Sinopsis:
Di kehidupan
lampau Bodhisatta menjumpai berbagai macam pemujaan yang keliru. Banyak penduduk
yang menganut kepercayaan menyembah para dewa dengan melakukan pengorbanan
seperti menyembelih kambing, domba, kerbau bahkan manusia. Kejadian ini terus
dipelajari oleh Boddhisatta hingga akhirnya beliau mempunyai cara ampuh untuk
meluruskan pandangan salah.
“Seribu
pelaku kejahatan,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana,
mengenai tindakan demi kebaikan dunia; seperti yang akan dijelaskan dalam Buku
Kedua Belas, dalam Maha-Kanha-Jātaka.
Sekali waktu
ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam kandungan
ratu. Setelah
lahir, ia diberi nama Pangeran Brahmadatta dalam upacara pemberian nama. Pada
usia enam belas tahun, ia telah menyelesaikan pendidikannya di Takkasīla,
mempelajari Tiga Weda dan mendalami delapan belas cabang ilmu pengetahuan. Hal
itu membuat ia dijadikan sebagai raja muda.
Di masa itu, penduduk Benares mengadakan banyak perayaan terhadap
para dewa untuk menunjukkan penghormatan terhadap ‘Dewa-Dewa’. Mereka mempunyai
kebiasaan untuk menyembelih domba, kambing, unggas, babi dan hewan-hewan
lainnya. Mereka tidak hanya mempersembahkan bunga-bunga dan wewangian, namun
juga bangkai yang masih berlumuran darah. Pikir Bodhisatta, “Disesatkan oleh
kepercayaan (takhayul), sekarang ini manusia mengorbankan kehidupan (makhluk
lain) tanpa alasan yang kuat; sebagian besar orang tidak mempunyai keyakinan.
Setelah ayah saya meninggal, saya yang mewarisi tahtanya. Saya akan mencari
dengan sungguh-sungguh cara untuk mengakhiri pembunuhan ini. Saya akan
memikirkan beberapa cara yang cerdik agar mereka dapat dihentikan tanpa
mencelakakan satu makhluk pun.” Dengan suasana hati seperti itulah, suatu hari
pangeran menaiki kereta kerajaan untuk pergi ke luar kota. Di tengah
perjalanannya, ia melihat kerumunan orang di bawah sebuah pohon beringin yang
suci. Mereka sedang berdoa pada dewa yang terlahir di pohon tersebut, untuk
menganugerahkan mereka anak laki-laki dan perempuan, kehormatan dan kesehatan,
sesuai dengan kehendak mereka masing-masing. Turun dari kereta kerajaaan,
Bodhisatta mendekati pohon tersebut dan bertindak seperti salah seorang pemuja
dengan mempersembahkan bunga dan wewangian, memerciki pohon tersebut dengan air
dan mengelilingi batang pohon tersebut dengan penuh hormat.
Setelah itu, ia menaiki kereta kerajaannya dan kembali menelusuri
jalan ke kota. Sejak saat itu, pangeran selalu melakukan perjalanan seperti itu
dari waktu ke waktu, mengunjungi pohon itu dan menyembahnya seperti seorang
penganut sejati para dewa. Setelah ayahnya meninggal, Bodhisatta
menggantikannya memerintah negeri itu. Ia menjauhi diri dari empat ajaran sesat
dan mempraktikkan sepuluh kebaikan yang mulia. Ia memerintah rakyatnya dengan
penuh keadilan. Sekarang telah tiba saat untuk meneruskan keinginannya, ia
telah menjadi raja, Bodhisatta akan membuat dirinya memenuhi keputusannya di
masa yang lalu. Ia mengumpulkan para menteri, brahmana, golongan masyarakat
baik-baik dan golongan masyarakat lainnya, menanyakan apakah mereka tahu
bagaimana cara ia menjadikan dirinya sebagai seorang raja. Tidak ada orang yang
bisa menjawabnya.
“Pernahkah kalian melihat saya dengan penuh hormat menyembah pohon
beringin dengan wewangian dan sejenisnya, dan membungkukkan diri di hadapan
pohon itu?”
“Kami pernah melihatnya, Paduka,” jawab mereka.
“Baiklah, saya membuat sebuah sumpah; dan sumpah itu adalah, jika
saya menjadi raja, saya akan memberikan persembahan kepada pohon tersebut.
Sekarang dengan bantuan dewa, saya telah menjadi raja. Saya akan
mempersembahkan apa yang saya janjikan untuk dikorbankan. Karena itu,
persiapkanlah hal itu secepat mungkin.”
“Apa yang harus kami persiapkan?”
“Sumpahku,” kata raja tersebut, “adalah seperti ini : — semua yang
kecanduan melakukan lima jenis perbuatan buruk, yakni pembunuhan dan lain
sebagainya, dan semua yang menempuh sepuluh jalan yang tidak benar, mereka akan
saya bunuh, daging dan darah mereka, serta isi perut dan organ tubuh mereka,
akan saya jadikan persembahan. Umumkanlah dengan iringan bunyi genderang, bahwa
raja kita, saat masih bergelar Raja Muda, pernah bersumpah jika ia menjadi
seorang raja, akan membunuh dan mempersembahkan korban, berupa mereka yang
melanggar sila. Sekarang, raja akan membunuh seribu orang dari mereka yang
kecanduan melakukan lima jenis perbuatan buruk, atau menempuh sepuluh jalan
yang tidak benar. Dengan jantung dan daging dari seribu orang, sebuah
persembahan akan dilakukan untuk menghormati para dewa. Umumkanlah hal ini agar
semua orang di negeri ini tahu. Mereka yang melanggarnya setelah hari ini,” tambah
raja, “akan saya bunuh sebanyak seribu orang, dan mempersembahkannya sebagai
korban kepada para dewa sebagai pemenuhan sumpah saya.” Untuk memperjelas
pernyataannya, raja mengulang syair sebagai berikut :
Seribu pelaku kejahatan telah saya janjikan,
sebagai ungkapan terima kasih untuk dibunuh;
pelaku kejahatan membentuk kerumunan besar,
sekarang, sumpahku akan dipenuhi.
Patuh pada perintah raja, para menteri membuat pengumuman yang
diiringi dengan bunyi genderang sesuai dengan panjang dan lebar seluruh Kota
Benares. Akibat pengumuman tersebut, tidak ada satu orang pun yang melakukan
kejahatan lama itu lagi. Selama Bodhisatta memerintah, tidak ada seorang
manusia pun yang dihukum karena melakukan pelanggaran. Demikianlah, tanpa
mencelakakan rakyatnya, Bodhisatta membuat mereka menjalankan sila. Pada akhir
kehidupan yang selalu diisinya dengan berdana dan perbuatan baik lainnya, ia
meninggal dan bersama para pengikutnya, menuju ke alam dewa.
____________________
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Sang
Buddha melakukan sesuatu demi kebaikan dunia ini; Beliau juga melakukan hal
yang sama di kehidupan sebelumnya.” Setelah uraian tersebut berakhir,
Beliaumempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para
siswa Buddha adalah menteri-menteri di masa itu, dan Saya sendiri adalah Raja
Benares.”
sumber: ITC, Jataka Vol. I
No comments:
Post a Comment