KETELADANAN
Oleh: B. Upasamo
Namo Tassa Bhagavato Arahato
Sammāsambuddhasssa
Yo ca Buddhañca Dhammañca Saṅghañca saranaṁ gato cattāri ariyasaccāni sammappaññāya passati
Ia yang telah berlindung pada
Buddha, Dhamma, Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, teladan berarti
sesuatu yang patut ditiru, atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan,
kelakuan, sifat, dan sebagainya).
Dalam kehidupan sehari-hari, yang sering kita
jadikan teladan adalah orang tua kita, tetapi sering tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Kita merasa orang tua kita terlalu pengatur, suka marah, dan tidak
mengerti akan diri kita. Kita lalu beralih ke paman atau bibi , tetapi ternyata
juga tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kita menjadi kacau karena merasa
orang-orang yang dekat, yang kita banggakan, ternyata tidak sesuai dengan
harapan. Kita kemudian beralih ke teman yang kita rasa bisa diandalkan. Tapi ternyata, kita pun kecewa,
teman kita tidak seperti yang kita harapkan. Jika tidak mendapatkan sosok yang
bisa kita teladani, kita menjadi bimbang dan ragu atas apa yang kita lakukan.
Mengapa kita memerlukan keteladanan? Karena Untuk
mendapatkan pengakuan atau penghargaan
atas apa yang dilakukan. Dengan adanya keteladanan, maka ucapan dan perbuatan
yang kita lakukan, terasa benar karena sesuai dengan orang-orang yang kita
teladani.
Kita semua memerlukan seseorang yang bisa kita
jadikan teladan. Guru agung kita sendiri, Buddha Gotama pun menginginkan hal
itu. Ketika Beliau mencapai pencerahan dan berpikir, akan berbahagia bila saya
bisa mengantungkan hidup saya pada seseorang, tempat untuk bertanya dan
diskusi, yang bisa saya tinggikan.Tapi saya tidak melihat ada manusia, petapa,
dewa, mara, atau brahmana yang bisa saya jadikan sandaran. Tidak ada satu
makhluk pun yang menyamai saya dalam sila, samadhi, dan pañña, jadi biarlah
saya menjadikan Dhamma sebagai sandaran saya.
Jadi kita semua memerlukan keteladanan, tetapi
tentunya kita tidak bisa meneladani orang tua kita sepenuhnya, demikan pula
paman dan bibi serta teman-teman kita. Mengapa? Karena mereka bukan orang suci.
Mereka juga melakukan banyak kesalahan dalam hidupnya. Mereka memiliki
kelebihan dan juga kekurangan. Jadi kita tidak perlu marah dan kecewa kepada
mereka. Mereka pun memerlukan keteladanan dalam hidupnya.
Lalu siapakah yang bisa kita jadikan teladan dalam
menjalani kehidupan sehari-hari ? Teladan terbaik adalah kepada Tiratana:
Meneladani Buddha
Bagaimana kita bisa menjadikan Buddha sebagai
teladan?
Dengan mengetahui riwayat hidupnya.
Beliau adalah seorang pangeran yang selalu
diliputi oleh kesenangan indria. Memiliki tiga istana untuk setiap musim.
Setiap hari disunguhi nyanyian dan tarian oleh pelayan, yang semuanya perempuan
muda dan cantik, makanan yang enak dan mewah. Beliau dianugerahi kekayaan dan
ketampanan.
Namun walaupun begitu, beliau tidak menjadi
sombong dan congkak. Berapa banyak diantara kita, ketika kita memiliki
kelebihan dari orang lain, kita merasa hebat dan sombong, tinggi hati
menyelimuti kita. Kesombongan dan kecongkakan ini membuat kita cepat marah,
cepat tersinggung jika tidak diakui, jika tidak dipandang dan dihormati orang
lain. Kita selalu ingin menang dan diprioritaskan. Kita selalu ingin dihargai
orang lain. Tentu hal ini membuat kita bertambah susah.
Beliau juga memberi contoh, jangan larut dalam
kesenangan indria karena kesenangan indria tidak akan pernah terpuasakan. Jadi
hiduplah sederhana, kendalikan keinginan yang tidak pernah habis dan
terpuaskan. Kita bisa mengalaminya sendiri. Ketika tercapai satu keinginan,
muncul lagi keinginan yang lainnya. Mereka tidak akan pernah cukup.
