pengertian yang jelas tentang ajaran itu. Dengan mundurnya praktik perilaku, penerapan aturan vinaya akan hilang dan hanya bentuk luar ajaran itu saja yang tertinggal. Bila bentuk luar itu lenyap maka tradisi itu terputus dan tidak akan berlanjut (Miln, VIII:7).
(2). Pandangan Negatif
Praktik kehidupan pabbajita mengandung nilai negatif, jika seseorang memiliki pandangan yang salah tentang praktik kehidupan pabbajita. Pandangan yang salah tersebut antara lain adanya anggapan bahwa:
1) Praktik kehidupan pabbajita dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar, hidup di lingkungan yang majemuk, di masyarakat yang tidak semuanya mengenal dan memahami ajaran Buddha. Pandangan negatif tentang praktik kehidupan pabbajita juga tidak bisa dihindari. Hidup dengan kondisi yang tidak umum, dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan pengalaman dari para bhikkhu yang sering memperoleh sebuah asumsi yang tidak umum dari masyarakat.
2) Praktik kehidupan pabbajita dianggap sebagai pola hidup yang tidak seimbang, orang menganggap bahwa praktik kehidupan pabbajita sebagai pola hidup yang tidak seimbang, praktik kehidupan pabbajita hanya mementingkan pribadi individu yang menjalaninya saja. Kehidupan seorang pabbajita hanya mementingkan kualitas pengembangan spiritualitasnya saja sedangkan hidup berdampingan dengan masyarakat diabaikan. Menurut hakikatnya seorang bhikkhu hanya bermeditasi saja
3) Praktik kehidupan pabbajita dianggap sebagai suatu kesalahan, hidup menjadi seorang bhikkhu harus menjalani banyak aturan, tidak menikah, tidak boleh memegang lawan jenis (wanita). Anggapan dari beberapa orang yang belum mengetahui tentang praktik kehidupan pabbajita adalah selayaknya sebagai orang yang normal seharusnya larangan-larangan tersebut tidak perlu dijalani. Hidup hanya sekali, dengan menjalani kehidupan sebagai seorang pabbajita kesenangan-kesenangan dan kebahagiaan tidak bisa dirasakan.
Manfaat Praktik Kehidupan Pabbajita
Menjalani kehidupan pabbajita sesungguhnya memiliki banyak manfaat. Manfaat menjalani kehidupan pabbajita dapat dialami dan dirasakan tidak hanya oleh individu yang menjalankan praktik kehidupan tersebut, namun juga dapat dirasakan oleh banyak orang. Manfaat dari menjalani kehidupan pabbajita akan muncul pada diri seseorang yang mampu menjadikan praktik tersebut sebagai upaya mengembangkan batin ke arah yang lebih luhur demi kepentingan semua mahkluk.
Penjelasan dalam Sammaññaphala Sutta, menerangkan tentang manfaat atau buah yang dapat diperoleh dari menjalani kehidupan pabbajita. Manfaat tersebut dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
1. Bagi Individu
Penjelasan dalam Sâmaññaphala Sutta menerangkan bahwa terdapat beberapa manfaat dari menjalani kehidupan pabbajita bagi individu yang dengan sungguh-sungguh menjalankan praktik kehidupan tersebut, manfaat tersebut antara lain: (1) terhindar dari perbedaan kasta, (2) memperoleh penghormatan dari Raja, (3) memiliki kesempatan menjalankan moralitas dengan sempurna, (4) terhindar dari bahaya dalam sisi manapun, (5) memiliki pengendalian diri (D, I:2).
2. Bagi Keluarga
Orang tua memiliki kewajiban terhadap anak-anaknya, hal ini dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta. Dengan menjalankan kewajiban tersebut, orang tua akan memperoleh manfaat kebajikan dari anak-anaknya. Demikian halnya dengan memberikan kesempatan terhadap seorang anak untuk menjalankan praktik kehidupan pabbajita maka manfaat yang diperoleh oleh keluarga, khususnya orang tua jika ada anggota keluarga atau putra-putranya yang menjalankan praktik kehidupan pabbajita antara lain: (1) mencegah anak berbuat kejahatan, (2) mengarahkan anak melakukan kebajikan, (3) memberikan pendidikan yang sesuai untuk anak, (4) memberikan warisan Dhamma kepada anak
3. Bagi Masyarakat
Praktik kehidupan pabbajita memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya umat Buddha, manfaat tersebut antara lain: (1) umat memperoleh kesempatan untuk berbuat baik, (2) umat memperoleh pelayanan terhadap kebutuhan pengetahuan Dhamma, (3) mengkondisikan umat untuk memiliki pandangan benar secara Dhamma (D, III:31).
