Sinopsis:
Boddhisatta ketika terlahir sebagai seorang murid Brahmana
Vedabbha bertekat menjaga komitmen yang dipesankan oleh guruNya. Karena usaha
yang salah yang dilakukan Brahmana vedabbha mengakibatkan malapetaka yang
besar.
“Usaha
yang salah,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika
berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang bertindak sesuka hatinya.
Sang Guru berkata kepada bhikkhu itu, “Ini bukan pertama kalinya, Bhikkhu,
engkau bersikap semaumu; engkau mempunyai kecenderungan yang sama seperti
kehidupan yang lampau; karena sikap itu, engkau tidak mengindahkan nasihat dari
ia yang bijaksana dan baik, akibatnya engkau dipotong menjadi dua bagian dengan
sebilah pedang yang tajam dan dilemparkan di jalan raya; dan engkau juga
merupakan penyebab tunggal akan seribu orang yang menemui ajal mereka.” Setelah
mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali
waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ada seorang brahmana di sebuah
desa yang menguasai sebuah mantra, ia bernama Vedabbha. Mantra ini, dikatakan
mereka, lebih berharga melebihi semua barang bernilai lainnya. Jika saat
planet-planet berada pada posisi yang sejajar, ada yang mengucapkan mantra ini
sambil menatap jauh ke langit, secara langsung akan timbul hujan dari langit
berupa tujuh jenis batu berharga.
Pada masa
itu, Bodhisatta adalah siswa dari brahmana ini; Suatu hari, gurunya
meninggalkan desa itu untuk mengurus beberapa keperluan. Ia pergi ke Negeri
Ceti bersama Bodhisatta.
Sementara
itu, di sebuah hutan, terdapat lima ratus orang perampok – dikenal dengan
sebutan “Pengutus” – yang membuat perjalanan itu tidak mungkin dilakukan.
Mereka menangkap Bodhisatta dan Brahmana Vedabbha. (Anda bertanya-tanya,
mengapa mereka disebut sebagai Pengutus? – Baiklah, menurut cerita, setiap dua
tahanan yang mereka dapatkan, mereka selalu mengutus satu untuk menjemput uang
tebusan; itulah sebabnya mengapa mereka disebut sebagai Pengutus. Jika mereka
menangkap seorang ayah dan anak lelakinya, mereka akan meminta ayahnya untuk
pergi mengambil uang tebusan untuk membebaskan anaknya; jika yang tertangkap
adalah Ibu dan anak perempuannya, mereka akan mengirim ibunya untuk mencari
uang tebusan. Jika yang tertangkap adalah dua orang bersaudara, mereka akan
membiarkan saudara tua untuk pergi; demikian juga jika yang tertangkap adalah
guru dan murid, yang mereka bebaskan adalah muridnya. Dalam kasus ini, mereka
menahan Brahmana Vedabbha dan mengirim Bodhisatta untuk mencari uang tebusan.)
Bodhisatta berkata sambil membungkukkan badannya memberi hormat pada gurunya,
“Saya pasti akan kembali dalam satu hingga dua hari. Jangan khawatir; Hanya
saja jangan lupa akan apa yang saya katakan. Hari ini, planet-planet akan
bergerak bersama, sehingga dapat membawa hujan batu berharga. Berhati-hatilah
jangan sampai Anda membacakan mantra itu dan memanggil hujan barang-barang
berharga. Jika hal tersebut terjadi, malapetaka akan menimpa Anda dan kelompok
penjahat ini.” Dengan peringatan seperti ini pada gurunya, Bodhisatta pergi
untuk mencari uang tebusan.
Saat
matahari terbenam, perampok-perampok itu mengikat brahmana itu dan
membaringkannya di dekat mereka. Pada saat itu juga, purnama muncul di langit
bagian timur. Brahmana yang mempelajari tentang langit, mengetahui – bahwa
pergerakan bersama planet-planet itu sedang terjadi. “Mengapa,” pikirnya, “saya
harus mengalami penderitaan ini? Dengan membacakan mantra itu, saya akan
memanggil hujan batu berharga, membayar tebusan pada perampok-perampok ini, dan
bebas untuk pergi.” Maka ia memanggil penjahat-penjahat itu, “Teman-teman,
mengapa saya dijadikan sandera?”
