Sunday, April 29, 2012

Awal Skolastisisme dan Mahayana

                                               
Mahaparinibbana-suttanta, yang menghubungkan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan hari-hari terakhir sang Buddha, mengisahkan dua episode yang penting bagi pemahaman perkembangan-perkembangn utama yang terjadi dalam sejarah pemikir Buddha selama dua abad berikutnya.
Yang pertama terjadi ketika sang Buddha, beberapa saat sebelum wafat, menasehati Ananda tentang masa depan Sangha. Sang Buddha diceritakan berkata sebagai berikut;
“Jika, Ananda, terlintas pada anda; ‘Ajaran telah tertinggal tanpa guru; kami tak mempunyai guru’, anda tidak seharusnya berfikir demikian. Ananda, ajaran apapun yang telah ku ajarkan dan peraturan apapun yang telah kutanamkan akan menjadi guru anda selepas peninggalanku”.
Keengganan sang Buddha untuk menunjuk seorang dari siswanya untuk memimpin sangha para bhikkhu, dan permintaanya agar para bhikkhu memina ajaran (dhamma) dan peraturan (vinaya) sebagai pembimbing mereka dimaksudkan agar para siswanya lebih memusatkan perhatian pada masalah menentukan keadaan ajaran dan peraturan dari pada hal-hal lainya.
Lebih dari itu, bahkan pada masa hidup sang Buddha sendiri, ada beberapa kejadian yang memperlihatkan bagaimana ajaranya telah disalh tafsirkan. Dua kejadian yang tekenal diantaranya tercatat dalam Majjhimanikaya. Yang pertama oleh pernyataan dari seorang bhikkhu yang bernama Arittha bahwa kesenangan indria, menurut sang Buddha bukan batu penghalang (antarayika dhamma). Yang lain adalah kasus dari bhikkhu Sati yang bertahan bahwa dalam ajaran sang Buddha ‘kesadaranlah’ (vinnana) yang berpindah dan bukan yang lainya. Beruntung pada waktu itu Beliau masih hidup sehingga dapat meluruskan kesalahan ini.
Tambahan pula, suatu himpunan yang terdiri dari tiga sutta penting, pasadika-suttanta, sangiti-suttanta, dan samagama-suttanta, menunjuk pada kematian dari pemimpin kaum jaina Nigantha dan pertentangan yang muncul dikalangan kaum Jaina setelah kematianya. Ketika sang Buddha mengetahui hal ini, beliau bersabda;
“karena itu Cunda, perbuatlah oleh anda, juga bagi semua yang telah mendengar kebenaran yang kuselami, berkelompoklah dan berlatihlah bersama atas semua ajaran dan tidak mempertengkarkannya, melainkan perbandingkan makna dan makna, kalimat dengan kalimat, agar ajaran kebenaran ini dapat bertahan lama dan dapat diabadikan, agar ia hidup berkesinambungan untuk kebaikan dan kebahagiaan semua makhluk, berdasarkan cinta kasih untuk alam semesta, bagi kebaikan dan keberuntungan dan kesejahteraan para dewa dan manusia.”
Hal ini tentulah akan membuat para bhikkhu mengumpulkan semua sutta yang telah disampaikan sang Buddha, juga bahkan pada masa hidupnya. Tetapi, kebutuhan akan hal ini semakin terasa setelah kematian sang Buddha, dan karena alasan ini tugas mengumpulkan sutta-sutta yang disampaikan keberbagai orang pada waktu dan tempat yang berlainan dilaksanakan dengan semangat berapi-api. Ini agaknya merupakan usaha utama dari mereka yang ikut ambil bagian dalam muktamar agung pertama yang diselenggarakan tiga bulan setelah kematian sang Buddha.
Tak perlu diragukan lagi, pertemuan ini menandakan awal dari Skolastisisme. Seratus tahun pertama setelah kematian sang Buddha barang kali menyaksikan pengumpulan dan pelaksanaan seluruh kumpulan sutta-sutta menjadi lima kelompok (nikaya), sedangkan sebagian besar dari peraturan-peraturan disiplin (vinaya) masuk kedalam kelompok tersendiri. Kegiatan sekolastik tidak berhenti sampai disini saja. Penelaahan seluruh kelompok sutta ini, yang coraknya dirincikan oleh penggunaaan kiasan, anekdot, ilustrasi, dan di atas itu semua, pengulangan yang terus menerus tentulah amat tidak praktis, khususnya pada masa ketika ajaran tersebut dikuatirkan dapat disalah tapsirkan. Sebagaimana kumpulan sutta diperlukan untuk mengabadikan ajaran sang Buddha, daftar dan klasifikasi dari