Mengendalikan keinginan dan kesenangan indria akan mendatangkan kebahagiaan.
Saat beliau memutuskan menjadi petapa,
meninggalkan segala kesenangan dan kemewahan, beliau melakukan hal itu karena
cinta kasih yang sangat besar kepada kita. Dengan perjuangan keras, beliau
menjadi Buddha. Ini menjadi satu teladan penting. Ketekunan dan perjuangan
diperlukan untuk mencapai apa yang kita cita-citakan. Jangan mau gampangnya,
instant, tidak mau susah-susah. Jika berpikir mau mudah saja, kita menjadi
orang yang lemah, ada kesulitan sedikit saja kita menyerah. Tanpa perjuangan
dan ketekunan, bisa membuat kita mencapai cita-cita kita dengan cara yang
curang.
Selama empat puluh lima tahun berjuang menyebarkan
Dhamma demi kebahagiaan bukan saja untuk keluarganya, tapi untuk semua makhluk,
baik dewa maupun manusia. Beliau hanya tidur satu jam saja, hidupnya
benar-benar ditujukan untuk menyebarnya Dhamma. Karena itu mari kita
mempergunakan waktu kita dengan sebaik-baiknya berkarya bukan hanya untuk
keluarga kita, tapi untuk semua makhluk.
Dalam mengajar, semua tindakan dan ucapannya demi
kebaikan semua makhluk, demi kepentingan dan perkembangan batin semua makhluk
hidup. Tentu ini teladan yang luar biasa. Sudahkah kita melakukan sesuatu untuk
kebaikan banyak orang?
Sebenarnya, banyak teladan yang bisa kita dapat
dari seorang Buddha, karena beliau adalah yang tercerahkan sempurna, sempurna
pikiran, ucapan, dan perbuatan beliau, tapi hanya beberapa saja yang saya
berikan disini. Anda sendiri tentu bisa memberikan teladan yang lainnya yang
bisa anda jadikan contoh dalam kehidupan anda sehari-hari.
Mari, kita menjadikan Buddha sebagai teladan dalam
kehidupan sehari-hari.
Meneladani Dhamma
Buddha mengatakan, setelah Aku tiada, Dhamma dan
vinaya itulah penggantiku. Buddha juga mengatakan siapa yang melihat Aku
berarti ia melihat Dhamma, siapa yang melihat Dhamma berarti ia melihat Aku.
Jadikanlah Dhamma sebagai pelindungmu, bukan yang lainnya. Karena itu, walaupun
Buddha sudah tidak ada di dunia ini, Beliau meninggalkan Dhamma sebagai
penggantinya.
Bagaimana meneladani Dhamma dalam kehidupan
sehari-hari?
Yaitu dengan melihat Dhamma. Bisakah kita melihat
Dhamma? Dhamma itu berada sangat dekat dengan kita. Keluarlah dari pintu
rumahmu, lihatlah sekeliling, banyak daun berguguran di lantai. Daun yang jatuh
di lantai, itulah Dhamma. Daun itu awalnya masih muda dan mengkilat, lalu
menjadi tua, kuning layu, dan akhirnya jatuh di lantai. Demikian dengan diri
kita. Sekarang masih muda, nanti kita pun akan layu.
Jika sulit melihat pohon, bukalah album foto. Di
sana ada orang tua kita juga ada diri kita. Lihatlah. Dulu di foto ini, ayah
dan ibuku masih muda, sekarang mereka sudah ubanan. Di foto itu waktu saya
masih kecil, sekarang saya sudah dewasa. Ternyata kita terus mengalami
perubahan menuju ketuaan. Itulah contoh Dhamma. Tentunya banyak contoh Dhamma yang ada di sekitar kita. Bisakah
anda melihatnya?
Satu keuntungan dari Dhamma adalah tidak lapuk
oleh waktu. Dhamma yang kita pelajari sekarang akan sama di masa depan. Tidak
berubah oleh waktu dan tempat, berlaku kepada siapa saja, suku, atau bangsa apa
saja.
Tapi kalau kita mau merasakan manfaat Dhamma,
harus dilaksanakan masing-masing oleh diri sendiri, tidak boleh diwakilkan.
Jadi kalau kita mau merasakan manfaat meditasi, kita tidak bisa meminta orang
lain untuk bermeditasi untuk kita.
