Memperhatikan prilaku manusia yang pada umumnya cenderung
mencari rasa aman melalui perlindungan kepada hal-hal gaib dan takhayul, serta
memperoleh sesuatu yang dianggap sebagai perwujudan dari pencarian yang telah
mereka lakukan selama ini, berikut diilustrasikan berbagai hal dan tindakan
manusia dalam mengubah nasibnya atau “takdir” yang katanya telah ditemukan itu.
Benyak orang yang pada saat mengalami hambatan dalam
hidupnya, misalnya: rugi dalam bisnis, rumah tangga berantakan, gangguan
kesehatan, atau menghadapi banyaknya kendala dan hambatan dalam hidupnya,
selalu pergi mencari “orang pintar” atau peramal nasib.
Manusia di dunia beraneka ragam. Ada yang sukses dan ada
yang gagal. Ada yang merasa bahwa manusia di dunia ini telah benar-benar telah
diatur nasibnya (sudah ditakdirkan) sedemikian rupa. Segala perubahan,
kehilangan harta dan kedudukan, gembira dan sedih, pertemuan dan perpisahan,
semuanya dianggap tidak terlepas dari pengaturan “nasb” atau “takdir”. Begitu
sakti dan hebatkah “takdir” itu? Sampai banyak orang yang selalu mencoba untuk
mengubahnya, tetapi kebanyakan orang tidak mengerti caranya sehingga hasinya
hanya sia-sia belaka. Ada yang pergi meramal nasibnya yang kurang bagus, selalu
bertanya apakah ada cara untuk mengubahnya? Jawabnya selalu “ada” atau “ada-ada
saja”.
Bagaimana caranya? Untuk menjawab itu harus dimengerti
terlebih dahulu, apa penyebab timbulnya nasib baik dan buruk? Dan apa ada yang
mengaturnya.
TERJADINYA NASIB BAIK DAN BURUK
Pada umumnya orang mengatakan bahwa saat seorang bayi
dilahirkan nasibnya sudah digariskan (ditakdirkan), sehingga peramal bisa
mengungkap nasib seseorang dari tanggal dan jam lahirnya. Di dunia ini ada yang
kaya, yang miskin, yang hidup enak, yang hidup sengsara. Apakah semua itu
ditentukan oleh dewa atau sesosok makhluk adikodrati yang memiliki kekuatan
sakti mandra guna? Kalau demikian benar adanya, sangatlah tidak adil dalam
kehidupan ini, karena orang yang bernasib buruk sering bertanya, “kenapa orang
lain bisa hidup begitu sedangkan hidup saya begitu sengsara?” apa yang
menyebabkannya?
Oran yang kehhidupan rumah tangganya berantakan, sering
bertanya, “kenapa rumah tangga tetangga lebih harmonis, sedangkan saya
berantakan?” lebih lanjut, sering kita
membaca berita di koran atau media lainnya mengenai peristiwa tabrakan dan
bencana yang menimpa. Tersentak kita berpikir, kenapa orang tersebut bisa
bernasib begitu buruk?
Umumnya para peramal menjawab pertanyaan tersebut, bahwa
semua itu dikarenakan tanggal dan jam lahirnya yang kurang bagus dan ada
ketidak-cocokan dengan unsur-unsur lainnya yang terkesan agak magis dan
takhayul. Menyambung jawaban tersebut, mengapa tidak ada yang mencoba bertanya:
Kenapa manusia terlahir ada yang tanggal, jam lahirnya bagus dan ada yang jelek?
Kenapa yan menakdirkan itu begitu tidak adilnya? Jadi, jangan hanya berpikir
solusi atas hal-hal jelek yang timbul saja.
Mendalami hal di atas, terlebih dahulu harus dimengerti
dasar pemikiran dari yang sering kita dengar bahwa yang dikatakan nasib orang
itu juga disebabkan oleh kaidah “sebab dan akibat”. “Sebab dan akibat” ini
mempunyai makna bahwa karena perbuatan pada masa lampau maka kita akan menerima
akibat dari perbuatan tersebut pada masa sekarang. Dan hasil yang akan datang
ditentukan oleh hasil yang sekarang.
Dengan demikian, jika ingin mengetahui perbuatan pada
masa lampau, lihatlah kehidupan yang sekarang, dan jika ingin mengetahui
kehidupan kita pada masa yang akan datang lihatlah perbuatan kita yang
sekarang. Artinya: pada kehihdupan lampau kita menanam sesuatu perbuatan maka
pada kehidupan kini kita akan keketik hasilnya. Demikian juga jika pada masa
kini kita melakukan sesuatu perbuatan maka kita akan memetik hasilnya pada masa
yang akan datang.
