Sunday, April 29, 2012

Skolastisisme: Theravada, Sarvastivada, dan Sautrantika



Skolastisisme dalam buddhisme timbul, karena adanya kebutuhan untuk mengabadikan ajaran-ajaran sang Buddha dan tidak memberikan kesempatan kepada timbulnya perpecahan. Salah satu cara yang dipakai dalam hal ini adalah mengumpulkan dan mengkelaskan ajaran-ajaran dasar dari sang Buddha, seperti kedapatan dalam Sangiti-suttanta, sehingga tidak akan menimbulkan ketidaksepakatan, sedikitnya dalam hal yang bersangkutan dalam hal ini, metode pembabaran yang biada dipakai sang Buddha di ubah. Penggunaan kiasan, anekdot, ilustrasi dan semacamnya, yang memegang peranan penting dalam penguraian disisngkirkan.perbedaan ini dicatat oleh para cendikiawan klasik itu sendiri, yang melihat bahwa uraian-uraian itu pada mulanya diajarkan dengan gaya memutar (sappariyaya desana), yang bebas dalam menggunakan kiasan, metafora, dan anekdot, sedangkan gaya langsung (nippariyaya desana) yang menggunakan istilah yang amat terpilah, mementingkan ketatapan dan tak-personal merupakan cirri dari Abhidhamma.
Meskipun hal ini merupakan perbedaan awal antara sutta-sutta (suttanta) dan pembahasan skolastik (abhidharma), dengan berlalunya sang waktu berbagai pembedaan lain kemudian bermunculan. Sebagai contoh, sutta-sutta dipandang sebagai ajaran-ajaran popular (vohara desana) sedangkan abhidharma dipandang sebagai uraian tentang realitas terahkir (paramattha desana). Pembedaan yang lebih dahulu mengacu hanya kepada masalah gaya, tetapi yang belakangan berkaitan terhadap perbedaan yang menyangkut isi yang sesungguhnya. Hal ini didefinisikan sebagai dhamma dan abhidhamma; yang terahir didefinisikan sebagai dhamma special (abhivisittho dhammo). Jadi kalaulah sutta dianggap berkaitan dengan dhamma, maka abhidhamma dianggap membahas dhamma yang khusus atau realitas terakhir (para mattha).
Seorang cendikiawan Theravada belakangan mengartikan abhidhamma sebagai analisis (dhamma) menjadi batin dan jasmani (namarupapariccheda). Menurut pendapatnya, pembabaran tentang dhamma yang ada dalam sutta terdiri dari dhamma dalam moralitas (sila) dan pengembangan mental (Samadhi), dan ajaran tentang disipllin (vinaya) berkenaan dengan trangrsi (appati) dan nonagresi (anappati); sedangkan kawasan abhidhamma adalah analisis realitas menjadi batin (nama) dan jasmani (rupa). Kaum sarvastivada juga mendefinisikan abhidhamma sebagai analisis tentang dharma (dharma pravicaya) dan menyatakanya sebagai kebijaksanaan murni (amala prajna). Dalam kedua tradisi ini, penerangan (bodhi) dari sang Buddha dikatakan terdiri dari dharma-pravicaya ini atau namarupapariccheda. Kepercayaan bahwa sang Buddha membabarkan abhidhamma kepada para dewa, dan tidak kepada umat manusia, rupanya merupakan suatu usaha untuk melambangkan posisinya yang berada diatas itu.
Status meninggi bagi abhidhamma ini memberi pertanda akan datangnya awal kecendrungan absolutisme dalam Buddhisme. Batin dan jasmani kemudian dikenal sebagai realitas terahir (paramattha). Dalam kenyataanya,  menurut buku pedman abhidhamma yang belakangan bahkan Nibbana termasuk katagori batin.
Bila fenomena dianalisis menjadi dua grup yang berbeda dari realitas batin dan materi, kaum abhidarmika haruslah melengkapinya dengan definisi utuk masing-masing grup tadi. Karena itu, pikiran (citta) atau bentuk-bentuk mental (cetasika) didefinisikan sebagai betuk materi (a-rupa), dan materi (rupa) sebagai bukan mental (a-cetasika, citta-vippayutta). Karena itu pula terjadilah dua alur yang memisah secara tajam antara kedua unsure ini, membuat kaum abhidharmika berhadapan dengan beberapa persoalan filosofis yang pada umumnya berhubungan dengan dualisme.