Suatu ketika, Buddha Gotama berada di hutan
bersama para bhikkhu, kemudian Beliau mengambil daun yang diletakkan dalam
genggamannya dan berkata, para bhikkhu, mana yang lebih banyak, daun di
genggaman saya atau daun yang ada di hutan ini. Para bhikkhu menjawab, daun
yang ada di genggaman Sang Bhagava sangat sedikit dibandingkan daun yang ada di
hutan ini. Daun yang ada di hutan ini sangat banyak. Demikianlah para bhikkhu,
hanya sedikit Dhamma yang kuajarakan kepada kalian, Dhamma yang kuketahui
sangat banyak. Mengapa saya hanya mengajarkan sedikit kepada kalian, karena hal
itu membawa pada pelenyapan penderitaan.
Jadi, kita tidak terlalu penting belajar banyak.
Yang penting adalah apa yang kita pelajari itu bisa kita praktekkan sehingga
membebaskan kita dari penderitaan.
Inti dari Dhamma adalah tidak berbuat keburukan,
mengembangkan kebaikan, sucikan pikiran. Inilah yang bisa kita jadikan teladan
dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, sudahkan saya
mengurangi bahkan tidak melakukan hal-hal yang buruk? Apakah saya ada
mengembangkan perbuatan baik dan mensucikan pikiran? Tentunya hanya diri kita
sendiri yang mengetahui hal itu.
Dalam kehidupan sehari-hari berupaya mempraktekkan
lima sila, maka kita akan terhindar dari perbuatan buruk. Lalu kita berupaya
mengembangkan jalan mulia berunsur delapan. Inilah upaya kita mengembangkan
kebaikan dan menyucikan pikiran. Dengan kata lain, apakah setiap hari saya ada
mengembangkan sila, samadhi, dan pañña?
Sudahkah kita mempraktekkan Dhamma dalam kehidupan
sehari-hari? Jika sudah sebenarnya kita bisa menjadikan diri kita sendiri
teladan. Tidak perlu lagi kita melihat keluar siapa yang bisa kita jadikan
teladan. Ini karena kita sudah hidup dalam Dhamma.
Mari, kita menjadikan Dhamma sebagai teladan dalam
kehidupan sehari-hari.
Meneladani Sangha
Sangha adalah kumpulan para bhikkhu. Para bhikkhu
ada dua jenis, ada yang sudah mencapai kesucian dan ada yang belum. Yang
mencapai kesucian itu sedikit, sedangkan yang masih berlatih banyak. Kita
mungkin sulit menemukan para bhikkhu yang sudah mencapai kesucian, kita lebih
banyak bertemu dan bergaul dengan para bhikkhu yang masih berlatih. Karena itu
dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin melihat tingkah laku para bhikkhu
yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kita sering berharap para bhikkhu
adalah panutan kita, tetapi sering tidak sesuai dengan harapan. Tentulah kita
tidak perlu kecewa karena seperti yang disebutkan di atas, para bhikkhu itu
masih berlatih, tentu adalah wajar jika masih berbuat salah. Mereka juga
mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Orang sering berkata, menjadi bhikkhu itu enak.
Segala sesuatu diurus dan ditanggung umat. Tentu ini memerlukan pemikiran yang
lebih jauh. Jika menjadi bhikkhu itu enak, mengapa yang mau menjadi bhikkhu itu
sangat sedikit. Dengan vihara yang semakin banyak dan harapan supaya setiap
vihara dihuni oleh bhikkhu, ini seperti mimpi. Jumlah vihara tidak sebanding
dengan jumlah bhikkhu.
Setiap tahun diadakah pabbajja samanera dengan
harapan supaya bisa terjaring orang-orang yang berminat menjadi bhikkhu, tapi
ini tidak sesuai harapan. Yang ingin menjadi bhikkhu sangat sedikit.
Untuk menjadi seorang bhikkhu tentu tidak mudah
karena berbeda dengan kehidupannya sehari-hari. Tentunya ini memerlukan
perjuangan. Dia harus belajar hidup sederhana dan bisa menerima keadaan apapun.
Dimulai dengan menjadi seorang samanera dua minggu.
Banyak yang mempergunakan kesempatan ini untuk uji coba saja, untuk merasakan
bagaimana sih rasanya memakai jubah. Ada yang mengikutinya karena iseng saja,
yaitu untuk mengisi waktu liburan, daripada tidak tahu mau kerja apa saat
liburan, jadi samanera saja, begitu pikiran banyak orang. Orang yang
sungguh-sungguh ingin berlatih sangatlah sedikit jumlahnya.
