Keterangan : >>>
M.K. = Mahã Kappa
A.K. = Asangkheyya Kappa
T.S. = Tahun Surgawi
A.K. = Asangkheyya Kappa
T.S. = Tahun Surgawi
Ketiga puluh satu alam kehidupan tersebut,
kesunyataannya, tidaklah kekal-abadi. Semua dicengkram oleh tiga corak; anicca, dukkha dan anatta. Anggapan bahwa alam setelah manusia mati
nanti, baik menuju ke alam menyedihkan maupun membahagiakan adalah kekal-abadi,
mutlak keliru. Karena, masing-masing alam tersebut mempunyai masa / waktu hidup
sendiri-sendiri, dan setelah masa waktu untuk hidup di salah satu alam tersebut
habis, maka semua makhluk yang belum mencapai “Kebebasan-Sempurna” ( Nibbana )
akan melanjutkan hidupnya di alam-alam yang lain. Untuk itu, marilah kita
pertama-tama membahas mengenai satuan waktu hidup dalam alam kehidupan kita
ini. Kemudian, sesi ini kita hanya akan membahas bagian pertama dari alam
Kamaloka, yakni alam-alam menyedihkan ( Dugati ).
DIMENSI
WAKTU
1.
Alam Kamaloka
Alam manusia,
menggunakan ukuran tahun yang telah diciptakan dan disepakati secara
bersama-sama oleh manusia sendiri hingga saat ini, dimana satu hari adalah 24
jam, satu minggu adalah tujuh (7) hari, satu bulan adalah 31 ( atau 30 ) hari,
satu tahun adalah 12 bulan. Alam para hantu ( Niraya, Petayoni, dan Asurayoni
), umumnya berusia lebih panjang daripada usia manusia dan alam hewan (
Tiracchanayoni ), bahkan ada yang mencapai jutaan tahun menurut hitungan
manusia.
Untuk alam surgawi,
yakni alam para dewa yang hidup pada alam Kamaloka ini, maka dimensi waktu
disana adalah sebagai-berikut :
a).
50 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Catummaharajika
b).
100 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Tavatimsa
c).
200 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Yama
d).
400 tahun manusia = 1 hari 1 malam bagi alam Dewa Yusita
e).
800 tahun manusia = 1 hari 1 malam alam Dewa Nimmanarati
f).
1600 tahun manusia = 1 hari 1 malam alam bagi Dewa Parinimmitavasavatti
Setelah kita
mengetahui dimensi waktu pada masing-masing alam kehidupan pada ketiga-loka
tersebut, maka marilah kita membahas masing-masing alam dalam ketiga-loka itu.
2.
Alam Rupaloka dan Arupaloka
Pada bab
“Alam-Semesta I” saya sudah pernah menyinggung mengenai dimensi waktu yang
disebut dengan “Kappa” ( Baca lagi “Alam-Semesta I ).
Ada tiga macam Kappa,
yaitu :
1. Antara Kappa.
2. Asankheyya Kappa.
3. Maha Kappa.
Dalam rentang
perjalanan manusia, (sesungguhnya) terdapat suatu masa dimana seluruh ummat
manusia hanya akan mempunyai batas waktu umur rata-rata hingga 10 tahun. Masa
ini terjadi ketika moralitas ummat manusia sedemikian merosotnya, sehingga
umurnya hanya akan bertahan hingga 10 tahun, sesudah itu mati. Masa selang
antara batas usia manusia rata-rata 10 tahun lalu naik sampai usia yang panjang
sekali hingga mencapai delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun, lalu turun kembali
hingga batas usia rata-rata menjadi 10 tahun kembali, itu adalah rentang waktu
1 “Antara-Kappa” ( Antara satu kappa ke Kappa berikutnya, itulah
“Antara-Kappa” ).
Satu ( 1 ) Asankheyya
Kappa adalah sama dengan 20 Antara Kappa. Satu ( 1 ) Asankheyya Kappa, oleh
para sarjana dinyatakan, bila dialjabarkan sama dengan 10 pangkat 14 ( angka
satu ( 1 ) diikuti seratus empat puluh ( 140 ) angka nol, ( coba anda tuliskan
sendiri, hehehe… ), sehingga lamanya melebihi jumlah jutaan-trilyun tahun. Dan
Satu ( 1 ) Maha Kappa adalah sama dengan empat ( 4 ) Asankheyya Kappa, sehingga
1 Maha Kappa lamanya melebihi maha jutaan-trilyun tahun.
Dimensi waktu yang
disebut “Kappa” inilah yang digunakan untuk mengukur umur rata-rata makhluk-makhluk
yang terlahir dalam alam Rupaloka dan Arupaloka, yang kesemuanya bisa anda
lihat pada “Tabel 31 Alam Kehidupan”.
I.
KAMALOKA / KAMADHATU
Yakni alam
nafsu-keinginan, tempat keberadaan makhluk-makhluk duniawi. Ada sebelas ( 11 )
alam kehidupan yang termasuk didalam Kamaloka ini, yang terbagi dalam dua alam,
yaitu :
1).Dugati (
Alam-alam menyedihkan ), dan,
2).Sugati (
Alam Bahagia ).
1.)
Dugati ( Alam-alam menyedihkan )
Dugati terdiri dari
empat (4) alam yang kesemuanya merupakan tempat hidup “yang menyedihkan”. Alam
ini disebut juga “Empat Alam Kemerosotan”(Apâyabhûmi). Istilah
‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata, yakni ‘apa‘ yang
berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya‘ yang berarti ‘kebajikan’, dan ‘bhûmi‘
yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah
suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan.
Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu
makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang.
Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga-tibhûmi‘.
Yang menyebabkan
suatu makhluk terlahir di alam “Dugati” / empat alam menyedihkan ( disebut
juga “apaya-bhumi” ) adalah karena :
1. Tidak pernah
Berdana ( bersedekah )
2. Tidak menjaga Sila
( Moralitas : Setidaknya ada lima Sila yang harus dijaga, yaitu : 1. Tidak
membunuh makhluk hidup apapun juga (termasuk binatang) , 2. Tidak mengambil
barang yang tidak diberikan, 3. Tidak berbuat sex yang menyimpang / tidak
seharusnya ( perilaku cabul, perzinahan, dll ). 4. Tidak berucap dusta, 5.
Tidak meminum minuman / obat-obatan yang menyebabkan lemahnya kesadaran ( yang
memabukkan, seperti narkoba, extasy, minuman keras / beralkohol, dll. ) )
3. Tidak pernah
mempunyai rasa hormat kepada orang-orang lain.
‘Duggati’ terbentuk
dari dua kosakata, yakni ‘du‘ yang berarti ‘jahat, buruk,
sengsara’, dan ‘gati‘ yang berarti ‘alam tujuan bagi suatu
makhluk yang akan bertumimbal lahir’. Duggatibhûmi adalah
suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai
se-bagai suatu padanan,duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama
persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri
atas empat alam, yakni:
a).
Niraya ( Ni + aya ; tanpa kebahagiaan )/ Neraka ( Sanskerta )
Yaitu alam keberadaan
yang menyedihkan, tempat para makhluk menebus Kamma buruk mereka. Manusia yang
dalam hidupnya cenderung kearah penganiayaan makhluk hidup, membunuh makhluk
hidup apapun juga, dan senantiasa terjerembab dalam tindakan-tindakan jahat
yang dilakukan baik oleh pikiran, ucapan, dan perbuatan, maka ia akan terlahir
dialam Niraya ini.
Sesungguhnya,
anggapan bahwa neraka adalah tempat hidup yang kekal abadi bagi semua makhluk
yang selama masa hidup sebelumnya banyak berbuat karma buruk, adalah keliru.
Tidak ada yang kekal-abadi, termasuk didalam neraka sekalipun. Setelah habisnya
Kamma buruk yang menyebabkan mereka “tercebur” kedalam alam penuh derita
ini ( sama-sekali tidak ada kesenangan, hanya derita yang ada ),
makhluk-makkhluk yang hidup dialam ini akan lahir kembali dalam alam-alam lain
sesuai timbunan kamma-kamma mereka sendiri, yang telah mereka pupuk selama
ribuan tahun rentang pengembaraannya dalam samsara.
Dikisahkan
bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor
anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. (Mallikâ
adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala). Atas kematiannya,
raja bertanya kepada Sang Buddha ke alam manakah gerangan istrinya terlahirkan
kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap hari selama seminggu
penuh karena khawatir kalau raja akan bersedih hati mengetahui penderitaan yang
harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ keluar dari
neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Surga Tusita, Beliau memberikan
jawaban. Tidaklah ‘adil’ untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup
(selamanya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya
dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa memberi peluang sedikit pun untuk
memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan
kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adikodrati yang murkah karena diabaikan atau
dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Neraka
Besar (Mahâ-niraya)
2. Neraka
Kecil (Ussadaniraya).
Neraka besar terdiri
atas delapan alam:
1. Sañjîva
Alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
2. Kâïasutta
Alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
3. Sanghâta
Alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4. Dhûmaroruva
Alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
5. Jâlaroruva
Alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
6. Tâpana
Alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7. Patâpana
Alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
Alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
8. Avîci
Alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang-gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil terdiri
atas delapan alam:
1. Angârakâsu:
Alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2. Loharasa:
Alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3. Kukkula:
Alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4. Aggisamohaka:
Alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5. Lohakhumbhî:
Alam neraka yang merupakan panci tembaga
6. Gûtha:
Alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7. Simpalivana:
Alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri
8. Vettaranî:
Alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan
b).Tiracchana-yoni
( tiro=melintasi;acchana=pergi )
Ini adalah dunia para
hewan. Makhluk-makhluk dilahirkan sebagai binatang-binatang karena Kamma buruk
mereka. Setelah masa hidupnya habis, binatang-binatang ini akan lahir
dialam-alam lain, misalnya di alam manusia, jika mereka mempunyai Kamma yang
cukup untuk itu.
Dengan pengertian
lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi jalan
menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak mempunyai alam
khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam manusia. Binatang memiliki
hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi serta berkembang-biak; naluri untuk
mencari makan, bersarang, dan sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai
kehidupannya. Binatang tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan
dari kejahatan, kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ,
conscience) kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta)
yang sedang memupuk kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan
terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut
misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya].
Sebenarnya, Kamma
yang mewujudkan dirinya dalam bentuk seorang manusia bisa juga mewujudkan
dirinya dalam bentuk seekor binatang, demikian juga sebaliknya, sebagaimana
halnya arus listrik yang dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk : sinar, panas,
dan gerakan secara berturutan; dalam hal ini, yang satu tidak perlu merupakan
perkembangan lebih lanjut dari yang lainnya.
Sebagai contohnya,
seorang manusia yang dalam masa hidupnya mengalami masa-masa dimana ia
bertingkah laku bagaikan hewan, tidak mempunyai kebajikan, kesadaran /
kecerdasan moral, hanya mengumbar hawa nafsu sexual dan nafsu-nafsu biadabnya,
maka sesungguhnya ia tak ubahnya sebagai “binatang”, meski wujudnya saat itu
adalah manusia. Kemudian karena kamma buruknya ia selama hidup memperoleh
makanan dari mencuri, mengais-ngais ditempat sampah, saat itupun ia tak ubahnya
bagai binatang. Bila kita mempunyai teman, saudara, yang mempunyai cara hidup
demikian, sebaiknya kita membimbingnya kearah yang baik dan benar.