Kesullitan dalam menjelaskan pencerapan adalah salah satu persoalan utamanya. Pertanyaanya adalah sebagai berikut. Bagaimana sebenarnya sehingga pikiran yang mempunyai sikap yang amat berlainan itu ternyata peka terhadap materi? Persoalan ini, walaupun tersirat dalam abhidhamma-Nya pali, sesungguhnya baru dinyatakan dengan tegas oleh Buddhagosa yang berkata: “Ditempat yang mengandung berbagai jenis, disana tak ada rangsangan. Para leluhur (porana) menyatakan bahwa rangsangan idriya adalah sama saja, tidak berbeda-beda.” Untuk menjelaskan masalah ini, kaum abhidharmika mengunakan analisis materi (rupa) seperti yang diketemukan dalam buddhisme awal. Menurut sutta, materi (rupa) seperti yang diketemukanya pada buddhisme utama (cattaromahabhuta) dan unsure-unsur turunan (upadaya rupa). Tetapi dalam sutta-sutta tidak kita dapati usaha bersepekulasi terhadap keadaan sebenarnya dari unsure-unsur utama ini lebih dari sekedar yang dapat diperoleh melalui pengalaman. Kalau diajukan pertanyaan tentang unsure-unsur utama ini-tanah, air, api dan udara – satu-satunya definisi yang diberikan adalah yang terbatas dalam jangkauan pengalaman, yakni, sikap yang timbul pada seorang bila tekena oleh unsure-unsur tersebut. Sebagai contoh, tanah didefinisikan sebagai suatu yang keras (kakkhala) dan kaku (kharigata), dan seterusnya. Tetapi pertanyaan apakah ada sesuatu dibalik kekersan dan kekakuan tadi tidak pernah diajukan ataupun dijawab, karena hal ini akan bertentangan dengan pandangan seorang empiris.
Namun demikian, menurut Abhidharmika, pembedaan antara suatu (dhamma) dan cirri-cirinya (lakkhana), walaupun tidak benar-benar ada, adalah perlu untuk kepentingan pendefinisian atau penetapan (kappana). (ini tentu saja dengan melupakan kenyataan bahwa abhidhamma merupakan uraian tentang Realitas Terakhir, paramattha, bukan tentang kebenaran biasa, vohara) Analisis serupa ini yang memberikan jalan bagi munculnya teori ‘Zat’ (sabhava, SK. Svabhava) pada masa Theravada pasca-Buddhagosa atau pun SSarvastivada. Ini pula agaknya jalan yang dipakai oleh Jhon Locke, seorang Empirisis Inggris, yaitu dengan menyajikan bentuk yang serupa dari dualisme lalu tiba pada gagasan tentang zat. Ia menyatakan :
“Gagasan itu, yang kita beri nama umum Zat, bukanlah apa-apa merupakan yang  dianggap demikian, tetapi merupakan pendukung yang dikenal bagi sifat-sifat yang kita tentukan ada, yang kita byangkan tidak dapat bertahan, sine re substante, tanpa sesuatu yang mendukung tadi subtantia; yang menurut arti sebenarnya dari kata itu, berdiri dibawah atau menyokong.”
Dengan cara yang sama, analisis dari kaum Abhidharmika tentang fenomena batin (nama) menjadi dua jenis, pikiran (citta) dan bentuk-bentuk mental (cetasika), akhirnya membawa keteori zat (subtansi) mental. Seperti dalam kasus penganalisisan materi, kaum abhidharmika berusaha keras agar dalam menerangkan fenomena batin tidak perlu memasang semacam substrat yang dapat memberikan kesempatan bagi uasaha penggabungan tertentu terhadap unsure mental yang berbeda (sabbasangahaka). Bentuk-bentuk mental (cetasika) karenanya didefinisikan sebagai semua yang berhubungan dengan pikiran (citta-samyuta) dan muncul dalam pikiran (citta-bhava) cara pengenalan pikiran (citta) yang demikian itu sebagai suatu kesatuan yang berbeda terhadap bentuk-bentuk mental (cetasika) akhirnya membawa ke pandangan subtansialis tentang fenomena batin.
Inilah dualisme yang merupakan cirri dari keseluruhan filsafat Abhidharma. Meskipun sang diri (atman) atau, bila mengunakan ungkapan dari Gilbert Ryle, ‘setan dalam mesin’ dilenyapkan, mesin itu sendiri akan menjadi subtansi, realias terakhir, suatu status yang tidak mempuntai buddhisme awal.