Bagi yang sungguh-sungguh ingin berlatih, setelah
dua minggu bisa dilaluinya, dia akan melalui tahap selanjutnya, tiga bulan,
dimana dua bulan diisi dengan meditasi. Jika dia masih sanggup, dia akan
melalui tahap selanjutnya, yaitu samanera dua tahun. Dia diharap bisa belajar
Dhamma lebih mendalam dan juga pengabdian kepada masyarakat luas. Jika bisa
melalui semua tahap ini, ia bisa menjadi seorang bhikkhu.
Dari sini kita lihat, untuk menjadi seorang
bhikkhu tidak mudah. Memerlukan kesungguhan, ketekunan, dan perjuangan. Karena
apa yang dilakukannya, sungguh berbeda dengan kehidupannya sebelumnya. Itu
sebabnya jumlah bhikkhu sangat sedikit. Setelah menjadi bhikkhu, dia akan
dihadapkan lagi dengan bukan hanya harus membina dirinya, tapi juga harus
membina masyarakat luas. Karena itu, sering kita jumpai bhikkhu yang sibuk.
Mereka bukan saja memikirkan diri mereka sendiri, mereka juga berharap Dhamma bisa
tersebar luas, sehingga banyak orang yang dapat merasakan manfaat praktek
Dhamma. Maka mereka pun melakukan pelayanan kepada masyarakat luas, baik
melalui ceramah, dan lain-lain.
Mengenai bhikkhu yang lepas jubah, kita tidak
perlu kaget dan kecewa. Mereka masuk Sangha dengan senang hati dan tanpa
paksaan. Demikian pula, jika mereka tidak lagi berbahagiah dalam Dhamma Vinaya,
dengan senang hati dan tanpa paksaan, mereka bisa keluar. Jadi kita tidak perlu
kecewa karena ini. Banyak hal-hal yang bisa kita jadikan teladan dari seorang
bhikkhu.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka berupaya hidup
sesederhana mungkin. Dimulai dari makan dua kali sehari, bahkan ada yang makan
sehari sekali. Dengan melakukuan hal ini, batin mereka menjadi lebih kuat,
badan jasmani pun menjadi sehat. Mereka tidak perlu binggung dan kacau, mau
makan apa nanti sore atau malam? Dengan melakukan hal itu, mereka jadi
mempunyai waktu lebih untuk membina masyarakat atau pun bermeditasi.
Pakaian atau jubah yang mereka pakai, hanya
terdiri dari dua set dengan model yang sama. Seorang bhikkhu, mau ke tempat
umum, pertemuan, rapat, bahkan ke rumah sakit atau rumah duka, akan memakai
jubah yang sama. Tentu ini satu kemudahan dibandingkan umat yang akan binggung
dengan pakaian yang harus disesuaikan dengan keadaan. Karena harus menyesuaikan
dengan keadaan, maka mereka harus mempunyai pakaian yang cukup banyak,
sedangkan seorang bhikkhu akan terbebas dari pemikiran tentang pakaian apa yang
akan dipakai.
Seorang bhikkhu benar-benar mengabdikan hidupnya
untuk Dhamma. Ketika memutuskan menjadi bhikkhu, maka bhikkhu itu menjadi milik
masyarakat umum. Mereka melayani siapa saja, dari kalangan siapa saja, yang
kaya maupun yang miskin. Mereka
tidak hidup berumah tangga. Dengan tidak hidup berumah tangga, itu merupakan
kesempatan bagi mereka untuk bisa lebih melayani banyak orang. Jika berumah
tangga, maka seseorang akan terkuras waktu dan tenanganya untuk keluarganya,
pasangannya, juga anak-anaknya. Karena itu, para perumah tangga tidak mempunyai
waktu yang lebih banyak dibandingkan para bhikkhu. Dengan waktu yang terkuras
untuk keluarga, mereka akan sulit untuk sepenuhnya mengabdikan dirinya dalam
Dhamma. Bahkan untuk meditasi mereka kadang tidak punya waktu. Sewaktu pulang
dari kerja, mereka sudah kelelahan.
Mari, kita menjadikan Sangha sebagai teladan dalam
kehidupan sehari-hari.
No comments:
Post a Comment