Sesungguhnya, alam kehidupan itu adalah “kondisi-batin”. Tak perlu menunggu
mati baru bisa tahu ia terlahir dimana, hanya dengan melihat kondisi batinnya,
ia akan tahu, saat itu ia hidup dialam mana.
Binatang mempunyai
banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya dapat
dibedakan menjadi Empat Macam, yakni:
1. Yang tak berkaki seperti ular, ikan,
cacing dan lain-lain (apada),
2. Yang berkaki dua seperti ayam, bebek,
burung dan lain-lain (dvipada),
3. Yang berkaki empat seperti gajah, kuda,
kerbau dan lain-lain (catuppada),
4. Yang berkaki banyak seperti kelabang,
udang, kepiting dan lain-lain (bahuppada).
Dalam pandangan
Kristen serta agama-agama “Ketuhanan” lainnya, semua binatang akan musnah
setelah kematian. Binatang dianggap tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui
memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu
mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang
dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka baik dalam kehidupan sekarang
maupun kehidupan kehidupan yang lampau; melainkan merupakan wewenang serta
kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia
yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan
dilemma bagi umat Kristen yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat
hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.
c).
Peta-yoni ( pa+ita ).
Secara harafiah,
artinya adalah makhluk-makhluk yang telah meninggal, atau makhluk-makhluk yang
sama sekali tanpa kebahagiaan. Mereka bukan arwah atau setan yang tidak
berwujud. Mereka memiliki bentuk tubuh yang cacat yang besarnya bermacam-macam,
pada umumnya tidak terlihat dengan mata telanjang. Mereka tidak memiliki alam
sendiri, tetapi tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, didalam
rumah-rumah kosong, dan lain-lain.
Alam Setan ‘Peta‘
terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘pa‘ yang berarti ‘ke depan,
menyeluruh’, dan ‘ita‘ yang berarti ‘telah pergi, telah
meninggal’. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka yang menderita
karena tersiksa, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan dan
kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan
ialah pencurian, dan karma-karma buruk lainnya. Seperti binatang, setan tidak
mempunyai alam khusus milik mereka sendiri. Mereka berada di dunia ini dan
bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan
sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam
wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri
secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain.
Setan terbagi menjadi
empat jenis, yakni:
1. Yang hidup bergantung pada makanan
pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika),
2. Yang senantiasa kelaparan, kehausan dan
kekurangan (khuppîpâsika),
3. Yang senantiasa
terberangus (nijjhâmataóhika),
4. Yang tergolong sebagai iblis atau
makhluk yang suram (kâlakañcika).
Jenis yang pertama
itu dapat menerima pelimpahan jasa karena mereka bertempat tinggal di sekitar
atau di dekat manusia, sehingga dapat mengetahui pemberian ini dan
beranumodanâ [menyatakan kebahagiaan atas kebajikan yang diperbuat oleh
makhluk lain]. Apabila mereka tidak tahu kalau ada pelimpahan jasa dan
tidak beranumodanâ, pelimpahan jasa ini tidak dapat diterima. Orang yang pada
saat-saat menjelang kematian mempunyai kemelekatan yang amat kuat pada
kekayaan, harta benda, sanak-keluarga, dan sebagainya niscaya akan terlahirkan
di alam setan ini.
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta,
disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:
1. Yang hanya
bertulang tanpa daging (aööhisaõkha-sika),
2. Yang hanya berdaging
tanpa tulang (maõsapesika),
3. Yang berdaging benjol (maõsapióòa),
4. Yang tak
berkulit (nicchavirisa),
5. Yang berbulu
seperti pisau (asiloma),
6. Yang berbulu
seperti tombak (sat-tiloma),
7. Yang berbulu
seperti anak panah (usuloma),
8. Yang berbulu
seperti jarum (sûciloma),
9. Yang berbulu
seperti jarum jenis kedua (duti-yasûciloma),
10. Yang berpelir
besar (kumbhaóòa),
11. Yang terbenam
dalam tahi (gûthakûpanimugga),
12. Yang makan
tahi (gûthakhâdaka),
13. Yang berjenis
betina tanpa kulit (nicchavitaka),
14. Yang berbau busuk (duggandha),
15. Yang bertubuh bara api (ogilinî),
16. Yang tak berkepala (asîsa),
17. Yang berperawakan
seperti bhikkhu,
18. Yang berperawakan
seperti bhikkhunî,
19. Yang berperawakan
seperti calon bhikkhunî (sikkhamâna),
20. Yang berperawakan
seperti sâmanera,
21. Yang berperawakan
seperti sâmanerî.
Sementara itu,
Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebutkan
adanya 12 macam setan, yaitu:
1. Yang makan ludah,
dahak dan muntahan (vantâsikâ),
2. Yang makan mayat
manusia atau binatang (kuópâsa),
3. Yang makan tahi (gûthakhâdaka),
4. Yang berlidah
api (ag-gijâlamukha),
5. Yang bermulut
sekecil lubang jarum (sûcimukha),
6. Yang terdorong
keinginan tiada habis (taóhaööita),
7. Yang bertubuh
hitam pekat (sunijjhâmaka),
8. Yang berkuku
panjang dan runcing (satthaõga),
9. Yang bertubuh
sangat besar (pabbataõga),
10. Yang bertubuh
seperti ular piton (ajagaraõga),
11. Yang menderita di
siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (vemânika),
12. Yang memiliki
kesaktian (mahiddhika).
Contoh nyata
makhluk-makhluk alam –Peta ini adalah : Hantu-hantu “Lawang-Sewu” ( Semarang ),
hantu-hantu yang tinggal disudut-sudut rumah kita yang gelap, pekat, dan tidak
terjamah oleh kita, hantu-hantu yang tinggal di pohon-pohon tertentu.
Umumnya, kita tidak
bisa melihatnya dengan mata telanjang, jika kita belum mempunyai tingkat
konsentrasi yang tinggi setara dengan Jhana I.
Tapi, seringkali,
manusia mampu melihat keberadaan makhluk-makhluk Peta ini. Contohnya :
1. Anda semua
tentunya pernah mengalami “tindihen”, yaitu keadaan tidur terlelap yang
kemudian seakan ada yang “menindih” badan kita, dan kita kemudian tersadar
bahwa tubuh kita tidak dapat digerakkan, mulut kita serasa terkunci, terkadang
telinga kita “mendengung” keras hingga tak bisa mendengar apa-apa. Pada saat
seperti itu, jika kita menggunakan mata batin kita, kita akan melihat, bahwa
didekat kita ada makhluk Peta yang hadir dan memandangi kita.
Bahkan, tak jarang, jika kita membuka mata, kita bisa melihatnya dengan mata
telanjang ! Ada suami dari teman saya, yang meninggal karena mengalami hal ini.
Mengapa ? Karena jantungnya lemah, ia “shock”, sehingga mengalami serangan
jantung, meski detik-detik menjelang berhentinya jantungnya istrinya telah berusaha
membangunkannya.
2. Teman sekantor
saya pernah suatu ketika, kerja hingga lembur menjelang maghrib. Disaat
konsentrasi kerjanya, dimana ia sendirian, tiba-tiba ia dikagetkan munculnya
sesosok hantu yang berwujud anak-kecil yang menyeringai dan kemudian berlari.
3. Saya pribadi,
seringkali melihat makhluk-makhluk ini di beberapa tempat, seperti di atas
genting, di sudut rumah, dan di atas pohon. Makhluk-makhluk seperti ini tidak
selalu menetap ditempat tersebut, ia seringkali juga berjalan-jalan, seperti
manusia juga.
Salah satu contoh
yang pernah saya alami adalah sebagai berikut. Teman sekantor saya, sebut saja
bernama Adi, diganggu oleh salah satu makhluk Peta ini. Saat ia konsultasi
dikantor, saya sudah melihat makhluk tersebut tinggal diatas genting, bersandar
pada pohon mangga yang ada didepan kamarnya. Rambutnya panjang, kulitnya putih
pucat, pakaiannya putih panjang, kukunya hitam panjang-panjang, kurang-lebih
3-4 cm. Penglihatan saya ini dibenarkan oleh teman saya tersebut, karena,
sebelum ia minta tolong kepada saya, ia sudah minta tolong kepada beberapa
paranormal, termasuk praktisi2 Yoga, dan semuanya mengatakan makhluk tersebut
tinggal diatas pohon yang saya tunjuk itu, meski paranormal dan para praktisi
Yoga tersebut tidak bisa menerangkan dengan detail wujud makhluk ini.
Saat saya datang ke
tempat kos-kosannya, makhluk tersebut sudah memilih pergi ketempat lain. Dan
atas permintaan teman saya, saya meminta mbak “cantik” ini untuk tidak lagi
mengganggu teman saya. Mbak “cantik” tidak menjawab, hanya memalingkan muka,
tidak mau menatap mata saya lagi. Lewat bahasa tubuhnya ia menyatakan, bahwa ia
tidak akan mengganggu teman saya ini, hanya, ia akan tetap datang ke pohon
tersebut, karena ia sudah lama sering singgah disitu. Usut punya usut, ternyata,
yang menyebabkan teman saya ini senantiasa merasakan kehadiran mbak “cantik”
didekatnya, karena beberapa saat sebelumnya, ada teman Si Adi, yang bernama (
sebut saja ) Yudi, “unjuk-kebolehan” untuk memanggil “hantu” bersama-sama
dengan Adi, dan prakteknya itulah yang menyebabkan ia terpanggil untuk
mendekati si Adi. Si Yudi sendiri, seperti dikisahkan oleh Adi, beberapa kali
ketika tidur dikamar kosnya, diganggu hingga muntah darah. Kini, kos-kosan Adi
sudah aman dan nyaman, meski mbak “cantik tetap ada disana. Bahkan, tak jarang
Adi duduk bersebelahan dengan mbak “cantik” ini di kursi panjang didepan
kamarnya, ditemani lampu bohlam remang-remang dan aroma lembab kamar mandi di
ujung lorong dekat kamarnya, hiiiii… ( hehehehehe ).
d).Asura-yoni
Ini adalah Alam Iblis
‘Asurakâya‘.‘Asurakâya‘ terbentuk atas tiga kosakata, yaitu ‘a‘
yang merupakan unsur pembalik, ‘sura‘ yang berarti ‘cemerlang,
gemilang’, dan ‘kâya‘ yang berarti ‘tubuh’. Namun, yang dimaksud
dengan ‘tak cemerlang’ di sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari
tubuh, melainkan suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga
membuat batin tidak berceria.
Istilah ‘asura’ juga
berasal dari kisah kejatuhan dari Surga Tâvatimsa [terkalahkan oleh
Sakka dan pengikutnya] akibat minuman memabukkan (surâ).
Asurakaya adalah alam Iblis penentang Dewa. Mereka senantiasa menebarkan
“peperangan” terhadap para Dewa. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam
kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai ‘pubbadevâ‘.
