Pemikir Buddhis memandang teknologi hanyalah suatu alat untuk mencapai
suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Tujuan penerapan teknologi informasi
dan komunikasi adalah untuk menyediakan keluwesan dan kesempatan memiliki
diantara berbagai metode dan alat untuk melayani kebutuhan manusia
berkomunikasi serta memudahkan memperoleh informasi tentang apa yang
diinginkan serta kapanpun memerlukannya.
Apabila pemenuhan tujuan seperti disebutkan di atas akan memberikan
kebahagiaan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan hubungan antar manusia
yang harmonis, maka Buddhisme mendukungnya, karena hal itu selaras dengan
anjuran Sang Buddha kepada pemuda Sigala: “…semua sahabat mereka harus
berbicara sopan dan menyenangkan; harus bekerja untuk kejayaan bersama;
bekerja satu sama lain dengan syarat yang sama; menghindarkan perselisihan;
harus tolong menolong dalam keadaan darurat; dan tidak melakukan sesuatu yang
dapat menimbulkan kesulitan bagi yang lain.
Anjuran Sang Buddha di atas menyiratkan agar dalam berusaha kita tidak
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam hal ini berarti Buddhisme menolak
praktek-praktek penyalahgunaan informasi untuk kepentingan pribadi yang
merugikan pihak lain, seperti monopoli informasi, pembajakan karya cipta dan
penyebarluasan informasi pribadi (tindak pelanggaran privasi) yang
merugikan/merusak nama baik orang lain, serta kegiatan komersial yang
memproduksi, menyediakan dan mendistribusikan informasi tanpa memperhatikan
dampak negatif bagi masyarakat, seperti tercermin dari penuhnya media massa
baik cetak maupun elektronik dengan pemberitaan dan penyiaran tentang skandal,
gaya hidup modern yang boros, hedonisme, kriminalitas, kekerasan dan
eksploitasi pornografi.
Padahal produk-produk informasi yang disebut terakhir di atas akan menimbulkan
masalah/penyakit sosial yang baru. Kita ketahui program penyiaran baik
berupa hiburan maupun informasi di atas tidak semuanya pantas disaksikan oleh
setiap lapisan usia. Akan tetapi kenyataannya anak-anak/adik-adik kita yang
masih dibawah umur, masih lugu, yang semestinya perlu lebih banyak belajar,
bermain dengan teman sebaya, belajar bersosialisasi dan beraktivitas yang
sepantasnya untuk usia mereka, telah menjadi penikmat tayangan-tayangan
“sampah” yang tidak bermanfaat dan merusak mental/moral mereka, dan menjadikan
mereka kurang peka/pasif terhadap lingkungan di sekitarnya, karena waktu mereka
habis di depan layar televisi. Apabila kenyataan ini dibiarkan maka setelah
masa kita, kelak akan terbentuk satu generasi yang rusak, yang hanya tahu bersenang-senang
tanpa menghiraukan nilai-nilai moralitas, sehingga akan semakin banyak muncul
tindakan yang melanggar norma-norma susila dan meningkatnya kriminalitas.
Contoh lain yang saat ini sedang menjadi suatu tren adalah pengunaan
teknologi internet, dimana kita dapat memperoleh segala informasi hampir tiada
batas, yang positif dan bermanfaat sangat banyak, tetapi untuk terjerumus pada
informasi yang menyesatkan dan merusak juga luar biasa. Bahaya lain dari
penggunaan teknologi ini adalah “kecanduan internet”. Baru-baru ini hasil
penelitian yang dilakukan di Amerika memperkirakan 6% dari penjelajah dunia
maya internet (internet surfer) yang melakukan online sebanyak ukuran standard
dapat digolongkan sebagai pecandu internet (Internet Addiction Disorder),
dimana penderita ini tidak ubahnya penderita kecanduan obat-obatan dan alkohol,
sehingga untuk menyembuhkannya memerlukan bantuan seorang ahli terapi kejiwaan
(Rio Lacatompesy, Chip, 2000: 108-110). Mungkin akan lebih banyak lagi efek
negatif dari penerapan teknologi ini seiring bertambahnya inovasi-inovasi yang
akan muncul kelak, yang belum terbayangkan saat ini.
Agar tidak lebih jauh lagi kita terjerumus dalam kesalahterapan teknologi
ini kita dapat menerapkan prinsip “empat dasar tindakan” (apassena) dalam Digha
Nikaya 33, III: 24, yaitu:
1. Sebagai kebiasaan, mempertimbangkan ini dengan
penuh kearifan karena teknologi ini tidak dapat dibeli. Berarti tidak ada jalan
pintas yang dapat ditempuh dalam hal ini, untuk menjadikannya dimiliki,
pertama-tama harus dikuasai (mastered), diproduksi secara lokal dan kemudian
sepenuhnya diintegrasikan dengan lingkungan sosial budaya (diselaraskan dengan
nilai-nilai luhur budaya ketimuran dan nilai-nilai agama). Bertahan dengan
sabar dan penuh pengertian agar tidak terseret umpan keadaan, berarti kita bisa
membuat pilihan, menggunakan teknologi ini untuk mendorong kemajuan bidang
pendidikan; dengan metode mengajar menggunakan program komputer dapat lebih
bersifat demokratis dan responsif kepada individu, kepada kebutuhan dan gaya
belajar siswa; kita dapat menciptakan sistem-sistem baru yang dapat menjamin
keamanan dan kenyamanan masyarakat; dan lebih jauh lagi menentukan
strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan dengan memperhitungkan model-model
pembangunan yang diinginkan dan menjamin relevansi sosial sekaligus koherensi
kulturalnya.
2. Melakukan penghindaran, ketika nafsu indria
mendatangkan kegelisahan
3. menindas (menekan dan berusaha melenyapkan)
munculnya pikiran yang menyesatkan, berarti yang lebih utama adalah kita dapat
menciptakan suatu filter (penyaring) dan benteng pada diri kita masing-masing,
berupa suatu daya upaya meningkatkan keyakinan (Saddha) dan pemahaman kita
tentang keluhuran Dhamma yang akan menuntun kita pada kehidupan yang bahagia, terbebas
dari belenggu penderitaan. Karena sesungguhnya kebahagiaan (duniawi) apapun
yang dapat kita peroleh dengan berbagai sarana teknologi adalah bersifat
sementara (yang apabila kita tidak memahaminya akan menyeret kita pada pemuasan
nafsu (tanha) yang hanya menimbulkan penderitaan pada akhirnya.
Sebagai penganut Buddhisme
khususnya kita harus senantiasa melatih pengembangan batin dan moralitas
disamping terus membina dan menguasai ilmu pengetahuan, sehingga kebijaksanaan
akan tumbuh dalam batin kita, dan menjadikan kita tahu, benar-benar tahu,
tindakan apa yang sepantasnya kita lakukan dan apa yang tidak pantas kita
lakukan.
Sumber :
No comments:
Post a Comment