Fenomena Hidup dan Kehidupan
Sebab Musabab yang Saling Bergantungan
Paţiccasamuppāda (sebab-musabab yang saling bergantungan) memiliki dua
interpretasi utama: satu format adalah sebagai proses yang berlangsung dari
kehidupan satu ke kehidupan lain, sedangkan format yang lain merupakan sebuah proses segera yang muncul di
dalam saat-saat kesadaran.
Rumusan prinsip umum Paţiccasamuppāda adalah sebagai berikut:
Dengan timbulnya ini,
maka timbullah itu
Dengan adanya ini, maka
ada-lah itu
Dengan padamnya ini, maka
padamlah itu
Dengan tidak adanya ini,
maka itupun tidak ada
(Samyutta Nikaya
II:28:65, Sutta Pitaka)
Rumusan sederhana di atas
mengandung makna yang dalam, karena rumusan di atas, kata ‘timbul’ tidak sama dengan kata ‘ada’,
dan kata ‘padam’ tidak sama dengan
kata ‘tidak ada’, maka rumusan
tersebut tidak mencerminkan kaidah Paţiccasamuppāda
secara tepat.
Demikian dalamnya hakekat
hidup dan kehidupan yang diuraikan tersebut, sehingga di
dalam satu Sutta, Sang Buddha
menyatakan bahwa ia yang melihat Paţiccasamuppāda,
melihat Dhamma dan ia yang melihat Dhamma, melihat Paţiccasamuppāda.
Secara umum dalam Nidana
Vagga, Samyutta Nikaya I:1:1, Sutta Pitaka, Paţiccasamuppāda diuraikan di dalam dua model sebagai kemunculan dukkha dan padamnya dukkha, sebagai berikut:
Proses kemunculan yang saling bergantungan (Anuloma):
1.
Avijja, mengkondisikan sańkhara
2.
Sańkhara, mengkondisikan viññana
3.
Viññana, mengkondisikan nāma-rūpa
4.
Nāma-rūpa, mengkondisikan salāyatana
5.
Salāyatana, mengkondisikan phassa
6.
Phassa, mengkondisikan vedanā
7.
Vedanā, mengkondisikan taņhā
8.
Taņhā, mengkondisikan upādanā
9.
Upādanā, mengkondisikan bhāva
10.
Bhāva, mengkondisikan jāti
11. Jāti, mengkondisikan jarā-marana
(12)
Proses kepadaman yang saling bergantung (Patiloma):
· Dengan padamnya avijja maka padam-lah sańkhara
· Dengan padamnya sańkhara maka padam-lah viññana
· Dengan padamnya viññana maka padam-lah nāma-rūpa
· Dengan padamnya nāma-rūpa maka padam-lah saļāyatana
· Dengan padamnya saļāyatana maka padam-lah phassa
· Dengan padamnya phassa maka padam-lah vedanā
· Dengan padamnya vedanā maka padam-lah taņhā
· Dengan padamnya taņhā maka padam-lah upādanā
· Dengan padamnya upādanā maka padam-lah bhāva
· Dengan padamnya bhāva maka padam-lah jāti
· Dengan padamnya jāti maka padam-lah jarā-marana
Rumusan di atas,
merupakan rumusan umum yang sering dibahas. Sebenarnya, di dalam mempelajari
dan mencoba memahami Paţiccasamuppāda
ini, terdapat beberapa sudut pandang pembahasan, sebagai berikut:
·
Dipandang dari 12 faktor (nidana
12)
·
Dipandang dari 3 periode (tayo-addha
3)
·
Dipandang dari 3 hubungan (ti-sandhi)
·
Dipandang dari 2 akar (dve-mulani)
·
Dipandang dari 3 lingkaran (tini-vattani)
·
Dipandang dari 4 bagian (catu-sankhepa)
·
Dipandang dari 4 fase 5 sebab-akibat (visatakara)
Pembahasan yang pertama
adalah mengenai sudut pandang pertama, yaitu dari sudut pandang 12 faktor.