Berikut dapat dilihat beberapa contoh yang membuat kita
bisa lebih mengetahui prinsip sebab-akibat dari perbuatan bajik atau jahat,
yaitu: menanam biji semangka akan berbuah semangka, menanam biji kacang akan
berbuah kacang. Prinsip demikian sangatlah adil, siapa yang berbuat dia yang
akan menanggung akibatnya (yang bertanggung jawab)
· Manusia
yang secara langsung atau tidak langsung, sering membunuh makhluk lain tanpa
adanya rasa sedih dan menyesal, mereka akan terlahir dengan kondisi berumur
pendek atau berpenyakitan.
· Manusia
yang berbudi luhur, yang tidak membunuh makhluk lain, mereka akan terlahir
dengan kondisi menikmati panjang umur.
· Manusia
yang sering memukul, menyiksa, menyakiti, dan melukai makhluk lain, mereka akan
terlahir dengan kondisi mendapatkan banyak penyakit.
· Manusia yang selalu dipenuhi kebencian dan
kemarahan, mereka akan terlahir dengan kondisi bermuka jelek.
· Manusia
yang bila melihat keberhasilan orang lain, kemudian menghalangi orang lain
supaya tidak berhasil, mereka akan terlahir dengan kondisi selalu gagal dan
banyak halangan.
· Manusia
yang tidak saling menghormati dan selalu bersikap sombong, mereka akan terlahir
menjadi orang yang hina dan tidak dihormati.
· Manusia
yang selalu memiliki rasa hormat terhadap orang lain yang patut dihormati dan
tidak pernah sombong, mereka akan terlahir menjadi orang yang selalu dihormati
dan disegani baik teman maupun lawan.
· Manusia
yang kikir dan tidak pernah mau berdana untuk menolong orang miskin atau selalu
serakah memanipulasi harta orang lain, mereka akan terlahir sebagai orang
miskin.
· Manusia
yang hidupnya penuh amal, tidak kikir dan sering berdana uuntuk menolong orang
miskin serta mau menyediakan obat-obatan untuk menolong mereka yang sedang
sakit, mereka akan terlahir menjadi orang kaya dan terpandang.
Selain contoh di atas, misal banyak lagi contoh lain
sebap akibat yang berdampak saling balas dendam atau saling balas budi antara
satu mahluk dengan mahluk lain.
Tidak jarang pula,”sebap akibat” terjadinya pada rentang
kehidupan yang sama. Misalnya, jika pada kehidupan ini banyak berbuat amal,
akibatnya juga terjadi pada masa kehidupan ini juga. Banyak juga yang akibatnya
setelah beberapa kali kelahiran berikutnya. Hal ini sangat tergantung pada
sedikit banyaknya amal kebajikan atu kejahatan yang pernah dilakukan.
PENENTU NASIB DAN PERINSIP MENGUBAH NASIB
Siapakah yang sebenarnya menentukan kita menjadi kaya,
miskin, berkedudukan, hina dina, suksesdan gagal? Beranjak dari uraian diatas,
semakin jelaslah bahwa penentu nasib kita bukan orang lain, melainkan diri kita
kitasendiri. Hal ini disebapkan karena yang terjadi pada kehidupan sekarang
ditentukan oleh perbuatan pada kehidupan lampau.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak kitan dengar orang
bertanya:
·
Saya banyak berbuat amal, banyak membantu orang, tetapi
kenapa banyak orang yang membenci saya?
·
Saya banyak berbuat amal, tetapi kenapa hidup saya banyak
men dapat halangan? Sedangkan orang lain yang penuh tipu muslihat, malah penuh
dengan kesuksesan?
Menjawab pertanyaan tersebut,
·
Yang dilakukan saat ini tidak harus atau selalu berakibat
begitu cepat di saat sekarang, ada yang akibatnya muncul pada hari tua dan
sebagian akibatnya sesuadah mereka dilahirkan kembali pada masa yang akan
datang.
·
Yang didapatkan sekarang, sebagian merupakan hasil
perbuatan pada masa lampau. Pada kehidupan sekarang banyak berbuat amal, tetapi
selalu hidup sengsara, banyak halangan. Ini semua karena perbuatan pada
kehidupan lampau yang berakibat pada kehidupan sekarang. Waktu yang diperlukan
dari satu sebap sampai berakibat atas perbuatan baik atau buruk tidaklah sama.