4. Bagi Kelestarian Dhamma.
Para bhikkhu yang memiliki kesejahteraan dan kemajuan batin akan mendukung kemajuan praktik perilaku, dengan majunya praktik perilaku maka Vinaya akan terjaga. Vinaya yang terjaga dan terpelihara dengan baik maka akan mengondisikan kelestarian Dhamma bisa dipertahankan dan dilestarikan. Praktik Kehidupan pabbajita memberi pengaruh langsung terhadap kelestarian Dhamma Ajaran Sang Buddha. Pengaruh tersebut muncul karena selain menjalani tugas utama untuk praktik Dhamma, seorang bhikkhu juga memiliki tugas untuk mengamalkan atau mensosialisasikan Dhamma kepada masyarakat luas, khususnya umat Buddha. Dengan demikian kelestarian Dhamma akan dapat dipertahankan.
Kondisi-Kondisi yang Mendukung Praktik Kehidupan Pabbajita
Kehidupan seorang pabbajita tidak terlepas dari kondisi-kondisi yang mendukung dalam proses keberlangsungannya. Tanpa kondisi-kondisi tersebut praktik kehidupan pabbajita tidak dapat bertahan dan ada. Sehingga penting sekali untuk dapat diketahui sejauh mana kondisi tersebut dapat mendukung kelestarian dari kehidupan pabbajita. Berdasarkan pengkajian berkenaan dengan persyaratan untuk memasuki kehidupan pabbajita serta tata aturan prosedur untuk memasuki kehidupan sebagai samana. Maka, kondisi-kondisi yang mendukung praktik kehidupan pabbajita yaitu:
1) Keluarga,
2) Guru,
3) Perumah tangga (Umat),
4) Tempat tinggal
TRADISI KEBHIKKHUAN MAZHAB THERAVADA DI INDONESIA
Tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda dijelaskan sebagai adat kebiasaan yang secara turun-temurun dijalankan oleh para bhikkhu penganut pandangan keagamaan Buddhis yang berpedoman pada Kitab Suci Tipitaka Pâïi. Tradisi Kebhikkhuan mazhab Theravâda di Indonesia merupakan salah satu tradisi Buddhis yang ada sejak perjalanan sejarah masuknya agama Buddha di Indonesia. Tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda yang ada di Indonesia keberadaannya tidak terlepas dari tradisi Theravâda yang dibawa oleh para Dhammaduta awal yang berperan dalam pengembanagan ajaran Buddha di Indonesia.
Pelaksanaan Tradisi Buddhis di Indonesia
1. Tradisi Kebhikkhuan (Tradisi yang dilaksanakan oleh kaum agharavasa)
Tradisi kebhikkhuan (agharavasa) adalah tradisi atau kebiasaan yang dilaksanakan atau dilakukan oleh para bhikkhu, dibedakan menjadi:
  1. Tradisi Uposatha, Para bhikkhu menjalankan upacara samaggi-uposatha pada bulan purnama sidhi hari uposatha, yaitu sesudah mencukur rambut, melakukan upacara parisudhi. Upacara parisudhi adalah upacara penyucian batin dan mohon maaf atas perbuatan salah yang telah diperbuatnya dan selanjutnya membaca ulang patimokkha. Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk mengadakan uposatha hanya pada bulan purnama dan pada bulan gelap. Dalam empat belas atau limabelas hari para bhikkhu diperbolehkan untuk mengadakan uposatha sekali. (Endro, 1997:1). Selain itu, Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk mengadakan Uposatha tambahan dalam beberapa kasus, seperti apabila dalam kelompok para bhikkhu telah terjadi perpecahan dan kemudian dipersatukan kembali, seperti pada kasus para bhikkhu di Kosambī, ini yang dinamakan sāmaggī-uposatha atau uposatha-kerukunan. Di luar batas-batas ini, para bhikkhu dilarang untuk mengadakan Uposatha. Dengan demikian, terdapatlah tiga hari bagi uposatha yaitu uposatha ke empat belas, limabelas, dan hari sāmaggi uposatha.