Namun sebagai peringatan, bahwa hanya dengan sudut pandang ini bila tidak
dicermati dengan baik, dapat mengakibatkan beberapa pandangan salah, yaitu:
memungkinkan munculnya pernyataan bahwa sebab pertama adalah Avijja (kebodohan batin). Pernyataan ini
menganggap bahwa ternyata mirip dengan pandangan agama lain, yang
ujung-ujungnya adalah ‘Mr. X’, dan ‘Mr. X’ di dalam Buddhism ternyata adalah ‘Avijja’.
Padahal tidak demikian, Avijja
bukanlah satu-satunya sebab pertama. Hal ini, memungkinkan munculnya pernyataan
bahwa Paţiccasamuppāda ini hanya
menyangkut tumimbal lahir dalam kehidupan lampau, kehidupan sekarang dan
kehidupan yang akan datang, padahal tidak demikian.
Nidana 12 atau kedua belas kondisi yang dapat menyebabkan
makhluk-makhluk mengalami proses tumibal-lahir berulang-kali. Secara singkat Nidana 12 dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Dikondisikan oleh kegelapan batin (avijja), terbentuklah kamma (sańkhara).
b.
Dikondisikan oleh sańkhara,
terjadilah tumimbal lahir (patisandhi).
c.
Dikondisikan oleh patisandhi,
terbentuklah batin (nāma) dan jasmani
(rupā).
d.
Dikondisikan oleh Nāma-rupā,
maka terdapat enam landasan indera (saļāyatana).
e.
Dikondisikan oleh saļāyatana,
terjadilah kontak (phassa).
f.
Dikondisikan oleh phassa,
terdapat perasaan (vedanā).
g.
Dikondisikan oleh perasaan (vedanā), terjadilah nafsu keinginan(taņhā).
h.
Dikondisikan oleh taņhā,
muncullah kemelekatan (upādanā).
i.
Dikondisikan oleh kemelekatan, muncullah bentuk-bentuk proses perbuatan untuk meneruskan (bhāva).
j.
Dikondisikan oleh bhāva,
terjadilah kelahiran (jāti).
k.
Dikondisikan oleh jāti,
terjadilah usia tua (jarā) dan
kematian (marana).
Dalam rangkaian tersebut,
semua sebab menimbulkan akibat; selanjutnya akibat menjadi sebab untuk
menimbulkan akibat selanjutnya.
Jadi, mengapa terjadi
kematian dan usia tua? Karena ada kelahiran. Mengapa terjadi kelahiran? Karena
ada kamma yang mempertahankan
kemelekatan. Mengapa ada kamma yang
mempertahankan kemelekatan? Karena ada kemelekatan. Mengapa ada kemelekatan?
Karena ada nafsu keinginan yang terus-menerus. Mengapa ada nafsu keinginan?
Karena dikondisikan oleh perasaan. Mengapa ada perasaan? Karena ada kontak.
Mengapa ada kontak? Karena ada enam landasan indera. Mengapa ada enam landasan
indera? Karena ada batin dan jasmani. Mengapa ada batin dan jasmani? Karena ada
tumibal lahir/proses penerusan kehidupan. Mengapa ada proses penerusan? Karena
ada berbagai perbuatan. Mengapa berbagai perbuatan? Karena dikondisikan oleh
kegelapan batin.
Beberapa hal yang perlu diingat, bahwa Avijja bukanlah sebab pertama. Jarā-marana juga bukan menjadi penyebab Avijja.
Inilah gambaran umum Paţiccasamuppāda Sang Buddha menggunakan
rumusan ini untuk menjelaskan sebab-musabab penderitaan dan cara agar terbebas
dari penderitaan.
Karena terkikisnya avijja hingga musnah, maka tidak ada
lagi bentuk-bentuk perbuatan yang menyeret ke arah tumibal-lahir. Selanjutnya
tidak ada lagi proses tumibal-lahir, artinya tidak ada lagi kelahiran, dengan
demikian tidak ada lagi usia tua dan kematian, tidak ada lagi ratap tangis,
keluh kesah, tidak ada lagi penderitaan.
No comments:
Post a Comment