DOA, BISAKAH
TERKABUL?
Oleh: Yan Saccakiriyaputta
Oleh: Yan Saccakiriyaputta
Hidup ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa
masih kurang kita miliki; harta, rezeki, berkah, sandang-pangan, pekerjaan,
kesehatan, keamanan, keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua
itu bisa kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya,
karena manusia memang memiliki potensi untuk itu. Manusia bukanlah makhluk
lemah dan ringkih, sehingga untuk memenuhi segala kebutuhannya harus
mengharapkan belas kasihan makhluk lain. Menurut agama Buddha, manusia bukanlah
wayang golek, yang segala sesuatunya diatur dan digerakkan oleh Pak
Dalang/Sutradara. Tak ada makhluk lain yang ikut mengatur persoalan nasib
seseorang. Namun karena terbelenggu oleh ketidaktahuan, manusia tidak dapat
melihat dan merealisasikan potensi yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka
memohon dan meminta kepada para dewa, sebagai jalan pintas untuk memenuhi
segala keinginannya, tanpa mau bersusah payah. Apalagi bila dalam memohon itu
dipersembahkan sajian yang mewah dan mahal, maka dianggap akan lebih
mempercepat terkabulnya permintaan mereka. Tindakan memohon dan meminta
kemurahari hati para Dewa atau Maha Dewa untuk sesuatu inilah yang umum disebut
Berdoa.
Umat Buddha memuja Sang Buddha,
sama sekali tidak dengan harapan untuk memperoleh hadiah-hadiah duniawi maupun
spiritual, seperti: rezeki, harta, pekerjaan, jodoh, keturunan, keselamatan,
berkah, diampuni dosanya, sorga, atau pamrih apapun. Bukan juga karena perasaan
takut akan hukuman. Kita menghormat dan sujud kepada Sang Buddha karena
Beliaulah yang menemukan dan membabarkan Jalan Kebebasan. Karena itu, tidaklah
berkelebihan bila Puja Bakti, sembahyang, dalam agama Buddha adalah betul-
betul mumi dan tulus.
Dengan mempersembahkan bunga dan
dupa di hadapan Buddha Rupang, kita bermaksud membuat diri kita merasa
berhadapan langsung dengan Sang Buddha. Dengan cara demikian kita memperoleh
inspirasi dari sifat pribadi Sang Buddha yang mulia, dan menghirup kasih sayang
Beliau yang tak terbatas, serta merenungi dan mencoba untuk mengikuti contoh
mulia Beliau. Pohon Bodhi juga merupakan lambang pencapaian penerangan sempuma.
Obyek-obyek penghormatan luar ini tidak mutlak perlu, dan ini hanya berguna
untuk memusatkan pikiran seseorang kala bermeditasi.
Seseorang yang sudah maju tidak
memerlukan obyek-obyek luar tersebut Karena dengan mudah ia dapat memusatkan
perhatiannya dan menggambarkan Sang Buddha dalam batinnya. Demi kebaikan kita
sendiri dan karena rasa terima kasih, maka kita melakukan penghormatan luar
seperti itu. Tapi yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para pengikutnya
bukanlah penghormatan seperti itu. Sang Buddha bersabda; bahwa cara
penghormatan yang paling tepat adalah melaksanakan ajaran-Nya dengan baik.
Dalam agama Buddha tidak ada
doa-doa permohonan, minta-minta keselamatan, berkah, rezeki, pengampunan, dan
lain-lain; baik kepada Dewa, Brahma, Sang Buddha sendiri, ataupun Tuhan. Beliau
tak pernah manjanjikan hadiah kepada mereka yang berdoa kepada-Nya. Sang Buddha
tidak hanya menyatakan betapa sia-sianya doa-doa permohonan, tapi juga Beliau
mencela perbudakan mental seperti itu.
Mengapa Sang Buddha tidak
mengajarkan umatnya berdoa atau memohon atau meminta-minta kepada Tuhan, karena
Tuhan -Yang Maha Esa- dalam agama Buddha bukanlah suatu pribadi atau makhluk
hidup yang menjadi tempat menggantungkan hidup, berdoa, atau memohon. Tuhan
dipandang sebagai Tujuan Akhir bagi semua makhluk. Dengan demikian, doa
permohonan tidak tepat ditujukan kepada Tuhan dalam pengertian agama Buddha.
