Skolastisisme dalam buddhisme timbul, karena adanya kebutuhan
untuk mengabadikan ajaran-ajaran sang Buddha dan tidak memberikan kesempatan
kepada timbulnya perpecahan. Salah satu cara yang dipakai dalam hal ini adalah
mengumpulkan dan mengkelaskan ajaran-ajaran dasar dari sang Buddha, seperti
kedapatan dalam Sangiti-suttanta, sehingga tidak akan menimbulkan
ketidaksepakatan, sedikitnya dalam hal yang bersangkutan dalam hal ini, metode
pembabaran yang biada dipakai sang Buddha di ubah. Penggunaan kiasan, anekdot,
ilustrasi dan semacamnya, yang memegang peranan penting dalam penguraian
disisngkirkan.perbedaan ini dicatat oleh para cendikiawan klasik itu sendiri,
yang melihat bahwa uraian-uraian itu pada mulanya diajarkan dengan gaya memutar
(sappariyaya desana), yang bebas dalam menggunakan kiasan, metafora, dan anekdot,
sedangkan gaya langsung (nippariyaya desana) yang menggunakan istilah yang amat
terpilah, mementingkan ketatapan dan tak-personal merupakan cirri dari
Abhidhamma.
Meskipun hal ini merupakan perbedaan awal antara
sutta-sutta (suttanta) dan pembahasan skolastik (abhidharma), dengan berlalunya
sang waktu berbagai pembedaan lain kemudian bermunculan. Sebagai contoh,
sutta-sutta dipandang sebagai ajaran-ajaran popular (vohara desana) sedangkan
abhidharma dipandang sebagai uraian tentang realitas terahkir (paramattha
desana). Pembedaan yang lebih dahulu mengacu hanya kepada masalah gaya , tetapi yang
belakangan berkaitan terhadap perbedaan yang menyangkut isi yang sesungguhnya.
Hal ini didefinisikan sebagai dhamma dan abhidhamma; yang terahir didefinisikan
sebagai dhamma special (abhivisittho dhammo). Jadi kalaulah sutta dianggap
berkaitan dengan dhamma, maka abhidhamma dianggap membahas dhamma yang khusus
atau realitas terakhir (para mattha).
Seorang cendikiawan Theravada belakangan mengartikan
abhidhamma sebagai analisis (dhamma) menjadi batin dan jasmani
(namarupapariccheda). Menurut pendapatnya, pembabaran tentang dhamma yang ada
dalam sutta terdiri dari dhamma dalam moralitas (sila) dan pengembangan mental
(Samadhi), dan ajaran tentang disipllin (vinaya) berkenaan dengan trangrsi
(appati) dan nonagresi (anappati); sedangkan kawasan abhidhamma adalah analisis
realitas menjadi batin (nama) dan jasmani (rupa). Kaum sarvastivada juga
mendefinisikan abhidhamma sebagai analisis tentang dharma (dharma pravicaya) dan
menyatakanya sebagai kebijaksanaan murni (amala prajna). Dalam kedua tradisi
ini, penerangan (bodhi) dari sang Buddha dikatakan terdiri dari dharma-pravicaya
ini atau namarupapariccheda. Kepercayaan bahwa sang Buddha membabarkan
abhidhamma kepada para dewa, dan tidak kepada umat manusia, rupanya merupakan
suatu usaha untuk melambangkan posisinya yang berada diatas itu.
Status meninggi bagi abhidhamma ini memberi pertanda akan
datangnya awal kecendrungan absolutisme dalam Buddhisme. Batin dan jasmani
kemudian dikenal sebagai realitas terahir (paramattha). Dalam kenyataanya, menurut buku pedman abhidhamma yang
belakangan bahkan Nibbana termasuk katagori batin.
Bila fenomena dianalisis menjadi dua grup yang berbeda dari
realitas batin dan materi, kaum abhidarmika haruslah melengkapinya dengan
definisi utuk masing-masing grup tadi. Karena itu, pikiran (citta) atau
bentuk-bentuk mental (cetasika) didefinisikan sebagai betuk materi (a-rupa),
dan materi (rupa) sebagai bukan mental (a-cetasika, citta-vippayutta). Karena
itu pula terjadilah dua alur yang memisah secara tajam antara kedua unsure ini,
membuat kaum abhidharmika berhadapan dengan beberapa persoalan filosofis yang
pada umumnya berhubungan dengan dualisme.