Kisah ini serupa dalam
kisah Kekristenan mengenai kejatuhan LUCIFER dari alam para Malaikat ( Surga )
dan kemudian Lucifer dan para pengikutnya menjadi penentang Tuhan. Sangat
serupa penggambaran tentang “peperangan di surga” antara Lucifer dengan para
malaikat Tuhan, dimana Saint Michael berperan sebagai salah satu malaikat Tuhan
yang turut “mengalahkan” Lucifer. Mengapa kisah ini bias sama ? Karena
sesungguhnya yang dikisahkan adalah “sama”. Sehingga yang dimaksud oleh
Kekristenan kisah “peperangan di surga” antara Lucifer dan para pengikutnya
melawan Tuhan dan para malaikatnya, adalah kisah peperangan antara Asura dengan
Dewa Sakka dan para pengikutnya.
Asurakâya atau iblis
terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Iblis berupa dewa(deva-asurâ)
2. Iblis berupa setan
(peti-asurâ),
3. Iblis berupa
penghuni neraka (niraya-asurâ).
Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu,
subali,pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri
atas kâlakañcika,vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâhanya terdiri
atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan
seperti kelelawar.
Demikian penjelasan
mengenai alam-alam Dugati / Apayabhumi. Mungkin sekilas perlu saya tambahkan
penjelasan mengenai alam-alam dugati tersebut. Pada alam niraya /
neraka, disana sama sekali tidak ada kebahagiaan. Makhluk-makhluk niraya
/ neraka hidup menderita. Beberapa pengalaman “perjalanan” saya, di
alam niraya ini, ada makhluk yang senantiasa terbakar api, terbelenggu,
meratap, menangis. Seumur hidup mereka dialam niraya ini hanya
merasakan siksaan demi siksaan, baik batin maupun jasmani. Ada yang bertubuh
cacat, mata “kiwir-kiwir” keluar dari mangkuknya, perut bolong, dan
lain-lainnya.
Karena itulah, maka
sebaiknya saya sarankan, kita harus senantiasa berdoa, melakukan pelimpahan
jasa, kepada leluhur kita. Siapa tahu, meskipun beliau dulunya dikenal “baik”
oleh masyarakat, terkenal, bahkan orang sakti dan linuwih sekalipun, sekarang
ini bisa-bisa berada di alam niraya ini, karena ternyata, dibalik itu semua,
tersimpan “amal-amal” perbuatan buruknya. Keberadaan seseorang di suatu alam
tidak ditentukan dari ketenarannya, kesaktiannya, kesupelannya / keluwesannya
bermasyarakat, bahkan anggapan bahwa ia “utusan-Tuhan” sekalipun, tapi lebih
kepada perilakunya, pikiran, ucapan, dan perbuatannya, jika benar, bajik,
lurus, bersih, maka tidak akan terlahir di alam kesengsaraan ini.
Tapi meskipun semasa
hidup sebagai manusia ia adalah orang terkenal, berharta melimpah, mempunyai
kesaktian, dan mengklaim diri sebagai “utusan Tuhan” , “kekasih Tuhan”, namun disisi
lain ia suka mengumbar nafsu sexualnya ( berpoligami sampai mempunyai
istri satu lusin atau lebih misalnya ), berbohong, menipu, berperang,
membunuh tak segan menganiaya makhluk hidup ( termasuk binatang, maka
Sang Buddha melarang pengikutnya untuk melukai makhluk hidup / meneteskan darah
makhluk hidup, a p a p u n a l a s a n n y a, karena, itu termasuk
karma buruk. Meskipun kita hanya “urun” duit / uang, kemudian menyuruh orang
lain untuk membeli hewan2 tertentu, untuk kemudian disembelih oleh tukang
jagal, dan meskipun itu dibagi-bagikan kepada masyarakat, itu tetaplah karma
buruk ) , intinya, semua pikiran, ucapan, perbuatan banyak dinodai
perbuatan-perbuatan tidak baik, maka ia bisa saja terlahir dialam ini, untuk
menebus karma-karma buruknya. Terutama, jika saat kematiannya ia menderita,
ketakutan, shock, mati mendadak, mati tidak wajar dan merana, maka besar
kemungkinan ia segera terlahir di alam ini. Pikiran terakhirlah yang akan
menjadi “Gati-nimitta” ; lambang-tujuan alam kelahiran berikutnya. Para
pembunuh, penjahat kemanusiaan / penyebar perang, penyiksa binatang-binatang,
orang-orang yang bersifat aniaya, dan “kriminil-kriminil” lain terlahir di alam
ini. Panjang atau pendek umurnya di alam niraya tergantung berat ringannya
kamma-kamma buruk yang ia lakukan. Semakin berat, semakin lama ia akan
“mendekam” di penjara ini.
Pada alam Peta dan
Asura, makhluk-makhluknya senantiasa kekeringan, kehausan, kepanasan.
Kuntilanak, makhluk2 cebol, setengah manusia setengah hewan, siluman, dan
lain-lain sejenisnya, mereka hidup di alam ini. Banyak orang yang bisa
membuktikan keberadaannya. Saya sendiri sudah sangat sering melihat, dan
menjadi hal biasa saja, bukan hal istimewa.
Makhluk-makhluk alam
kesengsaraan ini, baik yang dialam niraya/neraka maupun peta dan asura, paling
suka dan akan sangat berterima kasih jika kita melakukan pelimpahan jasa
kepadanya, seperti misal : mendoakan, memberi petunjuk jalan hidup yang
benar, menentramkan hatinya. Saya, sebelum memulai samadhi, senantiasa
melakukan ini, membacakan “paritta” untuk mereka, supaya
hatinya tentram, tahu bagaimana memperbaiki diri, menuju kehidupan yang lebih
baik dan bahagia.
2. Keadaan
bahagia ( Sugati ).
Ada tujuh ( 7 )
tingkatan alam yang merupakan “Keberadaan-Yang-Penuh-Kesenangan”. Dalam
terminology Islam, sepertinya , ini adalah yang disebut “langit-sab-tujuh”.
Tujuh ( 7 ) Alam Sugati ini terdiri dari :
1. Satu Alam Manusia
(manussabhûmi),
Yang menyebabkan
suatu makhluk terlahir dialam manusia karena memegang teguh moralitas, yaitu
melaksanakan PANCASILA :
1. Tidak membunuh
makhluk hidup apapun juga. Tidak menyiksa dan menimbulkan penderitaan
makhluk-makhluk apapun juga.
2. Tidak mencuri,
tidak mengambil barang yang tidak diberikan.
3. Tidak berbuat sex
yang menyimpang ( asusila ), menyetubuhi yang bukan haknya.
4. Tidak berbohong,
memfitnah, omong kasar, memecah belah dan lain-lain.
5. Tidak meminum
minuman keras yang menyebabkan lemahnya kesadaran ( memabukkan ).
2. Enam Alam Dewa (devabhûmi),
Yang menyebabkan
suatu makhluk / seseorang terlahir di alam dewa di keenam alam dewa
lingkup-keindriaan / Kamadhatu ( Catummaharajika, Tavatimsa, Yama,
Tusita, Nimmanarati, Paranimmitavatti ), maka ia harus berlatih dan
menjalani hal berikut :
1. Mempunyai “hiri”, yaitu
: Rasa malu untuk berbuat jahat.
2. Mempunyai “ottapa”, yaitu
: Takut akan akibat perbuatan jahat.
Saat menjadi manusia,
maka seseorang harus berlatih / mempraktekkan dhamma dengan baik, maka ia akan
terlahir di alam-alam Dewa lingkup-keindrian, ditunjang dengan hiri dan ottapa.
Disamping hal-hal itu, dengan berdoa kepada Dewa tertentu, dengan merenungkannya
setiap saat, maka seseorang akan terlahir di alam surga tempat dewa tersebut
berada. Inilah yang menyebabkan lahirnya agama-agama yang “menyandarkan” diri
kepada suatu sosok Dewa atau Maha-Dewa sebagai “Penolong”, atau “Juru-Selamat”nya.
Bukan hal yang salah, tetapi hanya tidak akan pernah bisa membebaskan makhluk
yang bersandar tersebut dari “samsara”, paling tinggi hanya
akan terlahir di alam tempat Dewa tersebut saat ini berada.
Sesungguhnya ada tiga
macam deva atau dewa, yaitu :
1. Upattideva:
Dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan kelahirannya,
2. Sammutideva:
Dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian misalnya raja, permaisuri,
pangeran dan sebagainya,
3. Visuddhideva:
Dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain ialah Arahanta.
Dewa yang dimaksud
dalam pembahasan ini hanyalah merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva,
yakni makhluk surgawi yang mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi pada
hakekatnya adalah TIDAK-KEKAL ( Anicca ), sama dengan makhluk-makhluk lainnya
di ke-31 alam kehidupan ini ( kecuali dialam Brahma ke-12, Suddhavasa, alam
tempat tinggal para Anagami. Karena dialam ini para Anagami akan menyempurnakan
dirinya untuk merealisasi Ke-Buddha-an / Ke-Arahat-an ).
Mereka bisa mati
karena salah satu dari empat sebab:
1. Habisnya usia,
2. Habisnya
kebajikan,
3. Terlena dalam
kenikmatan hingga lupa makan,
4. Murka, cemburu /
irihati.
Tuhan yang dipercayai
sebagai Pencipta yang Maha Sempurna sendiri dikatakan masih memiliki sifat
‘cemburu’, ‘irihati’, ‘murka’ dan sebagainya, pengkisahan karakter sedemikian
ini bias anda temukan di kitab-kitab agama pemjua Tuhan , missal AL QURAN,
ALKITAB, dan lain-lain. Sehingga, apa yang diajarkan oleh Sang Buddha bahwa
makhluk-makhluk Surga, termasuk Tuhan sekalipun masih mempunyai sifat :
marah/murka, cemburu/iri hati, adalah : BENAR. Menurut ajaran Sang Buddha, alam
surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas
[tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu:
1. Cãtummahãrãjika,
2. Tãvatimsa,
3. Yãma,
4. Tusita,
5. Nimmãnarati,
6.
Paranimmitavasavatti
a).
Alam Manusia ( Manussabhûmi ).
Alam manusia adalah
suatu campuran dari rasa sakit dan kebahagiaan. Ini adalah alam saf pertama
dari alam Sugati, tempat kita sekarang ini hidup dan menetap, untuk sementara,
sebelum nanti kita mati. Di alam manusia ini, kita mengalami goncangan badai
kekanan dan kekiri, yang dikenal dengan “delapan-kondisi-duniawi” (
Atthalokadhamma ), yaitu :
1. Untung ( labha )
dan Rugi ( alabha )
2. Terkenal ( yasa )
dan Tidak Dikenal ( ayasa )
3. Dipuji ( pasamsa )
dan Dicela ( Ninda )
4. Bahagia ( sukha )
dan Menderita ( Dukha )
Manussa’ terbentuk
atas dua kosakata, yaitu ‘mano‘ yang berarti ‘pikiran, batin’ dan
‘ussa‘ yang berarti ‘tinggi, luhur, meningkat, berkembang’. Manussaatau
manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano
ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam
manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan
tak bermanfaat [atthânattam manati jânâtîti=manusso], yang tahu
serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalam
manati jânâtîti=manusso].