Sang Buddha telah berhasil menempatkan Tuhan pada proporsi yang sebenamya,
yaitu sebagai Dhamma Yang Tertinggi, Yang Tak Bersyarat. Demikian juga halnya
dengan Sang Buddha, karena telah menyadari dan menyelami hakikat Tuhan yang
sebenamya, maka Beliau tidak seharusnya dipaksa untuk mengurusi hat-hal
duniawi. Umpamanya, dengan menjadikannya sebagai cukong yang senang berdagang
kesejahteraan atau kebahagiaan; ataupun sebagai hakim yang dapat disuap dengan
doa-doa, puji-pujian, maupun persembahan kurban. Sebagai Guru yang menganjurkan
Ehipassiko, maka mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan doa
permohonan/minta-minta, dapat dikaji dari manfaat atau kegunaan doa yang
demikian itu. Untuk mengkaji manfaatnya, kita dapat membuat suatu analogi yang
sederhana.
-
Si A, berdoa siang
malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi pohon mangga.
-
Si B, berdoa agar biji
jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
-
Si C, tidak berdoa,
karena yakin "segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah sesuai dengan
benih yang ditanam".
Adakah yang mampu mengabulkan
doa/permohonan si A? Rasanya penjelasan lewat analogi tersebut sudah sangat
gamblang. Doa hanya terkabul bila pas dan sesuai dengan benih / karma /
perbuatan kita; yang sebetulnya tanpa didoakan/dimohonkan/diminta juga pasti
akan terkabul. Untuk membuat keinginan kita terkabul, sebab yang tepat mesti
kita miliki atau ciptakan. Berdoa, itu boleh dan bisa saja, seperti kita boleh/bisa
menebar pupuk, menyiram dengan air, tapi jika tidak menebar benih, maka tak ada
yang tumbuh. Doa permohonan menjadi sia-sia bila kita tidak memiliki simpanan
karma balk, tidak memiliki penyebab terkabulnya doa permohonan kita.
Sang Buddha saat menjelaskan
bagaimana hukum sebab-akibat bekerja dalam pikiran kita, menyatakan bahwa
membunuh akan menyebabkan antara lain, berusia pendek. Menghindari pembunuhan,
akan menyebabkan usia panjang dan bebas dari penyakit Bila kita gagal mengikuti
nasihat yang paling mendasar ini, tetapi tetap berdoa agar berumur panjang dan
memiliki kesehatan yang balk, kita telah salah tafsir. Sebaliknya bila di masa
lalu seseorang telah menghindari pembunuhan, menyelamatkan nyawa seseorang atau
makhluk lain, maka harapannya mungkin bisa terpenuhi. Dengan cara yang sama,
Sang Buddha mengatakan bahwa kemurahan hati merupakan awal dari kekayaan. Jika
kita murah hati pada kehidupan yang lalu, dan sekarang berharap agar kekayaan
kita bertambah, maka keuangan kita bisa berkembang. Sebaliknya bila kita kikir
saat ini, kita sedang menciptakan sebab dari kemiskinan kita di masa mendatang!
Bila ada yang merasa doanya
terkabul, maka terkabulnya doa itu sesungguhnya karena ia memiliki sebabnya. Ia
mempunyai tabungan karma baik di kehidupannya yang dulu, atau karena usahanya
pada kehidupannya sekarang ini. Untuk itu beberapa agama cenderung merangkaikan
kata doa menjadi "Berdoa dan bekerja". Kita tentu menyetujui bahwa
yang menjadi penentu terpenuhinya keinginan kita adalah kata "bekerja".
Sebab, bekerja tanpa berdoa, keinginan kita masih bisa tercapai. Tapi kalau
berdoa saja tanpa bekerja, hasilnya tidak pasti. Apakah semua ini berarti bahwa
doa permohonan adalah satu hal yang sama sekali tidak berguna? Walaupun jelas
doa itu sendiri tak bisa mengabulkan keinginan kita, tentu tak bisa dikatakan
'mutlak sia-sia'. Karena bagaimanapun juga, berdoa jauh lebih baik daripada
melamun dengan pikiran kosong, apalagi berbohong, mencuri, mabuk-mabukan, atau
perbuatan buruk lainnya. Alih-alih mengajarkan doa-doa permohonan yang sia-sia,
Sang Buddha mengajarkan Meditasi. Meditasi bukanlah berdiam diri melamun atau
mengosongkan pikiran. Meditasi adalah perjuangan pikiran, latihan pengendalian
pikiran; mengesampingkan segala pikiran dan nafsu keinginan yang rendah dan
egois, mengendapkan kekotoran batin sehingga pikiran menjadi tenang. Makin maju
tingkat meditasi kita, makin tenang, jemih, dan terang pikiran kita. Dengan
pikiran yang jernih, tentu kita menjadi lebih waspada, bijaksana, dan lebih
bisa membedakan antara yang semu dengan yang sejati. Pada tahap lebih lanjut,
ini akan mengubah cara berpikir kita, mengubah pandangan dan tabiat kita
menjadi lebih baik. Cara berpikir dan tabiat yang baik tentu membuat tindakan
kita pun menjadi baik. Otomatis kelak kita akan memetik kebahagiaan, walaupun
kita tidak berdoa, memohon, atau meminta. Meditasi merupakan cara sembahyang
yang paling mudah dan bersih, karena tidak mewajibkan seseorang untuk
mengucapkan apa-apa yang tidak ia mengerti. Tidak memperbesar keinginan atau
keegoisan dengan permohonan atau permintaan untuk kepentingan/keuntungan diri
sendiri.