“Untuk
mendapatkan uang tebusan, Brahmana yang terhormat,” jawab mereka.
“Baiklah
kalau itu yang kalian inginkan,” kata brahmana tersebut.
“Segera
lepaskan saya; cuci kepala saya dan kenakan baju baru pada saya; buat saya
wangi dan selimuti saya dengan bunga-bungaan. Kemudian tinggalkan saya
sendiri.” Para perampok melakukan apa yang diminta olehnya. Brahmana yang
menandai kebersamaan planet-planet itu, membacakan mantra dengan mata menatap
ke langit. Segera saja, barang-barang berharga itu mengalir turun dari langit.
Para penjahat langsung memungut barang-barang berharga itu dan membungkus
barang rampasan itu dengan menggunakan mantel mereka. Mereka meninggalkan
tempat itu dengan diikuti oleh brahmana itu dibelakang mereka. Namun, seakan
telah diatur, kelompok itu disergap oleh kelompok kedua yang beranggotakan lima
ratus orang perampok! “Mengapa kalian menangkap kami?” tanya kelompok pertama
kepada kelompok kedua. “Untuk merampas barang jarahan kalian,” jawab mereka.
“Jika itu yang kalian inginkan, tangkap saja brahmana ini, ia bisa dengan mudah
menatap ke langit dan membawa turun harta kekayaan seperti aliran hujan. Ia yang
memberikan semua barang yang kami miliki ini.” Maka kelompok kedua melepaskan
kelompok pertama, hanya menahan brahmana itu, mereka berseru, “Berikan kekayaan
kepada kami juga!”
“Dengan
senang hati,” jawab brahmana itu; “namun masih satu tahun lagi sebelum
planet-planet bergerak bersama, yang merupakan syarat utamanya. Jika kalian mau
menanti hingga saat itu, saya akan memohon hujan barangbarang berharga untuk
kalian.”
“Brahmana
kurang ajar!” teriak perampok-perampok yang marah itu. “Kamu membuat kelompok yang
lain menjadi kaya begitu saja, dan meminta kami untuk menunggu selama satu
tahun!” Mereka kemudian memotongnya menjadi dua bagian dengan sebilah pedang
yang tajam dan membuang mayatnya di tengah jalan. Lalu mengejar kelompok
pertama, membunuh semua anggota perampok kelompok pertama dalam sebuah
perkelahian, dan mengambil barang rampasan mereka.
Selanjutnya
mereka sendiri terpecah menjadi dua kelompok, yang berkelahi antar anggota
mereka sendiri. Kedua kelompok itu saling berkelahi hingga dua ratus lima puluh
orang mati terbunuh. Mereka masih saling membunuh satu sama lain sehingga yang
tersisa hanya dua orang saja. Dengan demikian, hampir seribu orang telah mati
karenanya.
Kedua
orang yang masih hidup itu sepakat untuk membawa lari harta tersebut, yang kemudian
mereka simpan di sebuah hutan dekat desa; satu orang duduk di sana, dengan
pedang di tangan, menjaga harta tersebut sementara yang satunya lagi pergi ke
desa untuk mencari beras dan memasaknya sebagai santapan malam mereka.
“Ketamakan
adalah penyebab kejatuhan!” renungnya saat berhenti di dekat harta tersebut.
“Saat
temanku kembali nanti, ia akan menginginkan sebagian dari harta ini. Saya harus
membunuhnya pada saat ia kembali.” Maka ia menghunuskan pedangnya dan duduk
menunggu temannya kembali. Sementara itu, penjahat yang satu lagi, membayangkan
hal yang sama, bahwa harta rampasan itu akan dibagi dua, ia berpikir, “Saya
harus meracuni nasi ini, dan memberikan nasi beracun ini untuk dimakan olehnya
dan membunuhnya.” Setelah makan bagiannya lebih dahulu, ia meracuni sisa nasi
itu, lalu dibawanya ke dalam hutan. Namun ia tidak sempat melakukan rencananya,
ketika penjahat yang satunya lagi memotongnya menjadi dua bagian dengan
menggunakan pedang, dan menyembunyikan mayatnya di suatu tempat yang terpencil.
Kemudian
ia makan nasi beracun itu, dan meninggal di tempat pada saat itu juga.