Misalnya, ada perbuatan buruk yang sudah kelihatan akibatnya, ada yang sampai
puluhan tahun baru muncul, ada yang muncul setelah kelahirankembali, ada yang
muncul setelah beberapa kali kelahiran. Bagi yang menanam kejahatan terlalu
besar, memiliki kemungkinan terlahir kembali menjadi binatang atau mahluk
renadah lainnya, atau bahkan dilahirkan beberapa kali di alam-alam tersebut.
Bagian terpenting dari hukum sebap-akibat ini adalah
hasil dari suatu perbuatan bajik atau jahat memiliki kondisi saling memengaruhi
dan saling tarik menarik, tetapai tidak bisa saling menghapus kebajikan dan
kejahatan yang telah dan akan dilakukan. Misalnya, pada kehidupan lampau banyak
menanam kebajikan, pada kehidupan kini seharusnya menikmati hasil kebajikan
selama puluhan tahun, tetapi pada kehidupan sekarang banyak melakukan kejahatan,
maka kadar hasil kebajikan yang dapat dinikmati akan menjadi berkurang.
Demikian juga berlaku sebaliknya. Inilah yang disebut “nasib, kita yang tentukan sendiri”, sekaligus
merupakan prinsip untuk mengubah nasibmenjadi seperti yang kita inginkan.
Bila seseorang pada kehidupan lampau dengan sengaja
ataupun tidak telah menentukan nasib jeleknya pada kehidupan sekarang (dengan
banyak berbuat jahat), mak dia harus cepat sadar untuk mulai banyak berbuat
kebajikan supaya kadar dari hasil kejahatan menjadi berkurang. Apabila
kebajikannya dilakukan secara konsisten, tidak terputus, maka akan tiba saatnya
menikmati hasil kebajikan tersebut dengan kadar yang lebih baik. Inilah prinsip
untuk mengubah nasib buruk menjadi nasib baik.
Ada sebuh kisah di zaman Dinasti Ming. Pada saat itu
hiduplah seorang bernama Yen Le Fan yang melakukan amal kebajikan untuk jangka
waktu panjang dan tanpa terputus. Hal itu telah mengubah nasibnya dari pendek
umur, tidak punya anak, tidak terkenal, menjadi sebaliknya.
Berikut cerita selengkapnya. Yen Le Fan tinggal di Jiang
Nan,melewati masa mudanya dengan keluarganya yang miskin. Suatu haru dia
mengunjungi kelenteng Chi Yin dan bertemu dengan seorang peramal hebat. Yen
mengundang si peramal ke rumahnya untuk meramal keluarganya. Ternyata semua
yang disebutkan benar-benar tepat dan saat giliran Yen diramal, siperamal dengan tidak ragu mengatakan bahwa
pada umur tertentu dia akan lulus ujian sarjana muda, pada umur tertentu akan
lulus sarjana, tetapi dia tidak akan lulus ujian untuk menjadi pejabat tinggi
dan hanya menjadi pegawai rendah, tidak akan punya anak, umur hanya 53 tahun,
meninggal pada tanggal 14, bulan 8, sekitar pukul 1-3 dini hari.
Setelah berselang beberapa tahun, semua yang diramalkan
tersebut benar-benar terjadi, sehingga Yen percaya bahwa nasib baik dan buruk
sudah ditentukan sejak lahir dan tidak mungkin untuk dilawan lagi. Sejak saat
itu Yen tidak pernah punya cita-cita lagi, dia hanya menjalani hidup sesuai
dengan nasib.
Seiring perjalanan waktu, suatu hari Yen pergi ke Nanjing
dan disana dia bertemu dengan seorang Bhikkhu. Bhikkhu tersebut menjelaskan
kepada Yen mengenai “hukum sebab-akibat” dan “prinsip nasib kita yang
menentuakan sendiri”. Bhikkhu tersebut juga manasehati Yen agar tidak menyerah
pada nasib.
Dari penjelasan Bhikkhu tersebut, Yen menjadi sadardan
mengambil keputusan untuk menciptakan nasibnya sendiri dengan cara sendiri.