Apakah berarti Dewa tidak bisa menolong manusia?
Jangankan Dewa, manusia pun bisa menolong, tetapi bantuan
atau pertolongan itu tidak terlepas dari karma kita sendiri, baik pada
kehidupan yang lampau maupun yang sekarang. Dewa yang kita mohoni, hanya mampu
menyediakan situasi agar karma baik kita bisa tumbuh dan masak.
Bagaimana Dewa bisa menolong? Apabila moral dan batin kita
bersih, otomatis para Dewa suka berada di dekat kita. Tanpa diminta pun, mereka
akan berusaha membantu kita. Memberi firasat, menghalangi makhluk jahat atau
'black-magic' yang ingin mengganggu. Tapi kalau memang karma buruk kita yang
lampau telah masak dan situasi serta kondisinya mendukung, maka siapa pun tak
sanggup menolong lagi.
Dalam arti sejati:
"Diri sendiri sesungguhnya pelindung bagi diri
sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah
seseorang dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu
perlindungan yang sukar diperoleh". Walau tak ada larangan untuk meminta
pertolongan kepada para Dewa, umat Buddha tidak seharusnya menggantungkan
hidupnya kepada para Dewa. Kemandirian seharusnya menjadi sikap yang utama.
Sebab manusia mempunyai potensi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya
karena ketidaktahuannya atau kebodohannya yang sangat dalam itulah, maka
manusia gagal untuk menyadari kemampuan tersebut.
Perlu diketahui bahwa pertolongan yang dapat diberikan oleh
para Dewa maupun makhluk lain hanyalah terbatas pada pertolongan yang bersifat
duniawi, tidak kekal, bisa musnah, bisa hilang; sehingga akhimya bisa
menimbulkan penyesalan dan kedukaan. Sedangkan kesucian, kebahagiaan sejati,
dan kesempurnaan, hanya dapat dicapai melalui usaha dan perjuangan sendiri.
Sekarang mungkin timbul pertanyaan, "Kalau memang agama Buddha tidak
mengenal ajaran tentang doa, permohonan, atau minta-minta, lalu apa yang
dilakukan atau diucapkan oleh umat Buddha saat sembahyang?"
Sang Buddha mengajarkan agar kita memperbaiki yang ada di
dalam diri kita sendiri, mengikis Lobha, Dosa, dan Moha. Makin bersih batin
kita, makin mampu kita menahan diri dari perbuatan salah; yang berarti makin
sedikit buah-buah pahit yang bakal kita terima. Yang diucapkan waktu sembahyang
adalah PARITTA atau SUTTA. Dengan mengucapkan paritta atau sutta, pikiran dan
ucapan diarahkan untuk berpikir dan berucap yang balk. Itu berarti membuat
karma baik lewat pikiran dan ucapan. Makna atau tujuan kita mengucapkan paritta
adalah sebagai pengulangan terhadap Ajaran Sang Buddha, agar kita selalu ingat
terhadap Dhamma Sang Buddha, selalu ingat kepada sila (kemoralan), kepada
sifat-sifat luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan pada akhimya ini memberi kita
semangat, penguat tekad, pembangkit usaha untuk melaksanakan Dhamma, serta
sebagai pengantar yang menenangkan untuk memulai meditasi.
Umat Buddha menyatakan berlindung kepada Tiratana – Buddha,
Dhamma, dan Sangha. Hal ini jangan diartikan sebagai perlindungan yang pasif,
karena "berlindung" di sini merupakan pernyataan tekad, janji kepada
diri sendiri untuk mempelajari, mempraktikkan Buddha Dhamma sampai akhimya
mencapai Tujuan. Jadi terlindung tidaknya, tergantung dari praktik Dhamma kita
sendiri; sama sekali tidak terkandung pengertian agar Tiratana menyelamatkan
kita, tanpa kita perlu mempraktikkan Dhamma itu sendiri.
Bila kita tak bisa membaca paritta, karena sebagai pemula,
maka kita bisa mengucapkan: "Semoga semua makhluk berbahagia".