Manusia bertinggal di
empat tempat, yaitu
1. Uttarakurudîpa,
2. Pubbavidehadîpa,
3. Aparagoyânadîpa,
dan
4. Jambudîpa.
Umat manusia yang
berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang
berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun,
yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus
tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak
menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah
terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan
sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun. Pada zaman
Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa
setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Gotama
telah mangkat sejak dua puluh lima abad yang lampau, usia rata-rata umat
manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun ( dan ternyata teori itu benar
bukan ? Karena, rata-rata umur manusia sekarang ini adalah tujuh-puluh-lima (
75 ) tahun ).
Seorang
Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia lebih pendek
dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami
kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih
panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat
menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di
Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya apalagi di alam-alam
kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima
Nikâya bagian Mûlapannâsaka memberikan penjelasan
secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam
kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan
terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau
menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah
atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati nis-caya
akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya akan memiliki
kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan
terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan
atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit
kebijaksanaan.
Demikian pula
kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña
Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil
evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama
kali muncul / lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud
sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga
dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat
panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam hari pada sekitar 6,000 tahun
yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
Para Bodhisatta (
Calon Buddha ) lebih memilih alam manusia karena alam ini adalah tempat terbaik
untuk mengabdi pada dunia dan memenuhi persyaratan ke-Buddhaan. Pada alam
manusia ini seseorang benar-benar bisa mengenali sifat / hakekat sejati alam
semesta dan alam kehidupan. Pada alam neraka, peta, asura, seorang makhluk
hanya mengalami keadaan yang tidak menyenangkan, penderitaan, karena itu iapun
tidak sempat mengenal / menembus hakekat, karena ia lebih memikirkan
penderitaan demi penderitaan, dan oleh karenanya tidak sempat untuk mencapai
alam Kebuddhaan / Nirvana. Pada alam surgawi, hanya ada kesenangan, tidak ada
kesedihan / dukkha, sehingga mereka tidak mampu mengenali bahwa hakekat hidup
ini adalah dukkha, dan pada alam ini pun para makhluk ( yakni para Dewa ) lebih
suka menikmati kesenangan demi kesenangan daripada “nglakoni” untuk mencapai
“Yang-Mutlak”. Oleh karenannyalah para Buddha selalu dilahirkan sebagai
manusia.
b).Catummaharajika
Ini merupakan alam
surga yang paling rendah, saf kedua dari alam sugati, tempat Dewa-dewa
Pelindung dari empat sudut cakrawala bertempat tinggal dengan para pengikut
mereka.
Alam Câtumahârâjikâ adalah
suatu alam surgawi paling rendah yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa,
yakni:
1. Dhatarattha,
2. Virudhaka,
3. Virûpakkha,
dan
4. Kuvera.
Empat raja dewa ini
juga dipercayai sebagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan
sebutan ‘Catulokapâla‘. Dalam Kitab Lokîyapakarattha, empat
dewa pelindung dunia ini dipanggil sebagai
1. Inda
( Sanskrit : Indra ),
2. Yama,
3. Varuttha dan
4. Kuvera.
Berdasarkan tempat
tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas
tiga, yaitu:
1. Yang berada di
daratan (bhumattha),
2. Yang berada di
pohon (rukkha).
Dalam Kitab Ulasan
atas Dhammapada dan Buddhavamsa, para dewa-dewi yang hidup di pohon dimasukkan
dalam kelompok bhummattha.
3. Yang berada di
angkasa (âkâsattha).
Empat raja langit ini
serta beberapa dewa lainnya mempunyai ‘istana’ (vimâna) khusus bagi diri
mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara khusus, maka
gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi mereka.
Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun dewa
atau kira-kira sembilan juta tahun manusia (Perbandingan usia di alam-alam surga
tidaklah sama, tergantung tingkatannya. Satu hari di alam surga tertentu
berbanding satu abad di alam manusia, dan ada pula yang lebih lama lagi).
Para dewa-dewi di
tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat,
yaitu:
1. Gandhabbo/Gandhabbî:
yang berada di pohon-pohon berbau harum, yang belakangan mungkin dikenali oleh
orang-orang Jawa sebagai ‘GANDARUWA’ / ‘GENDERUWA’. Makhluk halus ini sangat
melekati tempat tinggalnya. Walaupun pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih
tetap mengikuti ke mana pohon itu dipindahkan tidak seperti rukkhadeva lainnya,
yang akan mengungsi ke pohon lain yang masih hidup,
2. Kumbhanno/Kumbhannî:
penjaga harta pusaka, hutan, dan sebagainya,
3. Nâgo/Nâgî:
naga yang memiliki kesaktian, yang mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain
seperti manusia, binatang dan sebagainya,
4. Yakkho/Yakkhinî:
raksasa yang gemar menganiaya para penghuni neraka.
Segala macam Dewa /
Dewi yang menguasai bumi, seperti Dewa / Dewi Penguasa / Penghuni Laut-Laut
tertentu, Penguasa Gunung Tertentu, dan Penguasa Bumi, termasuk hidup di alam
Catummaharajika ini.
Sebagai contoh, hari
Minggu malam, tanggal 14 Sepetember 2008, dirumah saya hadir para praktisi
Yoga. Masing-masing, ada yang sebenarnya sudah bergelar “Master-Reiki”, ada
yang sudah bertahun-tahun belajar Meditasi Buddhis, bahkan hingga ke Burma, dan
lainnya. Kemudian jam 21.30 WIB kami bermeditasi bersama-sama, dan seperti
biasa, setelah saya menguncarkan kata Puja kepada Sang Bhagava, Sang Buddha,
saya menguncarkan puja kepada para Dewa, dan mengundang mereka untuk ikut
hadir. Saya sendiri meniatkan untuk berdiam dalam Jhana II hingga dua jam
kedepan. Dan, baru 2 menit berjalan, sesosok Dewa-Yang-Perkasa, ikut hadir diruangan
tersebut (hingga meditasi kami selesai), beserta seekor naga
meliuk-liuk turun dari atas langit, dan para pengikutnya yang bercahaya
cemerlang berkilauan, memenuhi ruangan meditasi dirumah saya. Beliau, oleh
masyarakat China dikenal sebagai “Kwan-Kong”. Beliau berdiri dengan gagah
disatu sisi didepan kami, lengkap dengan pakaian perang, baju-zirah, topi baja
pelindung, dan tongkat dengan ujungnya berupa Golok. Mukanya Merah, “galak”,
matanya “mentheleng”, berkumis, dan berjenggot panjangnya sekitar 15 – 20 cm.
Gagah. Beliau memberkati kami dan memberikan beberapa pesan. Setelah beliau,
seekor naga, dan para pengikutnya “naik” kembali kealamnya, barulah saya
mengakhiri meditasi, dengan menguncarkan, “Sabbe Satta Bhavantu
Sukkhitatta” ; “SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA!!” .
Sepertinya beliau
termasuk penghuni alam Surga Catummaharajika ini.
c).Tavatimsa
Alam Tâvatimsa adalah
alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebelumnya / dulunya merupakan tempat
tinggal para asurakâya. Ini adalah alam Dewa saf berikutnya, saf
ketiga dari alam Sugati. Secara harafiah berarti : tiga puluh tiga. Ini
adalah alam surga dari tiga puluh tiga ( 33 ) Dewa dengan dewa Sakka sebagai
rajanya. Asal-usul dari nama ‘Tâvatimsa‘ tersebut berkaitan dengan
sejarah tiga puluh tiga relawan yang tidak mementingkan diri sendiri, yang dipimpin
oleh Magha ( nama lain dari Sakka ), karena perbuatan-perbuatan baik mereka
berhasil menyingkirkan para asurakâya. , terlahir dialam surgawi
iniDi dalam surga inilah Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada para Dewa
selama tiga ( 3 ) bulan.
Para dewa-dewi
di Tâvatimsa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
1. Bhummattha:
Sakka beserta 32 dewa pembesar,
2. Âkâsattha:
yang bertinggal dalam istana di angkasa.
Surga Tavatimsa ini
terletak di atas puncak pegunungan Himalaya, di Gunung Sineru. Maka di tradisi
Buddha Mahayana ada sutra-sutra yang isinya menguncarkan pujian terhadap Para
Dewa yang tinggal di alam ini. Ibukota Tâvatimsa ialah Masakkasâra.
Balai Sudhamma menjadi tempat bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan
Kebenaran Dhamma di bawah asuhan Sakka (Beliau berhasil meraih kesucian
tingkat Sotâpatti setelah mendengarkanBrahmajâla Sutta). Brahmâ
Sanamkumâra kerap menjadi tamu pembabar Dhamma di sini. Buddha Gotama
pernah berkunjung ke alam ini, dan bertinggal selama tiga bulan untuk
mewejangkan Abhidhamma kepada ibunda-Nya, yang terlahirkan
kembali sebagai putra dewa di alam Tusita. Moggallâna Thera juga pernah
beberapa kali pergi ke alam ini, dan dari sejumlah penghuninya, beliau
memperoleh kesaksian atas perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka
terlahirkan kembali di sini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu,
menghormat sesepuh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari
penghasutan, mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata
para dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatimsa ialah 1,000 tahun dewa atau
kira-kira 36 juta tahun manusia.
d).Yama
( Yâmâbhûmi )
Secara harafiah
berarti “Alam para Dewa Yama”. Dewa Yama adalah dewa penghancur rasa sakit.
Alam ini adalah saf keempat dari alam Sugati ( berarti alam surga tingkat
ketiga ). Alam ini menjadi tempat bagi para dewa-dewi
yang terbebas dari segala kesukaran, yang terberkahi dengan kebahagiaan
surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam ini ialah Suyâma. Alam ini
berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat yang lebih tinggi, tidak ada
dewa-dewi yang tergolong sebagai bhummattha yang bertinggal di
daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa-dewi di alam ini jauh lebih indah
dan halus daripada yang bertinggal di Tâvatimsa. Rentang hidup
mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira 142 juta tahun manusia.
e).Tusita
( Tusitabhûmi ).
Secara harafiah
berarti, penghuni yang berbahagia, adalah “Alam Kesenangan”. Para Boddhisatta
yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan Kebuddhaan bertempat tinggal di
alam ini sampai saat yang tepat bagi mereka untuk muncul di alam manusia untuk
mencapai Kebuddhaan. Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para
dewa-dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang
dimiliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerahan Agung,
terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi kemunculan seorang
Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka).
Sekarang ini, Bodhisatta Metteyya yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah
ajaran Buddha Gotama punah dari muka bumi ini sedang berada di alam ini. Usia
rata-rata di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun
manusia.
Saat ini Bodhisatta
Metteya tengah hidup dan bersemayam di alam ini. Alam ini adalah saf kelima
dari alam Sugati.
f).Nimmanarati
Secara harafiah
berarti “Alam Para Dewa yang Senang dalam Istana yang Diciptakan”. Para dewa di
alam ini hidup dengan penuh kesenangan-kesenangan didalam istana yang mereka
ciptakan sendiri. Layaknya bangsawan-bangsawan dan para saudagar di alam
manusia, mereka hidup “mewah”, berkecukupan, berkelimpahan, mempunyai para
pembantu / pelayan / pengikut.