Awalnya d. ia menyesali kesalahannya pada masa lampau, lalu bertekad untuk
melakukan 3.000 perbuatan amal. Sejak saat itu setiap hari dia mencatat
perbuatan baik dan buruknya di buku catatan. Belum sapai masa 2 tahun dan belum
genap 3.000 perbuatan amal, dia berhasil lulus ujian dan menajadi pejabat
tinggi. Hasil ramalan tersebut menjadi tidak tepat.
Sesudah itu dia bertekad lagi untuk melakukan 3.000
perbuatan amal dengan harapan memperoleh anak. Ternyata belu lewat setengah
tahun, dia berhasi mempunyai anak. Yen beserta isterinya sangat gembira dan
mereka menjadi lebih rajjin berbuat amal, menolong orang miskin dan orang
sakit, melepas mahluk hidup, dan membaca parittâ. Sesudah genap 3.000 perbuatan
amal, mereka tetap rajin beramal sampai akhir ayatnya, dan ternyata Yen Le Fan
hidup sampai umur 74 tahun. Dengan demikian semua nujum si peramal tadi tidak
berlaku lagi Yen yang memiliki tekad, semangat, dan giat melakukan perbuatan
amal.
d. Berkunjung kepantai jompo
Melakukan kunjungan kepantai jompo, kita dapat melihat
kehidupan nyata bahwa kita suatu hari akan menajdi tua. Ini adalah kenyataan
yang bisa kita lihat sendiri. Mereka tergabung di suatu pantai karenakan satu
dan lain hal. Sudah menjadi tugas kita untuk berbagi rasa dengan mereka, yang
merupakan kesempatan besar buat kita untuk berbuat kebajikan.
Saat melakukan kunjungan, kita bole saja membawa
oleh-oleh sesuai dengan kemampuan kita, misalnya membawa buah-buahan, kue, susu
bubuk, dan lainya. Mereka akan sangat gembira bila ada orang yang menjenguk.
Saat menjenguk kita dapat membantu mereka, misalnya mengambilakan air minum, berbincang,
merapikan pakaian, menyisir rambut, dan lainya. Coba perhatikan disaat kita
membagikan oleh-oleh, para orang tua tersebut menerima dengan tangan gemetar
dan mata berkaca-kaca sambil menyunggingkan senyum haru. Saat itulah kita dapat
merasakan perbuatan kita yang mengandung cinta kasih yang sangat mereka
butuhkan.
e. berkunjung kepantai asuhan
berkunjung kepantai asuhan juga merupakan kebajikan
karena hal itu didasari kerelaan dan ketulusan untuk mencurahkan kasih sayang
kepada anak-anak asuh yang tidak memiliki orang tua atu mereka yang dititpkan
oleh orang tuanya dengan alasan ekonomi keluarga. Tanpa adanya niat yang cukup,
kita tidak dapat melakukannya karena kondisi yang kita lihat tersebut sangat
berbeda dengan kondisi anak-anak pada umumnya. Mereka pada umumnya haus akan
kasih sayang misalnya mereka menerawang melihat pengunjuang, minta digendong,
ingin bermanja-manjan, gembira kalau dikunjungi, ada yang kurang terawat, dan
lainya. Kondiis yang menggugah kita untuk berbuat lebih banyak untuk mereka.
Mampukah kita mengembangkan kerelaan dan ketulusan untuk berbuat kebajikan?
Pada saat berkunjung kita boleh membawa oleh-oleh sesuai
dengan kemampuan kita, misalnya makanan, pakaian, maianan, dan lainnya.
Anak-anak asuh sejak kecil tidak pernah merasakan kehangatan kasih sayang kedua orang tuanya, dan tidak pernah merasakan
kehangatan suatu keluarga. Kunjungan kita dengan membawa oleh-oleh dan dengan
penuh rasa kasih sayang sangat mereka butuhkan. Hal ini merupakan aksi cinta
kasih yang sangat besar buat mereka.
f. mencetak buku Dhamma dan paritta
Dari berbagai cara berbuat kebajikan, mencetak buku
Dhamma dan paritta untuk mengembangkan Dhamma juga merupakan salah satu
kebajikan yang bernilai sangat tinggi. Mari kita perhatikan kalimat yang sering
kita simak berikut ini, “Sabbadanam Dhammadanam Jinati” (Dhammapada 354), yang
dapat diartikan “persembahan Dhamma melebihi persembahan apapun”. Suatu kalimat
yang menginspirasi kita untuk berbuat kebajikan melalui penyebaran Dhamma dalam
bentuk pencetakan buku Dhamma. Hal iini dikarenakan tidak semua orang punya
kemampuan dan pengetahuan yang cukup dalam mebabarkan Dhamma atau menjelaskan
Dhamma kepada orang lain.