Kalimat itu diulang-ulang terus. Bila hal itu sering kita lakukan dan hayati,
maka batin kita akan diliputi oleh rasa cinta kasih (metta). Bila kita hendak
melakukan perbuatan/karma buruk yang merugikan makhluk lain, kita cepat
menyadari. "Baru saja saya mendoakan agar semua makhluk berbahagia,
mengapa sekarang saya ingin menyakiti orang/makhluk lain?" Karma buruk
batal kita laksanakan, buah buruk pun tak bakal kita rasakan. "Sembahyang,
Puja Bakti, dalam agama Buddha bukan untuk memaksakan keinginan kita, atau
mengubah apa yang ada di luar diri kita, tapi untuk mengubah apa yang ada di
dalam diri kita, mengikis kekotoran batin; Lobha, Dosa, dan Moha".
Persembahan, boleh atau dilarang?
Masalahnya bukan boleh atau dilarang, tetapi bermanfaat
tidaknya tindakan itu. Sang Buddha tidak pemah melarang umat awam; Sang Buddha
hanya memberitahukan akibat, pahala, dan konsekuensi dari suatu tindakan. Kita
sujud dan melakukan persembahan, bukanlah karena Sang Buddha memerlukan,
meminta, merasa berhak, apalagi mengharuskan. Seseorang yang telah menyucikan
pikirannya dan menikmati kebahagiaan yang datang dari kebijaksanaan dan
Kebahagiaan Sejati, sama sekali tidak memerlukan apa-apa dari luar dirinya
untuk dapat menjadi bahagia. Dan... Sang Buddha sebetulnya tidak memerlukan
atau pun memperoleh apa-apa dari persembahan kita!
Apakah ini berarti persembahan kita sia-sia?
Yang mendapatkan manfaat dari persembahan kita sesungguhnya
adalah diri kita sendiri. Kita yang belum meraih kesucian, tentu memiliki
kemelekatan dan kekikiran. Selalu merasa kurang dan haus. Ini membuat pikiran.
kita tidak tenang, mendorong kita untuk menghalalkan segala cara untuk
mernperoleh yang kita inginkan. Untuk mengikis kemelekatan dan kekikiran itu,
salah satu caranya adalah melaksanakan persembahan atau berdana. Memberi tanpa
merasa kehilangan. Hal ini memberikan potensi positif dan mengembangkan pikiran
kita, yang selanjutnya memperbaiki tindakan kita.
Bagaimana dengan persembahan hewan kurban?
Mempersembahkan hewan kurban juga baik dan bermanfaat.
Tapi, disamping kebaikannya itu, karena ia juga telah sengaja menimbulkan suatu
pembunuhan -- yang termasuk karma buruk--, berarti persembahan hewan kurban
manfaatnya menjadi berkurang, susut Apalagi bila setelah sembahyang, hewan
kurban itu dimakan sendiri --tidak didanakan kepada orang lain--, maka
manfaatnya menjadi semakin kecil.
Sang Buddha sebagai Guru para Dewa dan manusia, tidak
terlalu mengagung-agungkan kehidupan para Dewa, tapi juga tidak terlalu
merendahkan kehidupan binatang. Sang Buddha hanya menempatkan pada proporsi
yang sebenarnya saja. Memberikan komentar tentang persembahan kurban, Sang
Buddha menyatakan: "Barang siapa mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri
dengan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, tidak akan
memperoleh kebahagiaan setelah kematian ".
Bagaimana dengan "doa kaul"?
"Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak. Kalau
doa kami dikabulkan, kami akan mempersembahkan ayam panggang 10 ekor".
Secara sadar atau tidak, doa itu bermakna; "Tuhan/Dewa, berilah kami
rezeki/makanan/anak, kalau Tuhan/Dewa berikan, nanti saya beri ayam panggang.
Tapi kalau Tuhan/Dewa tidak beri, saya juga tidak jadi memberi ayam
panggang". Bila Tuhan/Dewa yang kita sembah mampu memberi kita apapun yang
kita minta, apakah kita tidak salah kaprah dengan menjanjikan sesuatu
kepadanya? Ibarat kita menjanjikan uang sepuluh ribu rupiah kepada Om Liem,
bila Om Liem mau mengabulkan permintaan kita...
Bagaimana "kaul" secara Buddhis?
Berdana, berbuat baik dulu, baru lalu mengharap,
"Semoga dengan kebaikan yang saya lakukan ini, saya bisa mendapatkan
kebahagiaan/rezeki/makanan/anak". Jadi, tanam dulu benih jagung kita, baru
kita bisa berharap memanen jagung. Kalau kita menanam -mendanakan- sebutir
jagung, kelak kita akan mendapatkan hasil, pahalanya berbutir-butir. Kalau kita
berharap panen dulu baru kelak menanam, berarti kita perlu banyak belajar dari
pak tani.
Semoga tulisan ini bisa memperbaiki cara kita bersembahyang. Semoga semua makhluk berbahagia.
No comments:
Post a Comment