Ini adalah alam saf
keenam dari alam Sugati.
g).Paranimmitavatti
Secara harafiah
berarti “Alam Para Dewa yang membuat ciptaan pihak lain bermanfaat untuk
tujuan-tujuan mereka sendiri”. Ini adalah saf-ketujuh / langit ketujuh dari
alam Sugati. Merupakan alam Surga / Dewa sekaligus alam Sugati yang tertinggi.
Namun, sejatinya, ini bukanlah alam “Sang-Pencipta-Semesta”, bukanlah
“Yang-Mutlak, Yang-Tidak-Tercipta”.
Enam ( 6 ), kecuali
yang pertama adalah Alam Para Dewa yang bentuk tubuhnya lebih halus dan lembut
dibandingkan dengan bentuk tubuh manusia dan tidak kelihatan dengan mata
telanjang. Makhluk-makhluk Dewa ini juga tunduk pada kematian seperti halnya
semua makhluk hidup. Alam Dewa ini dalam terminology agama samawi adalah
alam-alam surga, tempat para manusia yang beramal-soleh, bajik, kelak akant
terlahir, yang digambarkan seorang laki-laki akan mendapatkan hak
bidadari-bidadari cantik sebagai istrinya, dan adanya aliran sungai yang
dialiri air susu. Kurang lebih memang alam kesenangan ini demikian. Dalam
beberapa hal, seperti keadaan jasmani,tempat tinggal, dan makanannya, mereka
memang mengungguli manusia. Mereka lahir secara spontan, muncul seperti pemuda
dan gadis berusia lima belas atau enam belas tahun.
Enam alam Deva ( Dewa
) ini adalah tempat tinggal sementara yang penuh kebahagiaan dimana para
makhluk tampaknya hidup menikmati kesenangan indrianya yang sesungguhnya cepat
berlalu.
Alam Sugati ini,
seperti halnya alam-alam Dugati, juga terkena hukum alam ; tidak-kekal.
Sehingga, pantaslah ajaran Jawa, bahwa manusia Jawa itu tidak mengharap-harap
masuk surga, tetapi “manunggal” dengan “Yang-Mutlak”, “Kahanan-Jati”, dan itu,
bukan s u r g a.
Menurut pengalaman
saya dalam “menengok” alam surga tersebut, maka disana sesungguhnya hidup
banyak sekali makhluk surgawi, sama seperti manusia yang jumlahnya pun teramat
sangat banyak. Satu makhluk surgawi, tentunya yang berstrata “Dewa / Dewi” bisa
mempunyai ribuan pelayan / Dayang-dayang. Dayang-dayang / Peri-Peri tersebut
“kerjaannya” adalah menghibur para Dewa / Dewi dan putra-putri mereka dengan
nyanyian dan tarian-tarian. Mereka hidup dalam istana-istana yang megah,
bagaikan kerajaan di alam dunia ini. Maka memang pantaslah ada istilah “Kerajaan-Surga”, karena
memang seperti itulah adanya.
Jika ada manusia yang
terlahir di alam dewa ini dalam pangkuan seorang dewa / dewi tertentu, maka dia
akan menjadi anak dari dewa / dewi tersebut. Para dewa / dewi lahir secara
spontan, dengan usia berkisar antara 16 tahun, dan selama mereka hidup di alam
surgawi tersebut memiliki rupa yang tampan / cantik.
Jika ada manusia yang
terlahir di sebuah istana dewa / dewi tertentu, bukan di pangkuan sesosok dewa
/ dewi yang berkuasa tersebut, maka ia akan menjadi pelayan Sang Dewa / Dewi.
Sebagai contoh,
Kanjeng Ratu Kidul yang mempunyai “struktur-organisasi” lengkap dengan istana
kekuasaannya, itu adalah kenyataan, bukan isapan jempol semata. Demikian juga
dengan para Dewa yang lainnya. Hal ini bisa dibuktikan. Dengan melatih samadhi,
dan dengan mencapai ketenangan yang dalam, batin yang terpisah dari tubuh,
dengan perhatian-terpusat-sepenuhnya ( jadi bukan dalam keadaan “tans”
seperti yang seringkali disebut-sebut ) bisa diarahkan untuk
“menengok” alam-alam surga tersebut.
Para dewa di alam
surga memiliki usia kehidupan yang sangat panjang, sehingga terkadang mereka
lupa bahwa kehidupan itu tidak kekal. Tetapi meskipun kita sebagai manusia
teramat sering mengeluh, meratap dalam menjalani kehidupan di alam manusia ini,
sesungguhnya kehidupan manusia ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki para
dewa di alam surgawi, dan tumimbal-lahir ke alam manusia, bagi para dewa
dianggap sebagai tempat tujuan yang baik. Karena sebab-akibat, atau hukum
karma, hampir tidak berlaku diantara para dewa, mereka memiliki hanya sangat
sedikit kekuatan, atau bahkan tidak memiliki kekuatan, untuk memutus samsara,
roda dumadi, bhavacakka, yang mengikat semua yang harus mati, walaupun ingatan
mereka mengenai ajaran-ajaran Dhamma – yang tidak terdengar di alam dewa –
tidak punah, seperti halnya dengan semua ciri lain dari kehidupan manusia
mereka.
II.
RUPALOKA ( Alam Berbentuk ) :
Ini adalah Alam
Brahma, dewa tertinggi dari Brahmanisme awal, yang ( hingga kini ) dianggap
sebagai “Sang-Pencipta-Alam-Semesta” dan dipuja oleh para Brahmana dengan
berbagai kurban dan ritual ( itulah sebabnya, dalam setiap tradisi
agama apapun, ada upacara persembahan “kurban” binatang ditujukan bagi
“Sang-Pencipta”. Kepercayaan ini ditentang oleh Sang Buddha, karena merupakan
suatu kekeliruan ) . Mengenai upacara kurban binatang yang
dipersembahkan bagi “sosok” yang dianggap “Yang-Maha-Kuasa” ini, Sang Buddha
bersabda :
“
Upacara mengorbankan kuda atau manusia, upacara minuman, upacara kemenangan,
upacara melempar pasak,…dst. ; kesemua jenis upacara ini tidaklah sebanding
dengan seperenambelas bagian sekalipun dari hati yang diliputi oleh
Cinta-Kasih. Bagaikan pancaran rembulan yang mengalahkan cahaya
bintang-bintang.”
Alam ini disebut juga
Rûpabhûmi , merupakan suatu alam tempat kemunculan ‘rûpâvacaravipâkacitta‘
atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam brahma berbentuk. Dengan
perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran jasmaniah serta
batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup
yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang
luhur. Jhâna dihasilkan dari pengembangan Samatha Kammatthâna meditasi
pemusatan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan.
Alam brahma terdiri
atas 16 alam, yakni:
1. Tiga alam bagi
peraih Jhâna pertama (paöhama),
2. Tiga alam bagi
peraih Jhâna kedua (dutiya),
3. Tiga alam bagi
peraih Jhâna ketiga (tatiya),
4. Dua alam bagi
peraih Jhâna keempat(catuttha),
5. Dan lima
alam Suddhâvâsa.
Sang Buddha, dalam
rangka meluruskan pandangan kaum Brahmana, menginterpretasikan kembali
pengertian mengenai “Brahma-Yang-Agung” ini, dari yang semula dianggap
satu-dewa-tunggal “Yang-Maha-Kuasa” menjadi suatu kelompok dewa tinggi yang
berdiam di alam berbentuk ( Rupadhatu / Rupaloka ), jauh
diatas surga-surga alam sugati ( Kammadhatu ).
Kediaman Brahma ini
disebut sebagai “Alam-Brahma”, yang ada banyak dengan berbagai dimensi dan
tingkat kekuasaan. Didalam dunia mereka, para Brahma hidup secara berkelompok,
dan “Mahabrahma” adalah penguasa para Brahma tersebut, lengkap denga para
menteri dan dewan-dewan Brahma.
Seperti halnya semua
makhluk hidup, para Brahma itupun tidak kekal, terkena hukum alam, dan juga
bertumimbal lahir, meskipun terkadang diantara mereka melupakan hal ini dan
menganggap bahwa mereka adalah “Yang-Mutlak”, “Jalan-Keluar-dan-Harapan”.
Para Brahma, dengan
Maha Brahma sebagai pemimpinnya, memang memiliki kekuasaan yang besar.
Mahabrahma dapat menolong ummatnya yang datang kepadanya, berdoa kepadanya,
memohon ridlonya. Namun sesungguhnya, ia bukanlah “Sang-Pencipta”, bukanlah
“Yang-Maha-Kuasa”, “Yang-Mutlak”.
Yang membuat
Mahabrahma dan para Brahma beranggapan mereka adalah kekal-abadi,
“Sang-Pencipta”, “Awal-dan-Akhir”, adalah karena usia mereka yang sangat
panjang ( a. Brahma Parisajja / Dewan Brahma berusia 1/3 Asankheyya
Kappa ; b. Brahma Purohita / Para Menteri Brahma berusia ½ Asankheyya Kappa ;
dan, c). Maha Brahma berusia 1 Asankheyya Kappa. Ingat, 1 Asankeyya Kappa = 20
Antara Kappa, 1 Kappa adalah = 1 siklus daur-hidup alam-semesta ( dari big-bang
s/d kiamat, dan menuju awal evolusi alam semesta kembali ) )
Sang Buddha tidak
mengajarkan tiadanya “Yang-Mutlak”, karena justru Sang Buddhalah yang pertama
kali didunia manusia ini yang menyatakan hal sebagai berikut “
“
O Bhikkhu, ada sesuatu Yang-Tidak-Dilahirkan, Yang-Tidak-Menjelma,
Yang-Tidak-Tercipta, Yang-Mutlak. Jika seandainya saja, O, Bhikkhu, tidak ada
Yang-Tidak-Dilahirkan, Yang-Tidak-Menjelma, Yang-Tidak-Diciptakan, Yang-Mutlak,
maka tidak akan ada jalan keluar untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. … dst” ( Sutta-Pitaka, Udana VII
: 3 )
Akan tetapi, yang
ditolak dengan tegas oleh Sang-Buddha adalah, bahwa “Yang-Mutlak”, “Yang-Maha-Kuasa”,
“Jalan-Keluar-dan-Harapan”, itu adalah : T U H A N / M A H A – D E W A
, yang oleh ummat Brahmanisme dikenal dengan nama Maha-Brahma. Sebab,
para Brahma itu sendiri “berbentuk”, “tercipta”, oleh karenanya, bukan
“Yang-Mutlak”. Yang disebut “Yang-Mutlak” ini dalam agama Buddha adalah tidak
bisa dikatakan. Sejalan dengan pengertian Tao, “ TAO yang dapat
dibicarakan bukanlah TAO yang sebenarnya atau yang abadi dan nama yang dapat
diberikan bukanlah nama sejati “ ( Tao Tee Cing ). Dalam
ajaran Kejawen, “Yang-Mutlak” ini adalah “ Tan-Kena-Kinaya-Ngapa”,
“Ora-Arah-Ora-Enggon”,
“Kang-Langgeng-Tan-Owah-Gingsir-TANPA-KAWITAN-TANPA-WEKASAN”. Jadi, kalau masih
bisa “Kinaya-Ngapa” / “Di-Seperti-Apakan” , bisa ditunjukan
“Arah-dan-Tempat”-nya, “Wujud”-nya, maka itu bukanlah “Yang-Mutlak”.