Kesullitan dalam menjelaskan pencerapan adalah salah satu
persoalan utamanya. Pertanyaanya adalah sebagai berikut. Bagaimana sebenarnya
sehingga pikiran yang mempunyai sikap yang amat berlainan itu ternyata peka
terhadap materi? Persoalan ini, walaupun tersirat dalam abhidhamma-Nya pali,
sesungguhnya baru dinyatakan dengan tegas oleh Buddhagosa yang berkata:
“Ditempat yang mengandung berbagai jenis, disana tak ada rangsangan. Para leluhur (porana) menyatakan bahwa rangsangan idriya
adalah sama saja, tidak berbeda-beda.” Untuk menjelaskan masalah ini, kaum abhidharmika
mengunakan analisis materi (rupa) seperti yang diketemukan dalam buddhisme
awal. Menurut sutta, materi (rupa) seperti yang diketemukanya pada buddhisme
utama (cattaromahabhuta) dan unsure-unsur turunan (upadaya rupa). Tetapi dalam
sutta-sutta tidak kita dapati usaha bersepekulasi terhadap keadaan sebenarnya
dari unsure-unsur utama ini lebih dari sekedar yang dapat diperoleh melalui
pengalaman. Kalau diajukan pertanyaan tentang unsure-unsur utama ini-tanah,
air, api dan udara – satu-satunya definisi yang diberikan adalah yang terbatas
dalam jangkauan pengalaman, yakni, sikap yang timbul pada seorang bila tekena
oleh unsure-unsur tersebut. Sebagai contoh, tanah didefinisikan sebagai suatu
yang keras (kakkhala) dan kaku (kharigata), dan seterusnya. Tetapi pertanyaan
apakah ada sesuatu dibalik kekersan dan kekakuan tadi tidak pernah diajukan
ataupun dijawab, karena hal ini akan bertentangan dengan pandangan seorang
empiris.
Namun demikian, menurut Abhidharmika, pembedaan antara
suatu (dhamma) dan cirri-cirinya (lakkhana), walaupun tidak benar-benar ada,
adalah perlu untuk kepentingan pendefinisian atau penetapan (kappana). (ini
tentu saja dengan melupakan kenyataan bahwa abhidhamma merupakan uraian tentang
Realitas Terakhir, paramattha, bukan tentang kebenaran biasa, vohara) Analisis
serupa ini yang memberikan jalan bagi munculnya teori ‘Zat’ (sabhava, SK.
Svabhava) pada masa Theravada pasca-Buddhagosa atau pun SSarvastivada. Ini pula
agaknya jalan yang dipakai oleh Jhon Locke, seorang Empirisis Inggris, yaitu
dengan menyajikan bentuk yang serupa dari dualisme lalu tiba pada gagasan
tentang zat. Ia menyatakan :
“Gagasan itu, yang kita beri nama umum Zat, bukanlah
apa-apa merupakan yang dianggap
demikian, tetapi merupakan pendukung yang dikenal bagi sifat-sifat yang kita
tentukan ada, yang kita byangkan tidak dapat bertahan, sine re substante, tanpa
sesuatu yang mendukung tadi subtantia; yang menurut arti sebenarnya dari kata
itu, berdiri dibawah atau menyokong.”
Dengan cara yang sama, analisis dari kaum Abhidharmika
tentang fenomena batin (nama) menjadi dua jenis, pikiran (citta) dan
bentuk-bentuk mental (cetasika), akhirnya membawa keteori zat (subtansi)
mental. Seperti dalam kasus penganalisisan materi, kaum abhidharmika berusaha
keras agar dalam menerangkan fenomena batin tidak perlu memasang semacam
substrat yang dapat memberikan kesempatan bagi uasaha penggabungan tertentu
terhadap unsure mental yang berbeda (sabbasangahaka). Bentuk-bentuk mental
(cetasika) karenanya didefinisikan sebagai semua yang berhubungan dengan
pikiran (citta-samyuta) dan muncul dalam pikiran (citta-bhava) cara pengenalan
pikiran (citta) yang demikian itu sebagai suatu kesatuan yang berbeda terhadap
bentuk-bentuk mental (cetasika) akhirnya membawa ke pandangan subtansialis tentang
fenomena batin.
Inilah dualisme yang merupakan cirri dari keseluruhan
filsafat Abhidharma. Meskipun sang diri (atman) atau, bila mengunakan ungkapan
dari Gilbert Ryle, ‘setan dalam mesin’ dilenyapkan, mesin itu sendiri akan
menjadi subtansi, realias terakhir, suatu status yang tidak mempuntai buddhisme
awal.