  2. Tradisi Patimokkha, Setiap dua minggu sekali pada hari uposattha, para bhikkhu mempunyai tradisi untuk berkumpul di uposathaghara, cetiya atau dhammasala untuk mengulang patimokkha yang terdiri dari 227 peraturan sila kebhikkhuan dalam bahasa Pali (Pesala, 2002:205). Persyaratan para bhikkhu harus membuat sangha-uposatha, membaca Pātimokkha apabila pertemuan itu sempurna dalam empat faktor, yaitu:
(1) Hari itu adalah hari ke empat belas, atau ke limabelas, atau hari sāmaggi
(2) Jumlah bhikkhu yang menghadiri sidang paling sedikit empat bhikkhu, tetapi apabila di sana terdapat lebih dari itu, maka adalah baik
(3) Bhikkhu-bhikkhu itu adalah bukan sabhāgāpatti, apabila demikian, maka seorang bhikkhu harus membuat pengumuman
(4) Yang duduk di dalam hatthapāsa tidak ada orang-orang yang dinyatakan vajjaniya, yakni, orang-orang yang tidak berada dalam pertemuan
  1. Tradisi Vassa, Para bhikkhu memiliki tradisi vassa yang artinya bertempat tinggal di vihara atau cetiya selama musim hujan. Vassa dilakukan setahun sekali selama tiga bulan musim hujan. Biasanya dimulai pada bulan Juli atau Agustus sampai dengan Oktober atau November. Musim hujan umumnya berlangsung selama empat bulan, tetapi dalam satu bulan terakhir digunakan untuk menerima persembahan empat kebutuhan pokok yaitu jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan. Di dalam Pāli Canon, telah digariskan atau ditentukan dua kali untuk waktu musim Hujan ini: purimikāvassūpanāyikā istilah dari hari untuk memasuki masa pertama musim Hujan; dan pacchimikā-vassūpanāyikā yang artinya hari untuk memasuki masa terakhir musim Hujan. Pada saat vassa para bhikkhu dapat bepergian dari tempat yang di tinggali sebelumnya, ke tempat yang digunakan untuk tinggal selama tiga bulan. Bila lebih dari tujuh hari maka dianggap gagal dalam bervassa. Jika dari awal masuk belum ada satu bulan, maka boleh memasuki vassa pada bulan kedua. Para bhikkhu dapat bepergian dari tempatnya bervassa dengan alasan: (1) membangun atau memperbaiki sebuah vihara yang rusak, (2) orang tuanya sakit, (3) ada bhikkhu yang hendak lepas jubah, (4) urusan Dhamma atau mengajar Dhamma pada umat, (5) kebanjiran, (6) vihara, cetiya, kuti yang ditempati terbakar.
d. Pavarana, Para bhikkhu yang telah menyelesaikan masa tiga bulan dari menetap musim Hujan dengan tuntas diperkenankan Sang Buddha untuk mengadakan pavāranā sebagai ganti Uposatha pada bulan purnama dari bulan Kattika pertama, hari pavāranā itu biasanya jatuh pada hari ke limabelas. Apabila Sangha tidak mengadakan pavāranā pada hari tersebut, maka dapat ditunda pada bulan empat belas hari lunar. Dengan demikian akan jatuh pada hari ke empat belas dan pada hari kelimabelas, atau Sangha dapat bersepakat pada hari yang akan menjadi hari sāmaggi. Oleh sebab itu, seperti Uposatha, terdapat tiga hari untuk pavāranā. Jumlah bhikkhu yang memasuki pertemuan harus paling sedikit lima bhikkhu, namun bisa lebih dengan demikian para bhikkhu bisa mengadakan pavāranā sebagai perbuatan dari Sangha. Apabila seorang bhikkhu membuat pavāranā, ke empat bhikkhu lainnya membuat quorum dari Sangha. Apabila terdapat empat, tiga, atau dua bhikkhu maka bhikkhu tersebut harus membuat pavāranā sebagai tindakan dari gana. Apabila hanya terdapat satu bhikkhu saja, bhikkhu tersebut membuat pavāranā dengan adhitthāna, suatu tindakan tentang puggala. Pavarana berarti mengundang, istilah ini juga digunakan pada masa akhir dari vassa. Bhikkhu senior dan bhikkhu junior saling mengundang, terutama jika ada empat orang bhikkhu yang bervassa di satu tempat atau vihara. Para bhikkhu saling mengundang untuk memberikan teguran dan kritikan apabila ada kekurangan dan kesalahan, serta sekaligus saling memberikan nasihat antara bhikkhu yang satu dengan bhikkhu yang lain khususnya yang senior memberikan nasihat kepada junior.
