oleh:
YM Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
Lebih dari 2530 tahun yang lalu, kurang lebih 600 tahun sebelum Masehi, ketika banyak negara di dunia ini belum beradab, saat teknologi sama sekali belum maju seperti sekarang; Petapa Gautama dengan kekuatan sendiri, mancari, berjuang, mempertaruhkan hidupnya, hingga tercapai Penerangan Sempurna. Perjuangan itu semata-mata didorong keagungan rasa kemanusiaan Beliau. Persoalan-persoalan penderitaan, kesengsaraan, kegagalan, menggerakkan nurani Beliau, untuk meninggalkan kedudukan sebagai putera mahkota, memilih menjadi Pengabdi Agung bagi dunia ini hingga hari ini.
Meskipun lebih dari 2500 tahun yang lalu, suara Manusia Luar Biasa, Sang Buddha Gautama itu masih terdengar, semakin terdengar, dan lebih jelas didengar. Mengapa demikian? Suara Beliau mungkin kurang menarik. Kurang menarik bagi sementara orang, karena Sang Buddha Gautama hadir di tengah-tengah kita dengan pertama sekali meminta kita untuk: Jangan mengingkari diri sendiri!
Salah satu kesulitan terbesar manusia adalah melihat kekurangan dan kesulitan dirinya sendiri. Berat, pahit, untuk melihat kekurangan diri sendiri. Kita ingin berpaling cepat, lari, dari segala macam kesulitan dan kegagalan. Dengan berbagai harapan berusaha menutupi segala macam persoalan-persoalan kehidupan ini. Dan memang, harapan adalah paling menyenangkan untuk menyembunyikan penderitaan.
Cukup berat ajakan Sang Buddha, tetapi ajakan Beliau yang berat itu adalah benar. Lihatlah kehidupan ini dengan wajar. Apa adanya. Lihatlah dengan segala kekurangan, dan penderitaannya. Dengan berpandangan demikian, kita tiak melihat kehidupan ini sebagai emas dan juga tidak hanya sebagai kotoran. Sulit melihat kenyataan, lebih-lebih kenyataan diri sendiri. Tetapi dengan mau melihat kenyataan akan membuat kita berpikir dewasa.
Berani melihat kenyataan dengan wajar, mengetahui sebab penderitaan, mengatasi sebab itu, untuk: Mewujudkan hidup harmoni dan bahagia; inilah pandangan Sang Buddha Gautama tentang kehidupan.
Tanpa pandangan yang benar tentang kehidupan ini, manusia sering melarikan diri dari kenyataan. Menutupi persoalan dengan mencari kenikmatan. Menghindari kesukaran dengan mengejar kesenangan. Ini bukan menyelesaikan persoalan, tetapi bahkan membuat penderitaan baru.
Saya ingin mengajak saudara, terutama kepada segenap umat Buddha, menjelang tibanya saat-saat Trisuci Waisak 2532 ini, untuk: Jangan lari dari diri sendiri! Kembalilah kepada diri sendiri seutuhnya. Dengan kembali kepada diri sendiri, akan melihat diri sendiri. Dengan melihat diri sendiri, maka akan menyadari kekurangan dirinya. Menyadari kekurangan dirinya membangkitkan semangat untuk membangun mencapai kehidupan sejahtera. Dan Sang Buddha Gautama menunjukkan dengan jelas ke arah mana kita harus bangkit membangun kehidupan ini, menuju kedamaian dan kebahagiaan yang utuh.
Sejak tercapainya Penerangan Sempurna pada purnama di bulan Waisak, Sang Buddha Gautama melihat hakikat Tuhan. Selama manusia tidak melihat hakikat Tuhan, tidak mungkin manusia bebas dari persoalan penderitaan.
Tuhan itulah Esa, Tidak Dilahirkan, Tidak tercipta, Tidak Menjelma, dan Mutlak. Hakikat tertinggi dari segala sesuatu. Tuhan adalah Asankhata Dhamma, bukan dukkha, bukan penderitaan, bukan kesengsaraan, bukan kelahiran kembali, bukan dewa, bukan semesta alam ini.