Disamping itu, pencetakan buku Dhamma juga dapat
melestarikan Buddha-dhamma. Mencetak buku Dhamma dan paritta dilakukan untuk
membantu semua orang agar dapat mengenal Dhamma melalui membaca. Dengan
demikian diharapkan bisa mengubah orang yang memiliki kebiasaan tidak benar
menjadi benar, orang yang berada di jalan sesat dapat kembali ke jalan yang benar.
Mencetak buku Dhamma dan paritta untuk disebar ke orang lain menghasilkan jasa
kebajikan yang sangat besar. Tetapi sekali lagi besarnya amal kebajikan bukan
diukur dari banyaknya tiras cetakan yang diberikan, tetapi kerelaan dan
ketulusan dari pelakunya.
Untuk
mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat Buddha disarankan untuk
melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran.
Setelah berbuat kebaikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan
tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Upaya mengarahkan
buah kebajikan ini secara tradisi biasanya dilakukan dalam tiga tahap. Seperti
halnya menulis surat tentu membutuhkan kalimat pembuka sebelum mengutarakan maksud
atau isi yang sesungguhnya sebelum ditutup dengan kalimat penutup. Demikian
pula kalau mendatangi rumah seseorang, maka biasanya diawali dengan pembicaraan
yang santai, ramah dan penuh persaudaraan sebelum membahas masalah yang
sesungguhnya. Setelah itu, barulah acara ramah tamah ditutup kembali dengan hal
yang ringan sebelum berpamitan pulang. Demikian pula ketika umat Buddha
menyampaikan keinginan ataupun harapannya dalam upacara ritual Buddhis. Pada
mulanya dibuka dengan mengingat Ajaran Sang Buddha. Disebutkan ‘mengingat'
karena untuk membedakan dengan istilah ‘memuji'. Dalam ritual Buddhis, tidak
dilakukan pujian kepada Sang Buddha karena tindakan tersebut tidak bermanfaat.
Sang Buddha sudah tidak terlahirkan kembali. Dengan demikian, pujian tidak lagi
memberikan pengaruh kepada Beliau. Oleh karena itu, ingatan pada kotbah atau
Ajaran Sang Buddha dirumuskan sebagai, “Sesuai dengan benih yang ditabur,
demikian pula buah yang akan dituai. Menanam kebajikan akan tumbuh
kebahagiaan.” Perenungan atau ingatan ini berhubungan dengan Hukum Sebab dan
Akibat atau lebih dikenal dengan Hukum Kamma. Setelah dibuka dengan perenungan,
selanjutnya diungkapkan harapan atau keinginan yang dimiliki dengan
menyebutkan, “Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai saat
ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk...... “ yang dapat diisi, misalnya
: banyak rejeki, panjang umur, sehat kuat dan bersemangat, serta masih banyak
lagi isian sesuai dengan keinginan yang dimiliki.
Dengan
diawali perenungan pada hukum sebab dan akibat, maka seseorang akan lebih
menyadari bahwa apabila ia menginginkan kebahagiaan, ia hendaknya melakukan
kebajikan terlebih dahulu kepada fihak lain. Seperti halnya tanam padi akan
panen padi, demikian pula apabila seseorang menanam kebajikan, ia pun akan
memetik kebahagiaan. Jika ia menanam pelepasan mahluk dari penderitaan, maka ia
pun akan terlepas dari berbagai kesulitan yang sedang dihadapi. Demikian
seterusnya. Apabila telah cukup banyak kebajikan yang dilakukan, maka tentu
kebahagiaan seperti yang diharap pun akan dapat terwujud. Kalaupun masih ada
keinginan yang belum terwujud, ia akan selalu bersemangat untuk melakukan
kebajikan karena ia telah menyadari bahwa semua kebajikan yang ia lakukan tidak
akan pernah hilang begitu saja.
Apabila
ungkapan permintaan itu telah dibuka dan didahului dengan perenungan pada Hukum
Kamma atau Hukum Sebab dan Akibat, maka sebagai penutup umat Buddha dapat
mengucapkan berkali-kali kalimat, “Semoga semua mahluk berbahagia' yang
artinya, ia sendiri adalah mahluk, semoga ia bahagia dengan tercapai segala
harapannya. Keluarganya juga mahluk, semoga keluarganya bahagia sesuai dengan
kondisi kamma mereka masing-masing. Bahkan, musuh-musuhnya pun adalah mahluk,
semoga mereka semua berbahagia sesuai dengan keinginan yang mereka miliki.