Gagasan ini membentuk landasan yang sama untuk kedua
abhidharma, yakni Theravada dan Sarvastivada, yang umumnya, ditentang oleh kaum
Saurtrantika. Yang terahir berusaha keras tetap setia kepada sutta yang
asli-inilah yang menjadikan nama mereka, Sautrantika (sutranta-ika). Mereka
memandang sutta sebagai sumber primer (sutrapramenika), sedangkan kaum
Sarvastivada menyatakan Abhidhamma sebagai sumber primer (sartrapramanika).
Tetapi meskipun mereka bergantung pada sutta kaum sautrantika menerima pula
beberapa dokrin tertentu yang tidak diketemukan disana, melainkan yang dapat
dipandang sebagai produk perkembangan belakangan. Dokrin-dokrin ini antara lain
adalah dokrin tentang saat (kharavada, SK ksanavada) dan antomisme
(paramanuvada), yang diketemukan dalam semua sekolah skolastik
buddhisme-Theravada pasca Buddhagosha, Sarastivada, dan Sautrantika. Dengan
tegas dapat dinyatakan bahwa mereka tidak dapat diketemukan pada tradisi
Theravada pra buddhagosha.
Alih-alih menggunakan definisi Buddha awal tentang ketidak
kekalan, sebagai muncul dan lenyap, dan perubahan dari apa yang berada, kaum
sarvastivada, sebagai hasil dari analisis logika terhadap proses perubahan,
mengubah difinisi ketidak kekalan menjadi saat lahir, static, lapuk, dan mati,
dan mengambil perubahan dari apa yang berada sebagai wakil dari dua saat,
static dan lapuk. Theravada pasca buddhagosha mengucapnya menjadi tiga saat,
lahir, static, dan hancur. Kaum sautrantika, dipihak lain, menerima dua saat
saja, kelahiran dan hancur. Dan menolak saat static. Dengan harapan agar lebih
setia terhadap teori yang ada dalam buddhisme awal.
Sebagai akibat diterimanya teori seperti diatas, para
cendikiawan berhadapan dengan beberapa persoalan filsafat, yang jawabanya
kemudian menimbulkan perbedaan-perbedaan dokrin yang nyata. Dua dari
persoalan-persoalan utama yang harus dihadapi oleh para cendikiawan akibat
diterimanya teori saat itu adalah masalah pencerapan dan kaulitas.
Dalam rangka menjelaskan persoalan ini, buddhagosa
menyajikan suatu teori yang cerdik, berdasarkan pernyataan umum yang dibuat
sang Buddha bahwa perubahan pikiran terjadi lebih cepat daripada badan jasmani.
Dalam komentarnya tentang vibhanga, buddhagosha mempertahankan pendapat bahwa
ada enambelas saat pikiran yang timbul dan tenggelam selama semasa hidup sesaat
dari suatu materi. Saat atau titiksaat dari materi yang muncul bersamaan dengan
saar dari pikiran tadi akan mati berbarengan dengan keberadaan saat yang
ketujuhbelas dari pikiran. Ia mengacu kepada berbagai macam saat muncul selama
proses pencerapan, antara lain memperhatikan, menerima ,memeriksa, menentukan,
mencatat obyek luar. Kompedium filsafatnya Anuruddha menguraikan secara
terperinci suatu teori yang mengikuti pola umum yang dibuat oleh buddhagosha.
Penting untuk dicatat bahwa sebagai hasil dari analisis
tentang proses pencerapan menjadi saat-saat yang diskrit, kaum abhidarmika
harus meletakan suatu keberadaan landasan mental atau subtansi yang nantinya
akan menyipan kesan-kesan yang ditinggalkan oleh obyek-obyek yang berada dan
memelihara kesinambungan saat-saat yang diskrit tadi. Sedangkan kaum
Sarvastivadin juga menumbangkan teori pencerapan langsung.
Jadi kaum sarvastivadin maupun kaum Theravadin belakangan
telah berusaha untuk membenarkan kenyataan pencerapan langsung ataupun
keberadaan yang sesungguhnya dari suatu obyek.