Pernyataan Sang
Buddha mengenai kesalah-pahaman Maha-Brahma dalam mengidentifikasikan dirinya
sebagai “Maha-Pencipta” , “Bapa-Semua-Makhluk”, bisa kita temui dalam Brahmajala-Sutta,
yang bunyinya sebagai berikut :
“
Para Bhikkhu, pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa
yang lama sekali, “bumi ini belum ada”. Ketika itu umumnya makhluk-makhluk
hidup di alam dewa Abhassara, disitu mereka hidup ditunjang oleh kekuatan
pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di
angkasa, hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama
sekali.
Demikianlah
pada suatu waktu yang lampau, ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali,
bumi ini mulai berevolusi dalam proses pembentukan, ketika hal ini terjadi alam
Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang
masa hidupnya atau “pahala karma baiknya” untuk hidup di alam itu telah habis,
ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma.
Disini, ia hidp ditunjang pula oleh keuatan pikirannya, diliputi kegiuran,
dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup
diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Karena
terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam dirinya muncullah rasa
ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, “O semoga ada makhluk lain yang
datang dan hidup bersama aku disini!”
Pada
saat itu ada makhluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala karma
baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di
alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.
Para
Bhikkhu, berdasarkan itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam Brahma
berpendapat : “Aku Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu,
Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi
Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan, BAPA DARI YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA.
SEMUA MAKHLUK INI ADALAH CIPTAANKU.”
Mengapa
demikian ? Baru saja berpikir, semoga mereka datang, dan berdasarkan pada
keinginanku itu maka makhluk-makhluk ini muncul.”
Makhluk-makhluk
itu pun berpikir, “ Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu,
Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi
Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan, BAPA DARI YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA.
KITA SEMUA ADALAH CIPTAANNYA”.
Mengapa
? Sebab, setahu kita, Dialah yang lebih dahulu berada disini, sedangkan kita
muncul sesudah-Nya. “
Para
Bhikkhu, dalam hal ini makhluk pertama yang berada disitu memiliki usia yang
lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang
sesudahnya.
Para
Bhikkhu, selanjutnya ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan
terlahir kembali di bumi.
Setelah
berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi petapa.
Karena hidup sebagai petapa, maka dengan bersemangat, tekad waspada dan
kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan
memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau,
tetapi tidak lebih dari itu. Mereka berkata, “ Dia Brahma, Maha Brahma, Maha
Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta,
Maha Tinggi, Penentu Tempat Bagi Semua Makhluk, Asal Mula Kehidupan, BAPA DARI
YANG TELAH ADA DAN YANG AKAN ADA. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal
selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang kesini adalah tidak kekal,
berubah dan memiliki usia yang terbatas”.
Namun, para Brahma
dan Maha-Brahma ini ,akhirnya, setelah mendapatkan penjelasan / pengajaran dari
Sang Buddha, barulah ia memahami bahwa ia bukanlah “Awal-dan-Tujuan-Semua-Makhluk”,
bukan “Sangkan-Paraning-Dumadi”. Penjelasan terperinci mengenai hal ini bisa
dibaca di Samyutta-Nikaya.
Rupadhatu / Rupaloka
ini adalah alam dimana makhluk-makhluk merasa senang karena kebahagiaan Jhana (
Kegembiraan Luar Biasa ), yang dicapai dengan melepaskan nafsu keinginan
indria. Jika seseorang ingin terlahir dalam “Rupadhatu” atau “Rupabrahma”, maka
ia harus melepaskan keduniawian, mengikis nafsu indria, dan kemudian hidup
bertapa untuk mencapai “Jhana” :
1. Petapa yang
berhasil mencapai Jhana I dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (
ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana I ), maka ia
akan terlahir di alam Brahma tingkat 1, 2, dan 3.
2. Petapa yang
berhasil mencapai Jhana II dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (
ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana II ), maka
ia akan terlahir di alam Brahma tingkat 4, 5, dan 6.
3. Petapa yang
berhasil mencapai Jhana III dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (
ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana III ), maka
ia akan terlahir di alam Brahma tingkat 7, 8, dan 9.
4. Petapa yang
berhasil mencapai Jhana IV dan jika ia pertahankan hingga saat kematiannya (
ketika detik-detik meninggal ia tetap teguh dalam samadhi di Jhana IV ), maka
ia akan terlahir di alam Brahma tingkat 10, 11, dan 12 ( dimana alam
Brahma ke-12 ini, dibagi lagi menjadi 5 alam , baca kembali “Rupadhatu” ).
Untuk alam Brahma
ke-12, Suddhavasa ( beserta kelima alam turunannya ), yaitu
“ Tempat Kediaman Sejati “, adalah alam khusus para Anagami (
Yang Tak Pernah Kembali, baca kembali “Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Buddhisme
“ ), makhluk biasa tidak dilahirkan dalam keadaan ini. Sehingga, untuk
bisa terlahir dialam ini harus mencapai Jhana keempat dan telah mendapat
“magga” sampai anagami. Untuk mencapai Anagami, seseorang harus melenyapkan
kelima belenggu sebagai berikut ini :
1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi,
jiwa, atau “AKU” yang kekal ( sakkaya-ditthi ).
2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha,
Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan
datang, juga keraguan kepada hukum sebab-akibat ( vicikiccha ).
3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan
bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang
dapat mencapai kebebasan( silabbata-paramasa ).
4. Nafsu indriya ( kama-raga ).
5. Dendam dan
dengki ( vyapada ).
CIRI-CIRI
PARA “BRAHMA”
Para Brahma hidup
di alam Rupadhatu. Yang membedakan dengan alam surga
dilingkup-keindriaan / Kamadhatu adalah, bahwa dialam
Rupadhatu bentuk-bentuk materi yang kasar telah lenyap, yang ada adalah
bentuk-bentuk materi yang lebih halus, jauh lebih halus daripada dewa apapun
yang terdapat di Kamadhatu.
Penghuni Rupadhatu
juga merupakan dewa, hanya, untuk membedakan dengan para dewa Kamadhatu, mereka
disebut : Brahma. Waktu hidup / umur para Brahma jauh lebih lama
dibanding para dewa Kamadhatu. Di ala mini, nafsu-nafsu indria sudah mereda,
termasuk nafsu sexual.
Di alam Rupadhatu ini
sudah mulai tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. Brahma, yang meskipun
disebut sebagai “BAPA” Alam-Semesta, “BAPA” dari
semua makhluk, tidaklah tepat jika dinyatakan berjenis kelamin laki-laki,
karena dialam Brahma ini, sudah tidak terdapat laki-laki maupun perempuan. Ini
sekaligus untuk menjawab kebingungan para ummat samawi, “Apakah jenis
kelamin Bapa kita di surga ? Apakah Bapa seorang laki-laki, atau perempuan ? “ Jawabannya, “Bukan
Laki-laki , bukan pula perempuan “. Sesungguhnya, jauh sebelum Kristus
lahir, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir, bahkan jauh sebelum Sang Buddha lahir,
orang-orang India kuno telah mengenal “Bapa-Yang-Kekal-Abadi” yang
berdiam dalam “Kerajaan-Surga”, yaitu di alam “Brahma” tersebut.
Brahma inilah “Bapa” yang dikenal oleh ummat manusia hingga
sekarang ini.
Mengapa ummat manusia
bisa salah paham sehingga menyebut ada “Bapa” dari segenap
alam semesta ini ? Karena Brahma mempunyai usia yang panjang,
dimana Maha Brahma tersebut berusia 1 Asankheyya Kappa,
dimana 1 A.K tersebut = 20 Antara Kappa, dan
1 Kappa adalah satu siklus dunia, , dan usia Maha
Brahma adalah sama dengan 20 kali siklus dunia. Beberapa sarjana
menyatakan 1 Asankheyya Kappa ini jika ditulis dalam Aljabar maka sama dengan
angka satu ( 1 ) diikuti 140 angka “nol” ( 0 ), atau 10 pangkat 14 (
Coba dituliskan sendiri, hehehehe… ). Jadi 1 A.K. adalah
sepanjang 10 pangkat 14 tahun, jauh diatas hitungan
“jutaan-trilyun” tahun.
Kemudian, seperti
apakah Brahma ini ? Brahma memiliki tubuh
yang sangat halus, tidak semua orang bisa bertemu Brahma, bisa
meninjau alam Brahma. Bila dilihat dengan mata batin / mata daging
seseorang yang sudah melatih Sila, Samadhi, Panna dan telah
mencapai tataran Jhana-Jhana dalam Samadhi,maka Brahma ini
bertubuh transparan, sangat transparan, diliputi cahaya putih, terang,
gemerlapan dan sinarnya mampu menerangi bahkan satu desa, satu kota, sangat
terang dan menyilaukan ! . Itulah makanya tidak semua orang, tidak semua
spiritualis bisa bertemu yang dikenal dengan “Bapa-Di-Sorga” ini.
Jika anda ingin mencapai alam Brahma, dan melihat para Brahma, maka
anda harus mensucikan diri, melepaskan nafsu keduniawian, dan senantiasa
bersamadhi hingga berhasil mencapai Jhana, jika tidak, maka adalah dusta jika
seseorang menyatakan mampu melihat Brahma. Brahma ini berbeda
dengan para Dewa dari Kamadhatu, berbeda
dengan Kanjeng Ratu Kidul, berbeda dengan Kwan-Kong,
dan lain-lain Dewa Kamadhatu.
Alam Rupaloka /
Rupadhatu / Rupabhumi ini terdiri dari enam belas ( 16 ) alam menurut Jhana
atau Kegembiraan Luar Biasa yang terlatih. Mereka adalah :
1. Tiga alam bagi
peraih Jhâna pertama (pathama jhana bhumi),
2. Tiga alam bagi
peraih Jhâna kedua (dutiya jhana bhumi),
3. Tiga alam bagi
peraih Jhâna ketiga (tatiya jhana bhumi),
4. Dua alam bagi
peraih Jhâna keempat (catuttha jhana bhumi),
5. Dan lima
alam Suddhâvâsa.
a).
Alam Jhana Pertama ( Pathama Jhana Bhumi );
1. Pârisajjâ:
alam kehidupan bagi Brahma pengikut ( dewan-dewan Brahma ) , yang tidak
memiliki kekuasaan khusus, usia mereka sepanjang 1/3 Asankkheyya Kappa.
2. Purohitâ:
alam kehidupan bagi brahma penasihat ( para menteri Brahma ), yang berkedudukan
tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan, usia mereka mencapai ½
Asankkheyya Kappa.
3. Mahâbrahmâ:
alam kehidupan bagi Brahma yang memiliki kebajikan khusus yang besar. Usia
mereka mencapai 1 Asankkheyya Kappa.
