Thursday, November 24, 2011

Kritikan dan Celaan


Apakah kita senang bilamana kita dikritik orang lain hanya karena kesalahan yang sangat kecil sekali ? Barangkali kita merasakan sesuatu dalam pikiran kita bahwa mengapa kita yang harus menerima kritikan ? Kenapa saya selalu yang dicela ? Kenapa orang lain sepertinya tidak pernah dicela dan dikritik ?

Mengapa ada Celaan atau Kritikan ?

Memang, kalau kita tidak pernah menyadari sendiri bagaimana sesungguhnya hidup dan kehidupan ini, kita akan selalu mengalami kesulitan untuk mengerti mengapa seolah-oah hanya kita saja yang harus menderita karena kritikan dari orang lain. Apabila kita mencoba untuk mempelajari secara cermat, kita akan dapat menemukan bahwa sesungguhnya tidak ada orang di dunia ini yang bebas dari celaan atau kritikan. Dalam bukunya, 'How to live without Fear & Worry', Ven. Dr. K. Sri Dhammananda Mahanayaka Thero, mengatakan bahwa di dunia ini sangat sedikit orang yang mengatakan dirinya tidak punya musuh. Sang Buddha sendiri juga dimusuhi oleh saudara sepupuNya, Devadatta. Justru, paling sering orang yang berbuat baik demi kesejahteraan banyak orang, namun juga harus berhadapan dengan orang yang bermaksud jahat padanya. Nampaknya seperti konflik yang tak henti-henti timbul secara alami antara baik dan buruk. Ketika seseorang sedang berusaha berbuat baik, ada orang tertentu yang suka mencari-cari kesalahannya daripada memberikan pujian kepadanya.
Kita tahu bahwa memang ada orang tertentu yang suka melihat kesalahan orang lain saja, tetapi menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri. Apabila orang macam ini yang suka mengkritik kita, maka kita harus berhati-hati dan waspada dengan orang seperti itu. Sang Buddha pernah berkata bahwa barangsiapa suka memperhatikan kesalahan orang lain, dan selalu merasa ingin menggaruk-garuk, maka kekotoran-kekotoran bathinnya akan semakin bertambah. Orang seperti ini akan selalu membuat gara-gara sehingga menimbulkan kritikan dilakukan oleh dia sendiri dan juga orang lain. Jadi, celaan ataupun kritikan itu timbul karena si pengiritik mempunyai gambaran pemikiran tentang si terkritik tidak sama dengan yang diharapkannya. Kritik ini sifatnya membangun. Tetapi ada si terkritik yang sesungguhnya benar, namun si pengritik melihatnya tidak benar sehingga melontarkan kritikan agar berubah menjadi tidak baik seperti yang diharapkan oleh si pengritik.

Perlukah takut dengan kritikan ?

Kalau kita dikritik, seharusnya bisa menganggap itu sebagai pil pahit atau suntikan obat yang walaupun terasa sakit. Sebab itu akan dapat menolong kita untuk menjadi lebih baik, sembuh dari sakit. Apabila seseorang dikritik kemudian merasa sakit hati atau seolah-olah terluka dan marah, maka dia sendiri akan menghadapi bahaya bagi dirinya sendiri. Akan tetapi sebenarnya ada kritikan yang sifatnya membangun, karena kritikan itu kadang-kadang datangnya bukan dari musuh tetapi dari orang yang ingin melihat kita berubah menjadi lebih baik dan bukan meneruskan kebiasaan yang kurang baik seperti yang dikritik itu. Kita harus ingat bahwa tidak ada orang yang secara mudah dan sungguh-sungguh bisa terbebas dari kritikan, walaupun orang penting atau mungkin petinggi negara. Itulah sebabnya kita tidak perlu sebenarnya takut dengan kritikan. Namun justru yang harus kita lakukan adalah berterimakasih dan introspeksi diri sehingga perubahan yang terjadi adalah menjadi lebih baik daripada apa yang sebelumnya kita lakukan sebenarnya salah.
Kritikan yang masuk kepada kita seharusnya kita hadapi dengan tenang dan tabah, sehingga emosi kita terkendali dengan baik dan terarah dengan baik pula. Ketakutan yang timbul akan menggelapkan bathin kita, apabila kita tidak atasi dengan tepat dan secepat mungkin.

Mencari solusi dengan bantuan orang bijaksana

Kalau memang masih mengalami kesulitan untuk tidak takut dengan berbagai kritikan yang datang dari satu ataupun banyak pihak, si terkritik memang perlu bantuan orang ke tiga. Orang ke tiga di sini harus bersikap netral dan bijaksana, bisa membantu sehingga si terkritik dapat memahami apa yang menjadi masalah yang sesungguhnya. Orang bijaksana tidak akan melenyapkan atau mengalahkan musuh dengan membalas dendam/benci, karena akan memperbanyak musuh lagi.
Orang bijaksana akan menunjukkan jalan yang benar untuk mnyelesaikan masalah yang timbul. Jika ada celaan atau kritik dari orang lain, orang bijaksana tidak akan membalas dengan celaan atau kritik, namun akan mengatakan sesuatu dengan baik kepadanya dan memaafkan kesalahannya.
Semestinya kita umat Buddha tahu bahwa kita mengenal ajaran, teori maupun praktik, bisa memiliki bathin yang bersih dan tenang sehingga andaikata ada orang lain tidak senang kepada kita, kita akan dapat menemukan apa yang menyebabkan itu terjadi. Setelah mengenal dengan baik petunjuk-petunjuk Dhamma yang kita pelajari, kita mestinya juga tahu bahwa kritikan yang kita terima itu tidak lepas dengan sikap dan cara hidup kita sendiri. Satu hal yang harus kita ingat, kebencian tidak akan berakhir apabila dibalas dengan kebencian, akan tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Demikian juga kalau ada orang mengkritik kita, tapi kita masih mau membalas kritik orang tersebut, sehingga membuat dia semakin tidak senang kepada kita. Namun, apabila kita mencoba untuk sedapat mungkin mengerti bahwa sesungguhnya kita tidak perlu mengkritik dia lagi. Kecuali kalau memberikan semacam peringatan untuk tidak mengulangi kritikan itu apalagi dengan maksud ingin menjatuhkan kita, karena bahaya akan ada pada dia. Dan kita juga harus introspeksi diri, merenungkan apakah benar kita lakukan apa yang dikritik oleh orang itu. Jika itu benar tentu kita harus berusaha untuk bisa menerimanya dengan tenang dan bisa memperbaiki diri.
Dengan tradisi turun temurun dari Buddha, para bhikkhu, khususnya Theravada, setiap hari uposatha sebelum membacakan ulang 227 peraturan patimokkha, selalu saling mengingatkan satu sama lain, dengan membacakan beberapa kalimat dalam bahasa Pali, agar bhikkhu tidak lalai dan tidak senonoh dalam hidupnya dan saling memaafkan.

******

No comments:

Post a Comment