Kaum sautratika yang menolak konsepsi tentang saat stastik
dipihak lain terpaksa menerima teori pencerapan tak-langsung. Berdasarkan alas
an bahwa suatu obyek mesti berada terus bila ia harus bersedia untuk dapat
dikenal, kaum sautrantika berpendapat bahwa karena baik obyek ataupun kesadaran
adalah tanpa durasi, maka tak mungkin aka nada pencerapan langsung terhadap
obyek-obyek luar. Komentar yang ada di abhidharmadipa yang merujuk kepada
argument yang diajukan oleh kaum darstantika (nama untuk sautrantika) adalah
sebagai berikut: “ organ-organ dan obyek-obyek dari lima indria, yang disebabkan oleh yang
terahir, termasuk kedalam waktu lampau. Bilamana obyek tertentu (rupa) dan mata
berada, kesadaran penglihatan tidak ada. Bilamana kesadaran penglihatan berada,
mata dan obyek-obyek tidak ada. Dengan tidak hadirnya durasi mereka maka tak
ada kemungkinan untuk mengenali obyek”.
Hal ini membuat mereka menyimpulkan bahwa “ semua
pencerapan adalah tidak langsung”. Kaum sauntrantika bertahan bahwa subjek
mampu menerima kesan kesamaan dari suatu obyek. Apa yang dikenali langsung
adalah kesan ini atau wakil dari suatu obyek dan bukan obyek itu sendiri, yang
pada saat pengenalan , merupakan suatu benda dari masa lalu. Obyek itu
disimpulkan hanya berdasarkan kesan indria. Inilah gambaran dari teori
pencerapan, atau teori inferabilitas (dapat disimpulkan) tentang obyek luar.
Teori-teoti ini merupakan beberapa teori pencerapan yang berkembang dari teori
saat.
Kaum Sarvastivadin menjunjung suatu teori obek pencerapan
adalah suatu agregat dari atom-atom (paramanusanghata). Hal ini didasari dengan
kuat dengan alas an bahwa mereka percaya bahwa atom-atom berada secara
individual, dan bahwa bilamana mereka berbeda dalam bentuk agregat mereka
menjadi dapat dicerap. Tapi hal ini tidak merupakan satuan (eka); ia merupakan
keanekaan belaka (aneka). Kaum sarvastivadin-baru, dipimpin oleh sanghabarda,
mencoba menghindar dari produk ini dengan bersikeras bahwa “tiap-tiap atom
sendiri bila mereka tidak bergantung kepada yang lain atau tidak berhubungan
dengan yang lainnya (anyanirapeksa) adalah tidak dapat dicerna, tetapi mereka
dapat ditangkap oleh indriya-indriya bila berada bersama dan bila mereka
bergantungan satu sama lain untuk keberadaanya.” Kaum Sautrantika, walaupun
menuntut bahwa banyak obyek luar tidak
dapat dicerap secara langsung, menyebutkan tentang atom-atom yang membentuk
obyek. Mereka bertahan bahwa atom-atom adalah unit-unit yang tak dapat dibagi
lagi yang dapat bergabung atau bercampur bersama-sama untuk membentuk suatu
obyek. Jadi sementara kaum Sarvastivadin
percaya akan penggolongan dari atom-atommaka kaum Sautrantika menyokong penggabungan
atom-atom. Suatu keritik terhadap teori-teori yang berbeda ini dapat
diketemukan dalam Alambanapariksa-nya Dinnaga, dan yang menarik untuk dicatat
adalah bahwa ia mengemukakan argument empiric untuk menolak teori-teori atomic
ini.
Seperti teori identitas kualitas (satkaryavada) dari kaum
Sarvastivadin dapat dipandang sebagai suatu teori metafisik, begitu pula teori
non-identitas (asatkaryavada) dari kaum sautrantika, yang ahirnya menolak
kausalitas. Teori-teori metafisik ini, di antarannya merupakan teori yang
paling dikritik oleh Nagarjuna. Hal-hal seperti ini pada akhirnya, merupakan
beberapa akibat dari skolatisisme, yang muncul setelah dicapainya parinirvana Sang Buddha.
Dalam lingkunagn hidup relegius, sekolah-sekolah hinayana
menekankan doktrin Jalan Berunsur Delapan (ariya atthangika magga), sementara
Mahayana mendapat kesempatan untuk mengembangkan konsepsi Boddhisattva-nya.
Perkembangan bertahap mualai dari mmoralitas (sila), menuju ke konsentrasi
(Samadhi) dan berpuncak pada pengetahuan atau pandangan terang (panna) merupakan
teman dari tulisan dari Buddhagosa yang terkenal ‘Jalan Kesucian’
(visuddhimangga). Pencapaian kearahatan tetap merupakan tujuan relegius, dan
perbedaan antara sang Buddha dan Arahat tidak ditegaskan seperti yang dilakukan
pengikut-pengikut Mahayana.
No comments:
Post a Comment