Dengan mengucapkan kalimat penutup seperti ini, maka umat Buddha diarahkan
untuk mengingat kebahagiaan fihak lain selain diri sendiri. Kebahagiaan kepada
fihak lain ini diwujudkan dengan memancarkan pikiran cinta kasih kepada semua
mahluk, bahkan kepada para musuhnya. Sesungguhnya, dengan seseorang mampu
mengharapkan semua mahluk berbahagia, maka dirinya sendiri pun akan mendapatkan
kebahagiaan sesuai dengan harapan yang telah dimiliki selama ini.
Jadi,
secara lengkap, rumusan ungkapan permintaan ataupun ‘doa' dalam tradisi Buddhis
ini terdiri tiga tahap seperti yang telah diuraikan di atas yaitu: “ Sesuai
dengan benih yang ditabur demikian pula buah yang dituainya, menanam kebajikan
maka akan memperoleh kebahagiaan. Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya
lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….. (diisi:
panjang umur, sehat, sukses dsb.). Semoga semua mahluk berbahagia.” Dengan
rumusan ‘doa' seperti ini, umat Buddha akan selalu bersemangat untuk mengembangkan
kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran karena ia sadar bahwa
kebahagiaan akan dapat dirasakan melalui upaya kebajikan yang ia kerjakan. Ia
tidak akan pernah menyalahkan fihak lain atas penderitaan yang ia alami.
Sebaliknya, ia pun tidak akan menganggap ada fihak lain yang membuatnya
bahagia. Suka duka adalah bagian dari buah perbuatan yang ia lakukan selama
ini. Ia akan selalu bersemangat untuk melaksanakan lima latihan kemoralan yaitu
berusaha tidak melakukan pembunuhan, pencurian, perjinahan, bohong maupun
mabuk-mabukan. Ia juga akan tekun melaksanakan latihan pengembangan kesadaran
atau meditasi. Dengan demikian, ia akan selalu sadar pada saat ia sedang
bertindak, berbicara maupun berpikir. Kesadaran yang penuh akan hidup saat ini akan
mengkondisikan seseorang mencapai kebebasan dari ketamakan, kebencian serta
kegelapan batin. Pada tingkat inilah seseorang disebut mencapai Nibbana atau
Tuhan dalam Agama Buddha. Jadi, pencapaian Tuhan atau Nibbana ini tidak harus
dialami ketika seseorang telah meninggal, namun juga bisa dalam kehidupan ini
juga. Sekarang juga.
Sebagai
kesimpulan, sudah jelas sekarang bahwa tujuan hidup seorang umat Buddha adalah
untuk mencapai kebahagiaan. Dalam Dhamma disebutkan adanya tiga tujuan hidup
yaitu berbahagia di dunia ini, berbahagia setelah kehidupan ini yaitu mencapai
alam surga atau alam bahagia lainnya. Kemudian, sebagai tujuan hidup yang
tertinggi adalah kebahagiaan Nibbana atau Tuhan Yang Mahaesa. Tentu
saja, Nibbana bukan surga atau alam, namun terbebas dari kelahiran
kembali yang dapat dicapai dalam kehidupan ini juga. Agar seseorang dapat
mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu Nibbana, maka ia hendaknya selalu
berusaha melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara terus menerus. Adapun
Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan
Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Daya Upaya Benar, Perhatian
Benar dan Konsentrasi Benar. Dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan
ini seseorang paling tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup ini. Dan,
apabila timbul keinginan atau harapan, maka ia dapat mengucapkan tekad yang
terdiri dari tiga bagian yaitu pembuka, isi serta penutup seperti yang telah
diuraikan di atas.
Cara
mengungkapkan harapan atau keinginan dalam tiga bagian tersebut dapat
dipergunakan dimanapun seseorang berada tanpa menimbulkan pertentangan maupun
permusuhan dengan fihak lain. Cara tersebut dapat dipergunakan di berbagai
tempat ibadah Buddhis maupun bukan.
Inilah yang
perlu disampaikan pada kesempatan ini. Semoga uraian Dhamma ini akan memberikan
manfaat serta kebahagiaan untuk para umat dan simpatisan Buddhis.
Semoga Anda
semua berbahagia.
Semoga semua
mahluk selalu berbahagia.
Semoga
demikianlah adanya.
No comments:
Post a Comment