Mahaparinibbana-suttanta, yang menghubungkan
kejadian-kejadian yang berkaitan dengan hari-hari terakhir sang Buddha,
mengisahkan dua episode yang penting bagi pemahaman perkembangan-perkembangn
utama yang terjadi dalam sejarah pemikir Buddha selama dua abad berikutnya.
Yang pertama terjadi ketika sang Buddha, beberapa saat
sebelum wafat, menasehati Ananda tentang masa depan Sangha. Sang Buddha
diceritakan berkata sebagai berikut;
“Jika, Ananda, terlintas pada anda; ‘Ajaran telah
tertinggal tanpa guru; kami tak mempunyai guru’, anda tidak seharusnya berfikir
demikian. Ananda, ajaran apapun yang telah ku ajarkan dan peraturan apapun yang
telah kutanamkan akan menjadi guru anda selepas peninggalanku”.
Keengganan sang Buddha untuk menunjuk seorang dari siswanya
untuk memimpin sangha para bhikkhu, dan permintaanya agar para bhikkhu memina
ajaran (dhamma) dan peraturan (vinaya) sebagai pembimbing mereka
dimaksudkan agar para siswanya lebih memusatkan perhatian pada masalah
menentukan keadaan ajaran dan peraturan dari pada hal-hal lainya.
Lebih dari itu, bahkan pada masa hidup sang Buddha sendiri,
ada beberapa kejadian yang memperlihatkan bagaimana ajaranya telah disalh
tafsirkan. Dua kejadian yang tekenal diantaranya tercatat dalam Majjhimanikaya. Yang pertama oleh
pernyataan dari seorang bhikkhu yang bernama Arittha bahwa kesenangan indria, menurut sang Buddha bukan batu
penghalang (antarayika dhamma). Yang lain adalah kasus dari bhikkhu Sati yang
bertahan bahwa dalam ajaran sang Buddha ‘kesadaranlah’ (vinnana) yang berpindah
dan bukan yang lainya. Beruntung pada waktu itu Beliau masih hidup sehingga
dapat meluruskan kesalahan ini.
Tambahan pula, suatu himpunan yang terdiri dari tiga sutta penting, pasadika-suttanta, sangiti-suttanta,
dan samagama-suttanta, menunjuk pada
kematian dari pemimpin kaum jaina
Nigantha dan pertentangan yang muncul dikalangan kaum Jaina setelah
kematianya. Ketika sang Buddha mengetahui hal ini, beliau bersabda;
“karena itu Cunda,
perbuatlah oleh anda, juga bagi semua yang telah mendengar kebenaran yang
kuselami, berkelompoklah dan berlatihlah bersama atas semua ajaran dan tidak
mempertengkarkannya, melainkan perbandingkan makna dan makna, kalimat dengan
kalimat, agar ajaran kebenaran ini dapat bertahan lama dan dapat diabadikan,
agar ia hidup berkesinambungan untuk kebaikan dan kebahagiaan semua makhluk,
berdasarkan cinta kasih untuk alam semesta, bagi kebaikan dan keberuntungan dan
kesejahteraan para dewa dan manusia.”
Hal ini tentulah akan membuat para bhikkhu mengumpulkan
semua sutta yang telah disampaikan sang Buddha, juga bahkan pada masa hidupnya.
Tetapi, kebutuhan akan hal ini semakin terasa setelah kematian sang Buddha, dan
karena alasan ini tugas mengumpulkan sutta-sutta yang disampaikan keberbagai
orang pada waktu dan tempat yang berlainan dilaksanakan dengan semangat
berapi-api. Ini agaknya merupakan usaha utama dari mereka yang ikut ambil
bagian dalam muktamar agung pertama yang diselenggarakan tiga bulan setelah
kematian sang Buddha.
Tak perlu diragukan lagi, pertemuan ini menandakan awal
dari Skolastisisme. Seratus tahun pertama setelah kematian sang Buddha barang
kali menyaksikan pengumpulan dan pelaksanaan seluruh kumpulan sutta-sutta
menjadi lima
kelompok (nikaya), sedangkan sebagian besar dari peraturan-peraturan disiplin
(vinaya) masuk kedalam kelompok tersendiri. Kegiatan sekolastik tidak berhenti
sampai disini saja. Penelaahan seluruh kelompok sutta ini, yang coraknya
dirincikan oleh penggunaaan kiasan, anekdot, ilustrasi, dan di atas itu semua,
pengulangan yang terus menerus tentulah amat tidak praktis, khususnya pada masa
ketika ajaran tersebut dikuatirkan dapat disalah tapsirkan. Sebagaimana
kumpulan sutta diperlukan untuk mengabadikan ajaran sang Buddha, daftar dan
klasifikasi dari ajaran-ajaran tersebut dikuatirkan dapat disalah tafsirkan.