ajaran-ajaran tersebut dikuatirkan dapat disalah tafsirkan. Oleh karena itu dalam ketiga sutta yang disebut diatas-Pasadika, Sangiti, dan Samagama – kita temukan ajaran agama yang terpenting. Walaupun uraian yang terlengkap dituturkan dari mulut-ke mulut, ada pula usaha untuk mendaftarkan dan mengkelas-kelaskan topic utama (matika, SK. Matrka), seperti ‘agregat’ (khandha), ‘unsur’ (dhatu), dan pintu gerbang (indria)’ (ayatana), yang diuraikan oleh sang Buddha. Hal-hal ini kemdian menjadi inti dari kumpulan yang ketiga dari kitab suci, yakni Abhidhamma, yang berkenaan dengan analisis dan sistensis filsafat. Ada dua persi yang berbeda yang ditemukan tentang Abhidhamma pitaka ini, yang satu tertulis dalam bahasa pali dan dipelihara oleh tradisi Theravada di Ceylon, dan yang tertulis dalam bahasa Sanskrit dan dimiliki oleh sekolah Sarvastivada. Kedua grup kitab suci ini bersama-sama dengan literature tambahanya menampilkan tradisi skolastik dalam dunia pemikir Buddha.
Peristiwa penting kedua yang disebutkan dalam sutta tentang kematian agung adalah ratapan para dewa dan manusia (termasuk Ananda belum mencapai tingkat Arahat) sewaktu mendengar kematian sang Buddha. Berikut ini ratapan dari para dewa tersebut;
“sang Bhagava meninggalkan dunia terlalu cepat; Sang Tathagata pergi terlalu cepat, mata dunia menghilang terlalu cepat.”
Di pihak lain, Ananda meratapi kehilangan yang lain :
“Yang Ariya, pada masa lalu para bhikkhu yang berasal dari berbagai daerah bila menampak dating musim hujan akan dating menemui sang Tathagata. Hal ini memberi kesempatan untuk melihat dan berhubungan dengan para bhikkhu yang mulia. Tetapi Yang Ariya, sepeninggalan sang Bhagava, kita akan kehilangan kesempatan untuk melihat dan berhubungan langsung dengan para bhikkhu yang mulia itu.”
Dalam kedua ratapan ini ada ungkapan perasaan kekosongan yang timbul pada pengikut awam dengan perginya sang Buddha kepada semuanya adalah sebagai berikut;
Ada empat tempat yang hendak dilihat, dan karenanya akan menimbulkan emosikepercayaan dari kalangan pengikut awam. Yang mana yang empat itu? “disini sang Tathagata dilahirkan”, ini, Ananda, adalah tempat yang hendaknya dilihat dan akan menimbulkan emosi kepercayaan bagi pengikut awam. “Disini sang Tathagata mencapai penerangan sempurna tertinggi”, Disini Sang Tathagata memutarkan roda dhamma yang tak ada bandingnya”, Disini sang Tathagata mencapai parinibana tanpa sisa”, ini ananda adalah tempat yang bila dilihat akan menimbulkan emosi kepercayaan di kalangan para pengikut awam.”
Orang awam biasanya dikuasai oleh emosi-emosinya (samvega). Walaupun emosi cenderung menghamburkan pencerapan akan kebenaran dan karenanya seharusnya dikendalikan untuk mencapai tahapan perkembangan spiritual yang lebih tinggi, namun emosi keagamaan dapat memberikan nuansa baru bagi kehidupan orang awam dan membuat mereka mampu memperbaiki nasibnya secara spiritual. Sang Buddha menunjukan bahwa pengikut yang penuh keyakinannya- para bhikkhu, upasika dan upasika – akan menjujungi keempat tempat yang mungkin akan mengakibatkan emosi ini.
Kejadian kedua ini mengakibatkan sikap para siswa sang Buddha (kecuali para arahat) yang merasakan kebutuhan akan kelanggengan memori terhadap guru agang mereka. Hal ini membimbing kekehausan yang tak puas-puasnya akan pengetahuan baik mengenai kehidupan maupun keadaan sebenarnya dari sang Buddha. Hasilnya adalah kompilasikitab-kitab seperti Buddhavamsa dan Jataka-nidana-katha dalam bahasa pali dan Mahavastu, Avadana dan Lalitavistara dalam bahasa Sanskrit. Tulisan-tulisan ini walaupun mengandung beberapa inti sejarah menyangkut kehidupan sang Buddha, pada umumnya lebih merupakan spekulasi tentang keadaan sebenarnya dari snag Buddha. Aspek ini mendapat tekanan khusus padakaum mahasanghika yang membahas tentang penyebab dari kebutuhan manfaat relegius bagi para pengikut awam. Mahayana merupakan puncak kecendrungan ini.

No comments:

Post a Comment