2. Tradisi Perumah Tangga (Tradisi yang dilaksanakan oleh kaum gharavasa)
  1. Tradisi Uposatha, Tradisi uposatha yang dilaksanakan para perumah tangga antara lain: (1) melakukan persembahan bunga, dupa, lilin di vihara, (2) melakukan puja pada Sang Triratna dan membaca paritta-paritta suci, (3) memohon pada bhikkhu untuk membimbing tuntunan pancasîla (lima sila) atau atthasila (delapan sila), (4) mendengarkan khotbah Dhamma dari para bhikkhu dan pandita, (5) memperbanyak meditasi (Endro, 1997:1). Uposatha bagi umat Buddha tidak hanya sebatas ritual untuk melaksanakan puja bhakti saja namun hal yang terpenting adalah melaksanakan sila baik pancasîla maupun atthasîla yaitu dengan tekad yang sungguh-sungguh melatih diri untuk menjalankan latihan sila. Bagi umat Buddha yang menjalankan sila pada hari uposatha disebut Uposathan-Upavasati.
  2. Pavarana, Pada akhir masa vassa para umat Buddha biasanya melakukan pavarana. Pavarana yang dimaksud adalah memberikan dukungan kepada para bhikkhu dengan bertekad untuk bersedia memenuhi kebutuhan pokok atau keperluan yang diperlukan bhikkhu. Tujuan dari tradisi pavarana ini adalah agar umat dapat membantu dan menyokong kebutuhan para bhikkhu (Candakaro, 2002:101). Tugas pavarana yang dilaksanakan perumah tangga kepada para bhikkhu dilakukan dengan memberikan bantuan kepada para bhikkhu dengan mengundang dan menawarkan bantuan kepada bhikkhu yang bersangkutan. Pavarana dapat dilakukan selama masa vassa atau di luar masa vassa. Apabila pavarana diberikan umat selama masa vassa maka di luar masa vassa, para bhikkhu tidak diperbolehkan memanggil umat untuk membantu, kecuali umat tersebut melakukan pavarana kembali.
Praktik Kehidupan Pabbajita dalam Tradisi Buddhis Theravada di Indonesia
Praktik kehidupan pabbajita merupakan salah satu cara untuk melestarikan tradisi Buddhis Theravada di Indonesia. Hal ini diartikan demikian karena memilih menjadi bhikkhu kemudian dapat memberikan bantuan terhadap pembinaan umat, akan dapat membantu memberi manfaat bagi banyak orang. Selain memberikan manfaat untuk diri sendiri, juga memberi peran terhadap masyarakat. Seseorang yang akan memasuki persaudaraan para bhikkhu atau sangha sebagai seorang bhikkhu atau sâmanera harus membersihkan diri dari larangan-larangan yang telah ditetapkan dalam Vinaya Pitaka, yaitu: harus bebas dari hutang, harus bebas dari penyakit menular dan pelanggaran hukum negara, harus memperoleh izin dari orang tua atau majikannya, harus bebas dari persoalan rumah tangga seperti kekayaan, keluarga atau kegiatan-kegiatan lainnya.
MENUMBUHKAN dan PERANAN KESADARAN MASYARAKAT BUDDHIS DALAM MELESTARIKAN TRADISI KEBHIKKHUAN MAZHAB THERAVADA DI INDONESIA.
Kesadaran masyarakat Buddhis akan tumbuh jika masyarakat memiliki pengertian benar terhadap praktik kehidupan pabbajita. Pengertian benar yang perlu diterangkan adalah berkenaan dengan manfaat dari adanya praktik kehidupan pabbajita. Melalui manfaat tersebut, maka masyarakat mengetahui tentang pentingnya menjalani praktik kehidupan pabbajita sebagai usaha untuk menjaga kelestarian dari kelangsungan kehidupan pabbajita dan tradisi Buddhis, khususnya tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda di Indonesia. Dengan demikian, untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat Buddhis diperlukan pengertian dan pemahaman terhadap: (1) Peranan Praktik Kehidupan Pabbajita, (2) Peranan Pelaksanaan Tradisi Kebhikkhuan Mazhab Theravâda Indonesia, dan (3) Usaha Pelestarian Tradisi Kebhikkhuan Mazhab Theravâda di Indonesia.