Oleh karena itu dalam ketiga sutta yang disebut diatas-Pasadika, Sangiti, dan
Samagama – kita temukan ajaran agama yang terpenting. Walaupun uraian yang
terlengkap dituturkan dari mulut-ke mulut, ada pula usaha untuk mendaftarkan
dan mengkelas-kelaskan topic utama (matika, SK. Matrka), seperti ‘agregat’ (khandha),
‘unsur’ (dhatu), dan pintu gerbang (indria)’ (ayatana), yang diuraikan oleh sang
Buddha. Hal-hal ini kemdian menjadi inti dari kumpulan yang ketiga dari kitab
suci, yakni Abhidhamma, yang berkenaan dengan analisis dan sistensis filsafat.
Ada dua persi yang berbeda yang ditemukan tentang Abhidhamma pitaka ini, yang
satu tertulis dalam bahasa pali dan dipelihara oleh tradisi Theravada di
Ceylon, dan yang tertulis dalam bahasa Sanskrit dan dimiliki oleh sekolah
Sarvastivada. Kedua grup kitab suci ini bersama-sama dengan literature
tambahanya menampilkan tradisi skolastik dalam dunia pemikir Buddha.
Peristiwa penting kedua yang disebutkan dalam sutta tentang
kematian agung adalah ratapan para dewa dan manusia (termasuk Ananda belum
mencapai tingkat Arahat) sewaktu mendengar kematian sang Buddha. Berikut ini
ratapan dari para dewa tersebut;
“sang Bhagava meninggalkan dunia terlalu cepat; Sang
Tathagata pergi terlalu cepat, mata dunia menghilang terlalu cepat.”
Di pihak lain, Ananda meratapi kehilangan yang lain :
“Yang Ariya, pada masa lalu para bhikkhu yang berasal dari
berbagai daerah bila menampak dating musim hujan akan dating menemui sang
Tathagata. Hal ini memberi kesempatan untuk melihat dan berhubungan dengan para
bhikkhu yang mulia. Tetapi Yang Ariya, sepeninggalan sang Bhagava, kita akan
kehilangan kesempatan untuk melihat dan berhubungan langsung dengan para
bhikkhu yang mulia itu.”
Dalam kedua ratapan ini ada ungkapan perasaan kekosongan
yang timbul pada pengikut awam dengan perginya sang Buddha kepada semuanya
adalah sebagai berikut;
“Ada
empat tempat yang hendak dilihat, dan karenanya akan menimbulkan
emosikepercayaan dari kalangan pengikut awam. Yang mana yang empat itu? “disini
sang Tathagata dilahirkan”, ini, Ananda, adalah tempat yang hendaknya dilihat
dan akan menimbulkan emosi kepercayaan bagi pengikut awam. “Disini sang Tathagata
mencapai penerangan sempurna tertinggi”, Disini Sang Tathagata memutarkan roda
dhamma yang tak ada bandingnya”, Disini sang Tathagata mencapai parinibana
tanpa sisa”, ini ananda adalah tempat yang bila dilihat akan menimbulkan emosi
kepercayaan di kalangan para pengikut awam.”
Orang awam biasanya dikuasai oleh emosi-emosinya (samvega).
Walaupun emosi cenderung menghamburkan pencerapan akan kebenaran dan karenanya
seharusnya dikendalikan untuk mencapai tahapan perkembangan spiritual yang
lebih tinggi, namun emosi keagamaan dapat memberikan nuansa baru bagi kehidupan
orang awam dan membuat mereka mampu memperbaiki nasibnya secara spiritual. Sang
Buddha menunjukan bahwa pengikut yang penuh keyakinannya- para bhikkhu, upasika
dan upasika – akan menjujungi keempat tempat yang mungkin akan mengakibatkan
emosi ini.
Kejadian kedua ini mengakibatkan sikap para siswa sang
Buddha (kecuali para arahat) yang merasakan kebutuhan akan kelanggengan memori
terhadap guru agang mereka. Hal ini membimbing kekehausan yang tak puas-puasnya
akan pengetahuan baik mengenai kehidupan maupun keadaan sebenarnya dari sang
Buddha. Hasilnya adalah kompilasikitab-kitab seperti Buddhavamsa dan Jataka-nidana-katha
dalam bahasa pali dan Mahavastu, Avadana dan Lalitavistara dalam bahasa Sanskrit.
Tulisan-tulisan ini walaupun mengandung beberapa inti sejarah menyangkut
kehidupan sang Buddha, pada umumnya lebih merupakan spekulasi tentang keadaan
sebenarnya dari snag Buddha. Aspek ini mendapat tekanan khusus padakaum mahasanghika yang membahas tentang
penyebab dari kebutuhan manfaat relegius bagi para pengikut awam. Mahayana merupakan puncak kecendrungan
ini.
No comments:
Post a Comment