Demikianlah, karena harta tersebut, tidak hanya brahmana itu, namun semua
penjahat itu menjadi binasa. Sementara itu, satu dua hari kemudian, Bodhisatta
kembali dengan membawa uang tebusannya. Tidak menemukan gurunya ditempat ia
meninggalkannya, namun melihat harta benda berserakan di sekitar tempat itu,
hatinya merasa khawatir bahwa, walaupun ia telah memberi nasihat, gurunya pasti
telah menurunkan hujan harta benda dari langit, dan semuanya telah tewas
sebagai akibatnya; ia menelusuri sepanjang jalan tersebut.
Dalam
perjalanannya, ia menemukan mayat gurunya yang terbelah menjadi dua bagian,
tergeletak di tengah jalan. “Aduh!” serunya, “ia meninggal karena tidak mau
mendengar peringatan yang saya berikan.” Kemudian dengan kayu-kayu yang
terkumpul olehnya, ia membuat sebuah tumpukan kayu bakar dan membakar jasad
gurunya, memberikan persembahan berupa bunga-bunga. Saat berjalan lebih jauh,
ia tiba di tempat dimana lima ratus orang “Pengutus” tergeletak, dan berjalan
lebih jauh lagi, ia menemukan dua ratus lima puluh mayat, demikian seterusnya
hingga ia hanya menemukan dua mayat di sana.
Memperhatikan
bagaimana sembilan ratus sembilan puluh delapan orang telah tewas, ia merasa
yakin masih ada dua orang lagi yang masih hidup, dan tidak ada yang dapat
menghentikan mereka lagi. Ia memaksakan diri untuk melihat kemana mereka pergi.
Ia berjalan terus, hingga akhirnya menemukan jalan dimana bersama harta
tersebut mereka berbelok masuk ke dalam hutan; dan disana, ia menemukan
buntelan harta benda, dan satu orang perampok yang terbaring mati dengan
mangkuk nasi yang terbalik di sisinya. Menyadari keseluruhan kejadian itu
dengan melihat secara sekilas, Bodhisatta mencari orang yang hilang itu,
akhirnya ia menemukan mayatnya di suatu tempat yang terpencil dimana ia
dilemparkan.
“Demikianlah,”
renung Bodhisatta, “karena tidak mendengar nasihatku, guru yang mengikuti
keinginannya sendiri telah membinasakan tidak hanya dirinya sendiri, namun juga
seribu orang lainnya. Benar, mereka sendiri yang menerima akibat kekeliruan dan
salah jalan, yang akhirnya menemui kehancuran, walaupun ia adalah guruku
sendiri.” Ia mengulangi syair berikut ini :
Usaha yang
salah membawa kehancuran, bukannya keuntungan;
Para
perampok membunuh Vedabbha, dan akhirnya mereka sendiri juga terbunuh.
Demikianlah
yang disampaikan oleh Bodhisatta, ia berkata lebih lanjut, — “Bahkan usaha guru
saya yang salah arah dengan mengupayakan turunnya hujan harta benda dari
langit, mengakibatkan kematiannya dan kehancuran bagi orang lain yang bersama
dengannya; Tetap saja, setiap orang yang salah mengartikan pencarian terhadapan
pedoman demi keuntungannya sendiri, akan hancur dan melibatkan orang lain dalam
kehancurannya.” Dengan kata-kata ini Bodhisatta membuat hutan itu bergemuruh;
dalam syair tersebut ia telah membabarkan Kebenaran, sementara para dewa pohon
meneriakkan sorakan kegembiraan. Ia merencanakan untuk membawa harta benda
tersebut ke rumahnya sendiri, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya dengan
berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya. Setelah meninggal, ia terlahir
kembali di alam bahagia yang telah ia menangkan.
Sang Guru
berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Bhikkhu, engkau bertindak semaumu. Engkau
juga memiliki sifat yang sama di kehidupan yang lampau. Karena tindakan sesuka
hatimu, engkau hancur sama sekali.” Setelah uraian-Nya berakhir, Beliau
menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang bertindak
sesuka hati ini adalah Brahmana Vedabbha di masa itu, dan Saya sendiri adalah
siswanya.”
sumber: ITC, Jataka Vol. I
No comments:
Post a Comment