Ketika
saya bertemu dengan doktor pribadi saya, beliau bertanya tentang kegiatan
religius saya. Dan ketika beliau telah
mengetahui merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan
saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah
dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi. Lalu saya
bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya
menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan
memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya
kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme,
penyembah batu, religius berhala. Kemudian saya berkata: “Pernyataan dokter
seolah-olah menunjukkan bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih
tahu dari pikiran saya sendiri, darimanakah dokter mengetahui bahwa saya
menghormat dan memohon-mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran
saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya.” Maka iapun menjawab bahwa
kebanyakan, orang yang bertingkah laku di depan patung adalah demikian,
sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon kepada patung.
Kemudian saya mengutarakan
kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: “Ketika rakyat suatu negara
mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera
Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku
orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada
bendera itu?” Dokter saya menjawab,
bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta
sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan / kualitas jasa para pahlawan
sehingga secara alamiah mereka tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan
patriot para pahlawannya.” Kemudian saya lanjutkan: “mungkinkah penganut
religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala tadi, ketika berlutut di bawah atau di hadapan
patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang
dilambangkan dengan patung tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang
baik dari orang yang dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya
rakyat yang sedang mengenang jasa para pahlawannya?” Beliau menjawab bahwa hal itu sangat
mungkin. Lantas saya kembali
bertanya:”Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan
pikiran baik tersebut apakah masih layak
disebut sebagai penyembah patung/berhala, dan jika saya melakukan
seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah
penyembah berhala?” Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya
melanjutkan:”mengapa tidak?” Karena
penyembah berhala artinya menyembah dan
meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang
tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut. Mendapat jawaban seperti
itu, saya berkata dan bertanya kepada beliau: “Maaf dokter, saya gembira sekali
karena dokter berbicara sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya
bertanya secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya
ini tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam mempraktikkan
kepercayaan religius yang dokter anut, acap kali meminta atau memohon sesuatu
(keselamatan, rejeki dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum
pahami/ketahui (tanpa atau dengan media tertentu seperti patung atau hal
lainnya)?” Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi:”Selama ini saya telah
salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya!
Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena saya
sering kali meminta atau memohon sesuatu (rejeki, kesehatan, keselamatan dan
sebagainya) kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan
saya, selama ini saya telah salah
menilai kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar.
Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus
terang, saya merasa syukur atas
keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu
lagi.
Demikianlah dialog antara
dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi secara spontan dan terbuka. Memang,
saya dan teman-teman memiliki ruang yang terdapat patung seorang guru besar
yang bernama Gotama. Memuja patung
bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan para penganut religius
kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak mau tahu atau
karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf tertentu),
sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala. Bagi
kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi
para pemula (bagi yang telah pandai sama
sekali tidak memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap
batinnya seperti yang dimiliki oleh guru
besar Gotama, yaitu:
1. Murah-hati (dermawan)
2. Bermoral (tidak membunuh,
tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak memakan atau meminum
makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan)
3. tidak terikat/tidak melekat
4. bijaksana dalam bertindak,
berbicara dan berpikir
5. bersemangat
6. sabar
7. selalu berpikir, berbicara dan
bertindak jujur dan benar
8. memiliki tekad yang kuat
9. memiliki cinta kasih terhadap semua
mahluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
10. sikap seimbang menghadapi suka
dan duka (tidak larut dalam suka maupun
duka)
Patung bukanlah kriteria
ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi masalah. Guru besar kami
sama sekali tidak mengajarkan pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati.
Tindakan melalui pikiran, ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta
jauh dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak
untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap mahluk mengharapkan kebahagiaan,
namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta. Kebahagiaan
merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat yang
mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik;
sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses
sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya
terpenuhi; mereka berproses secara alamiah.
Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya
secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh
janji/iming-iming surga dan secara sukarela pula berusaha tidak melakukan
kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka. Semoga uraian kenyataan di atas dapat
meredakan kesalahpahaman antar penganut religius.
----00000----
No comments:
Post a Comment