Saturday, November 19, 2011

TEHKNOLOGI INFORMASI DAN AGAMA BUDDHA

Pemikir Buddhis memandang teknologi hanyalah suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Tujuan penerapan teknologi informasi dan komunikasi adalah untuk menyediakan keluwesan dan kesempatan memiliki diantara berbagai metode dan alat untuk melayani kebutuhan manusia berkomunikasi serta memudahkan memperoleh informasi tentang apa yang diinginkan  serta kapanpun memerlukannya.
Apabila pemenuhan tujuan seperti disebutkan di atas akan memberikan kebahagiaan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan hubungan antar manusia yang harmonis, maka Buddhisme mendukungnya, karena hal itu selaras dengan anjuran Sang Buddha kepada pemuda Sigala: “…semua sahabat mereka harus berbicara  sopan dan menyenangkan; harus bekerja untuk kejayaan bersama; bekerja satu sama lain dengan syarat yang sama; menghindarkan perselisihan; harus tolong menolong dalam keadaan darurat; dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan bagi yang lain.
Anjuran Sang Buddha di atas menyiratkan agar dalam berusaha kita tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam hal ini berarti Buddhisme menolak praktek-praktek penyalahgunaan informasi untuk kepentingan pribadi yang merugikan pihak lain, seperti monopoli informasi, pembajakan karya cipta dan penyebarluasan informasi pribadi (tindak pelanggaran privasi) yang merugikan/merusak nama baik orang lain, serta kegiatan komersial yang memproduksi, menyediakan dan mendistribusikan informasi tanpa memperhatikan dampak negatif bagi masyarakat, seperti tercermin dari penuhnya media massa baik cetak maupun elektronik dengan pemberitaan dan penyiaran tentang skandal, gaya hidup modern yang boros, hedonisme, kriminalitas, kekerasan dan eksploitasi pornografi.
Padahal produk-produk informasi yang disebut terakhir di atas akan menimbulkan masalah/penyakit sosial yang baru. Kita ketahui  program penyiaran baik berupa hiburan maupun informasi di atas tidak semuanya pantas disaksikan oleh setiap lapisan usia. Akan tetapi kenyataannya anak-anak/adik-adik kita yang masih dibawah umur, masih lugu, yang semestinya perlu lebih banyak belajar, bermain dengan teman sebaya, belajar bersosialisasi dan beraktivitas yang sepantasnya untuk usia mereka, telah menjadi penikmat tayangan-tayangan “sampah” yang tidak bermanfaat dan merusak mental/moral mereka, dan menjadikan mereka kurang peka/pasif terhadap lingkungan di sekitarnya, karena waktu mereka habis di depan layar televisi. Apabila kenyataan ini dibiarkan maka setelah masa kita, kelak akan terbentuk satu generasi yang rusak, yang hanya tahu bersenang-senang tanpa menghiraukan nilai-nilai moralitas, sehingga akan semakin banyak muncul tindakan yang melanggar norma-norma susila dan meningkatnya kriminalitas.
Contoh lain yang saat ini sedang menjadi suatu tren adalah pengunaan teknologi internet, dimana kita dapat memperoleh segala informasi hampir tiada batas, yang positif dan bermanfaat sangat banyak, tetapi untuk terjerumus pada informasi yang  menyesatkan dan merusak juga luar biasa. Bahaya lain dari penggunaan teknologi ini adalah “kecanduan internet”. Baru-baru ini hasil penelitian yang dilakukan di Amerika memperkirakan 6% dari penjelajah dunia maya internet (internet surfer) yang melakukan online sebanyak ukuran standard dapat digolongkan sebagai pecandu internet (Internet Addiction Disorder), dimana penderita ini tidak ubahnya penderita kecanduan obat-obatan dan alkohol, sehingga untuk menyembuhkannya memerlukan bantuan seorang ahli terapi kejiwaan (Rio Lacatompesy, Chip, 2000: 108-110). Mungkin akan lebih banyak lagi efek negatif dari penerapan teknologi ini seiring bertambahnya inovasi-inovasi yang akan muncul kelak, yang belum terbayangkan saat ini.
Agar tidak lebih jauh lagi kita terjerumus dalam kesalahterapan teknologi ini kita dapat menerapkan prinsip “empat dasar tindakan” (apassena) dalam Digha Nikaya 33, III: 24, yaitu:
1.     Sebagai kebiasaan, mempertimbangkan ini dengan penuh kearifan karena teknologi ini tidak dapat dibeli. Berarti tidak ada jalan pintas yang dapat ditempuh dalam hal ini, untuk menjadikannya dimiliki, pertama-tama harus dikuasai (mastered), diproduksi secara lokal dan kemudian sepenuhnya diintegrasikan dengan lingkungan sosial budaya (diselaraskan dengan nilai-nilai luhur budaya ketimuran dan nilai-nilai agama). Bertahan dengan sabar dan penuh pengertian agar tidak terseret umpan keadaan, berarti kita bisa membuat pilihan, menggunakan teknologi ini untuk mendorong kemajuan bidang pendidikan; dengan metode mengajar menggunakan program komputer dapat lebih bersifat demokratis dan responsif kepada individu, kepada kebutuhan dan gaya belajar siswa; kita dapat menciptakan sistem-sistem baru yang dapat menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat; dan lebih jauh lagi menentukan strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan dengan memperhitungkan model-model pembangunan yang diinginkan dan menjamin relevansi sosial sekaligus koherensi kulturalnya.
2.     Melakukan penghindaran, ketika nafsu indria mendatangkan kegelisahan
3.     menindas (menekan dan berusaha melenyapkan) munculnya pikiran yang menyesatkan, berarti yang lebih utama adalah kita dapat menciptakan suatu filter (penyaring) dan benteng pada diri kita masing-masing, berupa suatu daya upaya meningkatkan keyakinan (Saddha) dan pemahaman kita tentang keluhuran Dhamma yang akan menuntun kita pada kehidupan yang bahagia, terbebas dari belenggu penderitaan. Karena sesungguhnya kebahagiaan (duniawi) apapun yang dapat kita peroleh dengan berbagai sarana teknologi adalah bersifat sementara (yang apabila kita tidak memahaminya akan menyeret kita pada pemuasan nafsu (tanha) yang hanya menimbulkan penderitaan pada akhirnya.
Sebagai penganut Buddhisme khususnya kita harus senantiasa melatih pengembangan batin dan moralitas disamping terus membina dan menguasai ilmu pengetahuan, sehingga kebijaksanaan akan tumbuh dalam batin kita, dan menjadikan kita tahu, benar-benar tahu, tindakan apa yang sepantasnya kita lakukan dan apa yang tidak pantas kita lakukan.

Sumber :

No comments:

Post a Comment