Yang tertinggi dari
tiga pertama ini adalah : Maha Brahma. Maha Brahma ini memiliki
muka empat, oleh karenannya masyarakat Tionghoa menyebutnya “Se Mien Fuo”, atau
Buddha berwajah Empat, meskipun sesungguhnya Maha Brahma bukanlah seorang
Buddha.
Disebut “Maha-Brahma:
karena penghuni Alam Maha-Brahma ini melebihi yang lain dalam kebahagiaan,
keindahan, dan batas usia karena kebaikan hakiki dari perkembangan batin
mereka.
b).Alam
Jhana Kedua ( Dutiya Jhana Bhumi );
4. Parittâbhâ:
alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya lebih sedikit / kurang bercahaya
daripada brahma yang berada di atasnya. Usia mereka mencapai 2 A.K.
5. Appamânabhâ:
alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya cemerlang nirbatas ( tanpa batas ).
Usia mereka mencapai 4 A.K.
6. Âbhassarâ:
alam kehidupan bagi Brahma yang bersinar / bercahaya menyebar luas dari
tubuhnya. Usia mereka mencapai 8 Maha Kappa.
c).Alam
Jhana Ketiga ( Tatiya Jhana Bhumi ) ;
7. Parittasubhâ:
alam kehidupan bagi Brahma yang bercahaya indah tapi lebih sedikit daripada
brahma yang berada di atasnya. Usia mereka mencapai 16 Maha Kappa.
8. Appamânasubhâ: alam
kehidupan bagi Brahma yang bercahaya indah nirbatas ( tanpa batas ). Usia
mereka mencapai 32 Maha Kappa.
9. Subhakinhâ: alam
kehidupan bagi Brahma yang bercahaya indah di sekujur tubuhnya, dengan cahaya
yang tetap cemerlang tanpa sedetikpun surut. Usia mereka mencapai 64 Maha
Kappa.
d).Alam
Jhana keempat ( Catuttha Jhana Bhumi ) ;
10).Vehapphala –
Alam para Brahma dengan pahala yang besar / sempurna, terbebas dari segala
bahaya. Usia makhluk di alam ini mencapai 500 Maha Kappa.
11).Asannasatta –
Alam para makhluk tanpa pikiran. Dalam alam ini sama sekali tidak ada unsur
batiniah. Kelahiran di alam ini terjadi karena pengembangan perenungan yang
memuncak terhadap unsur batiniah yang menjijikkan sehingga makhluk ini tak
menginginkannya lagi (saññâvirâgabhâvanâ). Usia makhluk di alam sama
dengan alam Vehapphala, yakni mencapai 500 Maha Kappa. Dialam Asannasatta ini
makhluk-makhluk dilahirkan tanpa suatu kesadaran.Disini hanya terjadi perubahan
jasmaniah secara terus menerus. Pikiran untuk sementara dihentikan ketika
kekuatan Jhana berlangsung. Dengan kekuatan meditasi sangat mungkin untuk
memisahkan jasmani dan pikiran seperti dalam alam ini. Karena tidak dilengkapi
dengan unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk
mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara jasmaniah
hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya.
12).Suddhavasa –
secara harafiah artinya, Tempat Kediaman Sejati. Suddhâvâsabhûmi adalah
suatu alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga),
keserakahan, kebencian, ikatan terhadap upacara-upacara keagamaan, dan lain
sebagainya, yaitu para Anâgâmî ( Yang Tak Pernah Kembali ) yang
berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk-makhluk lain yang belum
mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima,
tidak akan terlahirkan di alam ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih
kesucian tingkat Arahatta. Para Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam
ini sebab makhluk-makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan
kembali di alam-alam lain yang lebih rendah dari ala mini ( alam Jhana V
sub-bagian dari alam Rupaloka ) . Kadangkala, ketika tidak ada Buddha yang
muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong tanpa penghuni.
Alam ini lebih lanjut
dibagi menjadi lima, yaitu :
i.Aviha –
Alam yang dapat bertahan lama.
Para Brahma di alam
ini tidak meninggalkan tempat tinggalnya hingga usia hidupnya habis. Para
Anagami yang berkemampuan menonjol dalam bidang keyakinan ( saddhindriya ) akan
terlahir disini. Usia para Brahma di alam ini mencapai 1.000 Maha Kappa.
ii.Atappa –
Alam yang tenteram
Para Brahma di alam
ini senantiasa hidup dalam ketentraman / ketenangan yang menyejukkan. Para
Anagami yang berkemampuan menonjol dalam bidang semangat ( viriyindriya ) akan
terlahir di alam ini. Usia para Brahma di alam ini mencapai 2.000 Maha Kappa.
iii.Sudassa –
Alam yang indah
Para Brahma di alam
ini memiliki tubuh indah yang sangat menawan hati. Para Anagami yang memiliki
“Perhatian Penuh” / “Penyadaran Jeli” ( Satindriya ) akan terlahir di alam ini.
Usia para Brahma di alam ini mencapai 4.000 Maha Kappa.
iv.Sudassi –
Alam dengan penglihatan tajam
Jika para Brahma di
alam Sudassa mempunyai “Perhatian Penuh” / “Penyadaran Jeli”, maka para Brahma
di alam Sudassi mempunyai perhatian / penglihatan yang jauh lebih tajam bila
dibandingkan dengan para Brahma dialam Sudassi. Para Anagami yang memiliki “Pemusatan
Perhatian Sempurna” ( Samadhindriya ) akan terlahir di alam ini. Usia para
Brahma di alam ini mencapai 8.000 Maha Kappa.
v.Akanittha –
Alam yang Tertinggi.
Para Brahma disini
dilengkapi dengan harta surgawi dan kebahagiaan yang tak tertandingi oleh makhluk
di alam manapun juga yang berada dibawahnya. Para Anagami yang penuh
“Kebijaksanaan” ( Pannindriya ) akan terlahir di alam ini. Usia para Brahma di
alam ini mencapai 16.000 Maha Kappa.
Hanya mereka yang
telah melatih Jhana atau Kegembiraan yang Luar Biasa (
Baca Lagi topik “Samadhi-Benar” / “Samma-Samadhi” ) yang dapat
terlahir di Alam-alam yang lebih tinggi ini. Mereka yang telah
mengembangkan Jhana pertama dilahirkan di alam Jhana pertama,
yang kedua dan ketiga di alam Jhanakedua, yang keempat dan kelima
dialam Jhana ketiga dan alam Jhana keempat.
III.
ARUPALOKA / ARUPADHATU ( Alam Brahma Tak Berbentuk )
Adalah alam yang sama
sekali tanpa jasmani. Baik dialam Rupaloka maupun Arupaloka tidaklah
terdapat perbedaan jenis kelamin. Para makhluk di alam ini hanya terdiri dari
batin semata, tanpa suatu landasan materi, karenanya bentuk jasmani / fisik di
alam ini sepenuhnya telah lenyap. Banyak yang salah paham, menganggap ini
adalah alam Para Buddha. Pandangan ini keliru, karena Arupadhatu ini bukanlah Nirvana,
bukan “Yang-Kekal” / “Yang-Mutlak”. Arupadhatu / Arupabhumi adalah suatu alam
tempat kelahiran batiniah para Brahma nirbentuk ( tanpa bentuk / rupa ).
Meskipun disebut sebagai suatu alam ‘alam’ yang mengacu pada tempat atau
bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsure jasmaniah sehalus apa
pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini terpaksa dipakai untuk dapat mengacu
pada kemunculan serta keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di
alam brahma nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak
terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya (rûpavirâgabhâvanâ).
Arupaloka dibagi
menjadi empat ( 4 ) alam menurut empat ( 4 ) Arupa Jhana, mereka
adalah :
1.Akasanancayatana – Alam
ruang yang tak terbatas.
Para makhluk di alam
ini berdiam di dalam alam yang tidak berbatas, tidak ada sekat-sekat materi
yang bisa dibayangkan seperti apapun juga, luas, sangat luas, tanpa batas.
Makhluk yang terlahir disini adalah para makhluk suci yang telah berhasil
meraih samadhi tingkat pathama-arupahhana yang berobjek pada angkasa yang
nirbatas. Usia para makhluk disini mencapai 20.000 Maha Kappa.
2.Vinnanancayatana – Alam
kesadaran yang tak terbatas.
Para makhluk di alam
ini berdiam dalam kesadaran / batin yang tidak terbatas, menembus segala bentuk
batasan ruang dan waktu.Yang terlahir disini adalah para makhluk suci yang
berhasil meraih samadhi tingkat dutiya-arupajhana yang berobjek pada kesadaran
nirbatas. Usia para makhluk disini mencapai 40.000 Maha Kappa.
3.Akincannayatana – Alam
Kekosongan.
Disini para makhluk
berdiam dalam “kekosongan” akan semua hal. Tidak ada “Aku”, tidak ada “Kamu”,
jauh lebih halus daripada dua alam Arupadhatu dibawahnya. Makhluk yang terlahir
disini adalah makhluk suci yang berhasil meraih samadhi tingkat
tatiya-arupajhana yang berobjek pada kehampaan / kekosongan. Usia para makhluk
dialam ini mencapai 60.000 Maha Kappa.
4.N’eva Sanna
Nasannayatana – Alam Tiada Pemahaman maupun Tiadanya Tiada
Pemahaman.
Para makhluk di alam
ini berdiam dalam batin yang “padam”, tiada pikiran, batin yang tidak bergerak
sama sekali. Yang terlahir disini adalah makhluk suci yang berhasil meraih
samadhi tingkat catuttha-arupajhana yang berobjek pada
“bukan-ingatan-bukan-pula-tanpa-ingatan”. Usia makhluk di alam ini
mencapai 84.000 Maha Kappa.
Demikianlah, ke-31
Alam Kehidupan yang terangkum dalam : 1. Kamadhatu, 2. Rupadhatu,
dan, 3. Arupadhatu, telah selesai kita bahas.
DIMANAKAH
“YANG-MUTLAK, YANG-TIDAK-TERCIPTA” ; “KANG-LANGGENG-TANPA-WANGENAN-TANPA-WEKASAN”
BERADA ?
Pertanyaannya, “
Dimanakah letak “Yang-Mutlak, Yang-Tidak-Tercipta, Yang-Tidak-Terbentuk,
Yang-Tidak-Terlahir”, “Jalan-Keluar” dari roda samsara itu berada ?” Jawabannya, “
Tidak di ke-31 Alam Kehidupan itu.”
Pada dahulu kala,
para Brahmana, dan hingga kini pun ummat manusia umumnya,
mengenal “Sangkan-Paraning-Dumadi” adalah sebagai “Brahma”, yaitu“Sang-Pencipta” , “Bapa-Semua-Makhluk-dan-Alam-Semesta”.
