Tulisan berikut disadur dari tulisan YM. Bhikkhu Guttadhammo Thera dengan tujuan memberikan pengetahuan tentang ke-Tuhan-an Yang Maha Esa Dalam Agama Buddha khususnya bagi para pengunjung halaman ini. Setelah membaca tulisan ini seseorang dapat memahami konsep Tuhan dalam ajaran Buddha yang sesuai dengan kitab suci Tipitaka.
KETUHANAN YANG MAHA ESA DALAM AGAMA BUDDHA
Oleh: YM. Bhikkhu Guttadhammo Thera
A. Pengantar

Setiap agama bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, terlepas
dari pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap-tiap agama terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Setiap
pemeluk agama mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa tidaklah sama dengan umpamanya: percaya adanya suatu telaga
di puncak gunung yang tinggi. Percaya tentang adanya suatu telaga di puncak
gunung tidak berpengaruh pada sikap hidup dan perilaku seseorang sehari-hari.
Tetapi sebaliknya, percaya terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa berakibat
penyerahan diri (attasanniyyatana) kepada-Nya. Penyerahan diri itu tertampak
dalam perbuatan, sedangkan perbuatan tersebut merupakan kebajikan (puñña), dan
itulah yang disebut hidup beragama. Perbuatan itu hendaknya dilandasi oleh
kesadaran, dilakukan dengan sadar, bukan kebiasaan, bukan adat istiadat, bukan
pula tradisi.
Perbuatan beragama memberikan pengalaman. Pengalaman manusia
dalam beragama merupakan pengalaman yang mengintegrasikan hidupnya. Demikianlah
maka hidupnya mempunyai tujuan, oleh karena itu hidup menjadi bermakna.
Sering kita melihat orang hidup berkecukupan materi,
berpangkat, dan berkuasa, tetapi mereka itu hidupnya sepi, kosong, tidak ada
keutuhan, dan terasa adanya disintegrasi diri, karena tidak adanya tujuan
hidup. Tujuan itu terdapat dalam setiap agama.
B. Tujuan hidup menurut Ajaran Buddha
Sejak mulai dibabarkannya ajaran Kebenaran (Dhamma) oleh
Buddha Gotama, telah terdapat pengertian Tuhan Yang Maha Esa yang memungkinkan
manusia mengakhiri penderitaannya untuk selama-lamanya, yang menjadi tujuan
hidup terakhir menurut ajaran Buddha.
Khotbah
Buddha yang terdapat dalam Kitab Udana VIII, 3 demikian :
“ Atthi bhikkhave ajâtam abhûtam akatam
asankhatam,
no ce tam bhikkhave abhavisam ajâtam abhûtam
akatam asankhatam,
nayidha jâtassa bhûtassa katassa sankhatassa
nissaranam paññâyetha.
Yasmâ ca kho bhikkhave atthi ajâtam abhûtam
akatam asankhatam,
Tasmâ jâtassa bhûtassa sankhatassa
nissaranam paññâya’ ti. “
“ Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan,
Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tidak ada
Yang Tidak Dilahirkan, Tidak dijelmakan, Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka
tidak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, dan
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak
Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka ada
kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, dan pemunculan
dari sebab yang lalu. “