Karena tidak menyadari hakikat Tuhan, tidak melihat hakikat itu, manusia lahir kembali berulang-ulang. Berulang-ulang dalam penderitaan. Sehingga setiap mereka mengatasi persoalan-persoalan hidup tidak membawanya menuju Tuhan, tetapi malah menambah penderitaan dan persoalan-persoalan baru.
Tuhan adalah hakikat tertinggi, Tuhan adalah tujuan tertinggi. Dan, keyakinan ini adalah keyakinan yang harus hidup dalam sanubari setiap umat Buddha. Bukan keyakinan mati.
Keyakinan yang hidup adalah keyakinan yang membuat kita berani menghadapi kenyataan kehidupan ini. Keyakinan yang hidup membawa manusia tidak lari mengingkari dirinya sendiri. Keyakinan demikian membangkitkan semangat mengatasi kesulitan, menyelesaikan persoalan, menghancurkan penderitaan, memutuskan kelahiran penderitaan, memutuskan kelahiran kembali, dengan cara yang benar, dengan Jalan Dhamma; untuk: Mencapai kebahagiaan utuh.
Tanpa keyakinan yang hidup kita akan semakin jauh dari Jalan Dhamma. Saya ingin memberikan contoh-contoh bila seseorang menghadapi persoalan tidak dengan Jalan Dhamma. Misalnya: Anak nakal, dimaki-maki di depan umum; atau, anak nakal kemudian digebuki. Istri nakal langsung diceraikan. Suami khilaf langsung ditinggalkan. Karyawan salah, langsung dipecat, dan sebagainya, dan sebagainya. Cara-cara ini adalah bukan cara Dhamma. Mereka tidak berpijak di Jalan Dhamma. Menyelesaikan persoalan tidak dengan cara Dhamma, bukan menyelesaikan —tetapi sekali lagi —malah menambah kesulitan.
Jalan Dhamma menghendaki melihat setiap persoalan dan peristiwa dari berbagai faktor. Jalan Dhamma menghendaki mawas diri, mengendalikan diri, kasih dan pengabdian. Jalan Dhamma menghendaki kesungguhan, kejujuran, kesabaran, dan rela berkorban demi kesejahteraan bersama.
Jalan Dhamma telah ditunjukkan Sang Buddha Gautama. Jalan Buddha Gautama sendiri. Dengan mengikuti Jalan Dhamma seolah-olah kita bertemu dengan Sang Buddha meskipun Beliau telah mangkat lebih 25 abad yang lampau. Pada saat-saat terakhir menjelang mangkat, Beliau berpesan, bahwa Dhamma dan Vinaya yang telah Beliau tunjukkan itulah pengganti Beliau setelah Beliau tiada lagi. Mereka yang melihat Dhamma akan melihat Sang Buddha.
Jalan Dhamma masih utuh. Sang Buddha masih berada di tengah-tengah kita. Seorang Manusia Luar Biasa yang telah berjuang dan mengabdi dengan sempurna. Ajaran Beliau, Jalan Dhamma yang logika, yang menghargai semua kehidupan, kehidupan terkecil sekalipun; yang membimbing kita berpikir dewasa, bertanggung jawab atas kehidupan ini; yang mengajak kita untuk membuka diri melihat hidup dengan wajar; merupakan perwujudan kasih sayang dan kebijaksanaan agung Sang Buddha Gautama demi kebahagiaan dunia ini.
Dalam sebuah syair bahasa Pali disebutkan:
"Mahâkaruniko nâtho,
sukhâya sabbâ paninam
Puretvâ pârami sabbâ,
patto sambodhi muttamam"
"Beliau —Sang Buddha —yang penuh kasih sayang,
demi kebahagiaan semua makhluk,
Telah berjuang menyempurnakan kebajikan,
hingga tercapai penerangan Sempurna"
KEYAKINAN YANG HIDUP
MEMBAWA KITA TIDAK LARI
MENGINGKARI DIRI SENDIRI
***
Sumber:
Kumpulan "Dhammadesana", Sri Paññavaro Thera Jilid 2
No comments:
Post a Comment