Masyarakat Buddhis memiliki peran dan pengaruh yang besar dalam perkembangan Ajaran Buddha Gotama salah satunya dalam mempertahankan tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda. Hubungan timbal balik yang positif antara perumah tangga dan pabbajita mampu menjaga kelestarian sebuah tradisi Buddhis yang telah dianjurkan oleh Buddha Gotama sejak ribuan tahun lamanya. Masyarakat Buddhis akan memiliki kemauan dan kesadaran untuk menjalani dan memberikan dukungan terhadap praktik kehidupan pabbajita apabila telah memiliki pandangan benar terhadap praktik kehidupan pabbajita. Karena, kelestarian tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda di Indonesia tergantung dari kesadaran masyarakat Buddhis untuk berusaha menjaga, memelihara dan menjalankan tradisi tersebut. Cara agar tradisi kebhikkhuan mazhab Theravâda di Indonesia tetap lestari dilakukan dengan:
(1) Menjalani praktik kehidupan pabbajita,
(2) Memberikan dukungan Spiritual dan Material terhadap praktik kehidupan pabbajita.
Menjalani praktik kehidupan pabbajita sangat diperlukan demikian halnya dengan memberikan dukungan terhadap praktik kehidupan pabbajita. Jika masyarakat Buddhis memiliki kesadaran dalam menjalani dan memberikan dukungan terhadap praktik kehidupan pabbajita maka tradisi kebhikkhuan, kelestarian Dhamma dan praktik kehidupan luhur yang dijalankan oleh seorang pabbajita dapat lestari. Hal ini membuktikan bahwa praktik kehidupan pabbajita sangat penting untuk dijalani dan diberikan dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
Achaan Chah, 2007. Telaga Hutan yang Hening. Denpasar: Mutiara Dhamma.
Bodhi, 2000. Samyutta Nikaya. Boston: Wisdom Publication.
Candakaro, 2002. Bahagia Dalam Dhamma. Makasar: Keluarga Buddhis Brahmavihara Makasar.
Davids, T.W. Rhys dan Stede, William. 1999. Pali English Dictionary. Delhi: Motilal Banarsidass Publisehers.
Dhammadhiro (Ed). 2008. Pustaka Panduan Sâmaóera. Jakarta: Saõgha Theravada Indonesia.
Dhammasiri. 2006. Arti Sebuah Pengabdian. Jakarta: Graha Metta Sejahtera.
Endro, Herman. S. 1997. Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
Hansen, Sasanasena Seng. 2008. Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production.
Jotidhammo (Ed). 1998. Itivuttaka. Bandung:Lembaga Anagarini Indonesia.
_____. 2000. Panduan Tipitaka Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
_____. 2006. 30 Tahun Abdi Dhamma Saõgha Theravada Indonesia. Jakarta: Wisma Sangha Theravada Indonesia.
Kusaladhamma. 2007. Kronologi Hidup Buddha. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Majalah Permata Dhamma. 05 Agustus, 2006. Pindapata dan Situs Candi Buddhis di Karawang, hlm 31.
Nyanaponika, Bodhi. 2001. Petikan Anguttara Nikaya Buku 1. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan Dhammaguna.
_____. 2001. Petikan Anguttara Nikaya Buku 3. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan Dhammaguna
Nyanamoli dan Bhikkhu Bodhi. 2004. Majjhima Nikaya Buku 1. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan Dhammaguna.
_____. 2004. Majjhima Nikaya Buku 2. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan Dhammaguna.
_____. 2004. Majjhima Nikaya Buku 5. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan Dhammaguna.
Pesala. 2002. Petikan Milinda Pañha Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Wisma Meditasi Dhammaguna.
Piyadassi. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Triratna.
Rasyid. Teja. SM. 1993. Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka 1. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Universitas Terbuka.
_____. 1994. Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka 2. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Universitas Terbuka.
Rashid.Teja. SM. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Boddhi.
Saddhaviro. 2010. Cerita Tekad Orang Nekad. Jakarta: Saddha Creative Team.
Salim, Juniarti. Buku Pelajaran Agama Buddha Ehipassiko. Jakarta: Ehipassiko Foundation.
Tabloid Kasi. 03 Maret, 2008. Pendidikan dan Perkembangan Sangha, hlm. 13.
Thitayañño (Ed). 2008. Vinaya Pitaka Volume I. Medan: Indonesia Tipitaka Center (ITC).
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Walshe, Maurice. 2009. Digha Nikaya. Jakarta: Dhammacitta Press.
Widya, R.Surya (trans). 2005. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.

1 comment:

  1. Terimakasih, ini sangat membantu dalam penyelesaian tugas kami..
    Semoga dapat membantu rekan² yang lain, yang belum memahami paradigma kehidupan monastik diindonesia

    ReplyDelete