Namun, pandangan keliru itu diluruskan oleh Sang Buddha. Karena meskipun para Brahmahidup
dalam usia yang sangat panjang, bahkan para Brahma diatas Maha
Brahma hidup hingga 16.000 Maha Kappa ( 1 Maha Kappa = 4
Asankheyya Kappa, 1 A.K = 20 Antara Kappa ( 1 pangkat 14 tahun ( angka 1
diikuti 140 angka nol ) , 1 Kappa = 1 “world-cycle”, 1 siklus hidup alam
semesta ), namun mereka tetaplah : TIDAK-KEKAL. Karena
merekapun kelak, ketika karma-karma baiknya yang menyebabkan mereka terlahir di
alam tersebut telah habis, mereka akan bertumimbal lahir ke alam-alam lain
diantara ke-31 alam kehidupan tersebut. Dan yang tidak-kekal, bukanlah “Yang-Mutlak”, karena “Yang-Mutlak”, adalah “Kekal-Abadi”.
Lalu, apakah “Yang-Mutlak” itu
adalah di Arupadhatu ? Juga tidak. Karena,
makhluk-makhluk Arupadhatu juga tidak-kekal, mereka kelak juga
akan bertumimbal lahir di antara salah satu dari ke-31 alam kehidupan tersebut.
Ilusi mengenai
kekekalan dan keabadian alam para Dewa dari alam Kamadhatu,
hingga Rupadhatu dan Arupadhatu adalah karena
usia mereka yang sangat panjang, terutama mulai Para Brahma dari Rupadhatu
hingga Arupadhatu yang bisa melampaui jutaan-tilyun bahkan maha jutaan-trilyun
tahun, sedangkan manusia paling lama hanya hidup dalam masa 100 tahun (
Untuk saat ini, akan tetapi, dalam suatu masa dimana moralitas terjaga dengan
sangat baik, manusia mampu hidup hingga delapan puluh ribu ( 80.000 ) tahun ) .
Karena manusia membandingkan usia mereka yang pendek dengan usia para Dewaapalagi
jika dibandingkan dengan para Brahma dari Rupadhatu
hingga Arupadhatu, maka manusia keliru menyimpulkan :
“
hidup dialam manusia tidak-kekal , “mung-mampir-ngombe”, tetapi
hidup di surga adalah kekal, “Sungguh berbahagia bila kita bisa berada diatas
pangkuan BAPA !” .
Sebegitu gelapnya
pandangan manusia. Hingga suatu masa lahirlah seorang Samma-Sambuddha, yang
mampu menembus semua hakekat, mampu menembus Kebenaran-Sejati, dan menyatakan,
bahwa “Yang-Mutlak”, bukanlah di ke-31 alam kehidupan
itu. “Yang-Mutlak” ini, tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata, karena saat semua fenomena telah lenyap, maka tidak ada satu
katapun yang dapat mengungkapkannya. Itu adalah :NIRVANA ( Pali
: Nibbana ).
Sehingga, masihkah
ada yang percaya diri telah mengenal “Yang-Mutlak” ? Karena,
paling jauh umumnya manusia hanya mengenal “Tuhan” , dari alam Kamadhatu
hingga “Brahma” di alam Rupadhatu, yang kemudian
dikenal dengan “Bapa-Segenap-Alam-Semesta”. Apapun
sebutannya ( karena bervariasi, sesuai latar belakang budaya dan agama
masing-masing ), tapi apa yang mereka pahami baru sebatas itu.
Karena, “Yang-Mutlak” ini bukanlah“makhluk”, sedangkan
yang umumnya dikenal oleh para spiritualis adalah makhluk, yang meskipun mereka
tidak mampu menggambarkannya, tapi tetap merupakan sesosok makhluk, yang bisa
berbicara, yang bisa memberi wangsit, yang bisa memberi perintah, yang bisa
memberi larangan, yang bisa memberi hadiah, yang bisa memberi hukuman. “Yang-Mutlak” adalah “Tidak-Berbentuk”, “Tidak-Tercipta”, dan
yang sedemikian ini “Tidak-Bicara”, “Tidak-Marah”, “Tidak-Memberi”,
“Tidak-Menghukum”.
Inilah
jati-sejati-jatinya “Tan-Kena-Kinaya-Ngapa”,
“Kang-Langgeng-Tanpa-Kawitan-Tanpa-Wekasan”. Jauh melampaui Dewa, jauh
melampauiBrahma, jauh melampaui sosok “makhluk” yang
tidak kelihatan yang seperti apapun yang bisa diimajinasikan oleh manusia, yang
disebut “Tuhan”. Yang-Mutlak , Yang-Tak-Tercipta tersebut “Tak-Berbicara”,
“Tak-Berbuat”, “Tak-Berbentuk”, “Tak-Memberi”, “Tak-Menghukum”, ia adalah :
“ANATTA”, tanpa “AKU”, bukan “AKU”, bukan pula “AKU adalah AKU”. Karena “AKU”
dan “AKU adalah AKU” masih bisa bicara, dan yang bicara adalah “Berbentuk”.
“Berbentuk” bukanlah “Yang-Mutlak”, dan yang “Tak
Mutlak” itu tak kekal.
Disadur dari: http://dhammatalk777.blogspot.co.id
Namo Buddhaya Pak, saya mau bertanya. Tentang makhluk asannasatta, kan tidak memiliki batin (nama) dan hanya memiliki jasmani (rupa). Nah, bila jasmani dari makhluk asannasatta tersebut mengalami kemusnahan total (annihilation) sebelum kekuatan jhananya habis, apakah makhluk tersebut akan musnah (tidak ada lagi kehidupan selanjutnya bagi makhluk tersebut)? Atau makhluk tersebut masih bisa mengalami kelahiran kembali seperti biasanya?? Mengingat makhluk tersebut tidak memiliki batin (nama), namun masih memiliki buah karma di kehidupan lampaunya dan belum mencapai kesucian.
ReplyDeleteDemikian pertanyaan saya. Saya mohon ya pak kalau bisa dijawab, dan mohon maaf pak bila pertanyaan saya dianggap membingungkan...
Namo Buddhaya Yogie Ananda...
Deletedi alam asannasatta ini Pikiran untuk sementara dihentikan ketika akibat dari kekuatan Jhana dikehidupan sebelumnya sedang berlangsung. kekuatan meditasa pada pencapaian jhana sangat mungkin untuk memisahkan jasmani dan pikiran seperti dalam alam ini. Karena tidak dilengkapi dengan unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara jasmaniah hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya.
Disisi lain, kita bisa melihat bebrapa kasus cerita di sutta khususnya Digha Nikaya, seperti kisah tentang Brhamma Baka yang karena menganggap dirinya kekal lalu berpandangan salah tentang konsep kekekalan. Atau bisa juga kita memahami corak yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di Tiga Puluh Satu Alam ini bercorakan Anicca, Dukkha dan Anatta.
Tentu jika masih belum bisa memutuskan lingkaran samsara dilingkup tersebut maka masih akan berjalan lingkaran kelahiran kembali, dan karena masih berjalan kelahiran maka kematian akan mengikutinya, meskipun dikatakan dialam asannasatta ini usia makhluk bisa mencapai 500 Maha Kappa.
Semoga bisa dipahami.. mohon maklum kami juga masih dalam tahap belajar.
This comment has been removed by the author.
DeleteIya, tapi maksud yang saya tanyakan adalah tentang pemusnahan suatu makhluk, bukan pandangan salah tentang kekalnya suatu jiwa seperti yang dianut oleh Brahma Baka sebelumnya. Berarti bila musnahnya suatu jasmani dari makhluk asannasatta tersebut, apakah ia masih dapat terlahir di alam lain? Bukannya musnah total seperti apa yang saya pikirkan dan saya khawatirkan? Ya mirip2 seperti pandangan nihilisme seperti yang dianut para beberapa atheis dan komunisme-stalinisme mas. Mohon pencerahannya mas Edi...
ReplyDeleteKalau pencerahan mungkin tidak akan didapatkan dari penjelasan saya ini.. :) tapi mari kita sama-sama kupas. mudah-mudahan dengan cara belajar bersama kita bisa sama-sama memahami apa yang sedang dipertanyakan.
ReplyDeleteSaya juga timbul pertanyaan demikian, pada awalnya karena di alam tersebut "dikatakan" tidak memiliki "batin", hanya materi saya lantas berpikir terus yang akan menghantarkan/mengkondisikan ke keahiran berikutnya apa? namun ketika ada penjelasan tentang: alam Brahma ini hanya suatu kondisi kelahiran dimana mahkluk hanya menikmati hasil dari kamma sebelumnya karena makhluk2 disni telah melakukan garukakamma berupa mencapai Jhana. karena makhluk2 jenis ini hanya menikmati hasil, bisa dismpulkan para Brhama ini hanya "terperangkap" pada kondisi "hasil". setelah kondisi hasil itu berlangsung dan mengakhiri prosesnya maka mahkluk ini akan terlahir kembali sesuai dengan kammanya. Hal ini bisa dianalogikan ketika seseorang mencapai kondisi jhana maka ia akan berada dalam kondisi jhana, namun setelah ia keluar dari kondisi jhana, ia akan hidup seperti sediakala... nah pertanyaan saya itu kalau ditelusuri sebenarnya juga ada unsur pandangan "kekekalan", karena anggapan saya tentang suatu kondisi/batin/proses kamma yang melanjutkan ke kehidupan selanjutnya, dan bisa timbul pemahaman yang keliru bahwa kamma itu jga sifatnya kekal.. lalu nanti pasti akan timbul pertanyaan proses kamma yang seperti apa? inilah mungkin jawaban bahwa sang Buddha pernah menjelaskan bahwa hukum kamma bersifat acinteya atau tidak mampu dipikirakan oleh pemikiran manusia "biasa".
sepertinya penjelasan saya tambah membingungkan ya mas yogie? hahaha
Ooo...berarti bila kekuatan jhananya habis, maka batin/kesadaran (nama) dari makhluk asannasatta tersebut secara otomatis akan muncul dan lenyap dari alam brahma tersebut. Dan kemudian terlahir kembali menjadi makhluk lain seperti sedia kala ya...??
ReplyDeletekalau di katakan kekuatan jhana saja mungkin juga kurang tepat ya.. bisa seperti faktor yg mengkondisikan dimasa lampau atau pacaya.. nah mungkin mas yogie bisa pelajari Abhidhamma kalau ingin mempelajari faktor2nya.. saya sendiri belum terpikir sampai sejauh itu..
DeleteJuga mau tanya mas Edi apakah alam asannasatta itu memiliki alam khusus atau menyatu dengan alam manusia dan alam brahma/surga lainnya??
ReplyDeletekalau kita telusuri menurut sutta yg ada di Tipitaka memang dicetitakan alam Brhamma ini alam yg khusus dihuni para makhluk Brahma. refrensi sutta yg bisa dibaca seperti yang banyak terdapat di Bagian Digha Nikaya, salah satunya Aganna Sutta. atau bisa juga kisah dari Brahma Baka... mengenai letak dan tempatnya dimana? ini mengundang kita untuk datang dan buktikan sendiri dengan cara masing2... terlebih jika kita bisa bermeditasi sampai tingkatan tertentu, atau mengakhri dukkha. sebeb teori yg kita bahas seperti ini hanya sebagai cara kita untuk membuktikan (Pariyatidhamma) secara tekstual.. celakanya di dalam Dhamma tidak bisa hanya Pariyati saja. namun ada Patipati dan Pativedha... :)
DeleteOk mas Edi atas penjelasannya... Mas Edi punya pembahasan lain selain 31 alam kehidupan??
Delete