Gagasan ini membentuk landasan yang sama untuk kedua abhidharma, yakni Theravada dan Sarvastivada, yang umumnya, ditentang oleh kaum Saurtrantika. Yang terahir berusaha keras tetap setia kepada sutta yang asli-inilah yang menjadikan nama mereka, Sautrantika (sutranta-ika). Mereka memandang sutta sebagai sumber primer (sutrapramenika), sedangkan kaum Sarvastivada menyatakan Abhidhamma sebagai sumber primer (sartrapramanika). Tetapi meskipun mereka bergantung pada sutta kaum sautrantika menerima pula beberapa dokrin tertentu yang tidak diketemukan disana, melainkan yang dapat dipandang sebagai produk perkembangan belakangan. Dokrin-dokrin ini antara lain adalah dokrin tentang saat (kharavada, SK ksanavada) dan antomisme (paramanuvada), yang diketemukan dalam semua sekolah skolastik buddhisme-Theravada pasca Buddhagosha, Sarastivada, dan Sautrantika. Dengan tegas dapat dinyatakan bahwa mereka tidak dapat diketemukan pada tradisi Theravada pra buddhagosha.
Alih-alih menggunakan definisi Buddha awal tentang ketidak kekalan, sebagai muncul dan lenyap, dan perubahan dari apa yang berada, kaum sarvastivada, sebagai hasil dari analisis logika terhadap proses perubahan, mengubah difinisi ketidak kekalan menjadi saat lahir, static, lapuk, dan mati, dan mengambil perubahan dari apa yang berada sebagai wakil dari dua saat, static dan lapuk. Theravada pasca buddhagosha mengucapnya menjadi tiga saat, lahir, static, dan hancur. Kaum sautrantika, dipihak lain, menerima dua saat saja, kelahiran dan hancur. Dan menolak saat static. Dengan harapan agar lebih setia terhadap teori yang ada dalam buddhisme awal.
Sebagai akibat diterimanya teori seperti diatas, para cendikiawan berhadapan dengan beberapa persoalan filsafat, yang jawabanya kemudian menimbulkan perbedaan-perbedaan dokrin yang nyata. Dua dari persoalan-persoalan utama yang harus dihadapi oleh para cendikiawan akibat diterimanya teori saat itu adalah masalah pencerapan dan kaulitas.
Dalam rangka menjelaskan persoalan ini, buddhagosa menyajikan suatu teori yang cerdik, berdasarkan pernyataan umum yang dibuat sang Buddha bahwa perubahan pikiran terjadi lebih cepat daripada badan jasmani. Dalam komentarnya tentang vibhanga, buddhagosha mempertahankan pendapat bahwa ada enambelas saat pikiran yang timbul dan tenggelam selama semasa hidup sesaat dari suatu materi. Saat atau titiksaat dari materi yang muncul bersamaan dengan saar dari pikiran tadi akan mati berbarengan dengan keberadaan saat yang ketujuhbelas dari pikiran. Ia mengacu kepada berbagai macam saat muncul selama proses pencerapan, antara lain memperhatikan, menerima ,memeriksa, menentukan, mencatat obyek luar. Kompedium filsafatnya Anuruddha menguraikan secara terperinci suatu teori yang mengikuti pola umum yang dibuat oleh buddhagosha.
Penting untuk dicatat bahwa sebagai hasil dari analisis tentang proses pencerapan menjadi saat-saat yang diskrit, kaum abhidarmika harus meletakan suatu keberadaan landasan mental atau subtansi yang nantinya akan menyipan kesan-kesan yang ditinggalkan oleh obyek-obyek yang berada dan memelihara kesinambungan saat-saat yang diskrit tadi. Sedangkan kaum Sarvastivadin juga menumbangkan teori pencerapan langsung.
Jadi kaum sarvastivadin maupun kaum Theravadin belakangan telah berusaha untuk membenarkan kenyataan pencerapan langsung ataupun keberadaan yang sesungguhnya dari suatu obyek.
Kaum sautratika yang menolak konsepsi tentang saat stastik dipihak lain terpaksa menerima teori pencerapan tak-langsung. Berdasarkan alas an bahwa suatu obyek mesti berada terus bila ia harus bersedia untuk dapat dikenal, kaum sautrantika berpendapat bahwa karena baik obyek ataupun kesadaran adalah tanpa durasi, maka tak mungkin aka nada pencerapan langsung terhadap obyek-obyek luar. Komentar yang ada di abhidharmadipa yang merujuk kepada argument yang diajukan oleh kaum darstantika (nama untuk sautrantika) adalah sebagai berikut: “ organ-organ dan obyek-obyek dari lima indria, yang disebabkan oleh yang terahir, termasuk kedalam waktu lampau. Bilamana obyek tertentu (rupa) dan mata berada, kesadaran penglihatan tidak ada. Bilamana kesadaran penglihatan berada, mata dan obyek-obyek tidak ada. Dengan tidak hadirnya durasi mereka maka tak ada kemungkinan untuk mengenali obyek”.
Hal ini membuat mereka menyimpulkan bahwa “ semua pencerapan adalah tidak langsung”. Kaum sauntrantika bertahan bahwa subjek mampu menerima kesan kesamaan dari suatu obyek. Apa yang dikenali langsung adalah kesan ini atau wakil dari suatu obyek dan bukan obyek itu sendiri, yang pada saat pengenalan , merupakan suatu benda dari masa lalu. Obyek itu disimpulkan hanya berdasarkan kesan indria. Inilah gambaran dari teori pencerapan, atau teori inferabilitas (dapat disimpulkan) tentang obyek luar. Teori-teoti ini merupakan beberapa teori pencerapan yang berkembang dari teori saat.
Kaum Sarvastivadin menjunjung suatu teori obek pencerapan adalah suatu agregat dari atom-atom (paramanusanghata). Hal ini didasari dengan kuat dengan alas an bahwa mereka percaya bahwa atom-atom berada secara individual, dan bahwa bilamana mereka berbeda dalam bentuk agregat mereka menjadi dapat dicerap. Tapi hal ini tidak merupakan satuan (eka); ia merupakan keanekaan belaka (aneka). Kaum sarvastivadin-baru, dipimpin oleh sanghabarda, mencoba menghindar dari produk ini dengan bersikeras bahwa “tiap-tiap atom sendiri bila mereka tidak bergantung kepada yang lain atau tidak berhubungan dengan yang lainnya (anyanirapeksa) adalah tidak dapat dicerna, tetapi mereka dapat ditangkap oleh indriya-indriya bila berada bersama dan bila mereka bergantungan satu sama lain untuk keberadaanya.” Kaum Sautrantika, walaupun menuntut bahwa banyak obyek luar  tidak dapat dicerap secara langsung, menyebutkan tentang atom-atom yang membentuk obyek. Mereka bertahan bahwa atom-atom adalah unit-unit yang tak dapat dibagi lagi yang dapat bergabung atau bercampur bersama-sama untuk membentuk suatu obyek.  Jadi sementara kaum Sarvastivadin percaya akan penggolongan dari atom-atommaka kaum Sautrantika menyokong penggabungan atom-atom. Suatu keritik terhadap teori-teori yang berbeda ini dapat diketemukan dalam Alambanapariksa-nya Dinnaga, dan yang menarik untuk dicatat adalah bahwa ia mengemukakan argument empiric untuk menolak teori-teori atomic ini.
Seperti teori identitas kualitas (satkaryavada) dari kaum Sarvastivadin dapat dipandang sebagai suatu teori metafisik, begitu pula teori non-identitas (asatkaryavada) dari kaum sautrantika, yang ahirnya menolak kausalitas. Teori-teori metafisik ini, di antarannya merupakan teori yang paling dikritik oleh Nagarjuna. Hal-hal seperti ini pada akhirnya, merupakan beberapa akibat dari skolatisisme, yang muncul setelah dicapainya parinirvana Sang Buddha.
Dalam lingkunagn hidup relegius, sekolah-sekolah hinayana menekankan doktrin Jalan Berunsur Delapan (ariya atthangika magga), sementara Mahayana mendapat kesempatan untuk mengembangkan konsepsi Boddhisattva-nya. Perkembangan bertahap mualai dari mmoralitas (sila), menuju ke konsentrasi (Samadhi) dan berpuncak pada pengetahuan atau pandangan terang (panna) merupakan teman dari tulisan dari Buddhagosa yang terkenal ‘Jalan Kesucian’ (visuddhimangga). Pencapaian kearahatan tetap merupakan tujuan relegius, dan perbedaan antara sang Buddha dan Arahat tidak ditegaskan seperti yang dilakukan pengikut-pengikut Mahayana.

No comments:

Post a Comment