"Wah elu belum tahu yah, si Tik-tok itu orangnya fanatik berat deh! Kayaknya dianya yang paling benar aja.
Apakah Anda sebagai seorang aktivis Buddhis pernah mendengar ocehan semacam itu? Atau anda yang sering dituduh begitu? Hal ini tak jarang anda jumpai bila Anda sering berkomunikasi dengan orang lain. Lantas apakah Anda akan mundur, menarik langkah-langkah Anda yang telah tertapak. menyerah karena kritikan-kritikan dan baru mau jalan bila mendapat berbagai pujian?
Sang Buddha bersadha pada pemula Atula, "Ini pepatah kuno O Atulaw! Bukan hanya sekarang; mereka mencela orang yang duduk diam, pun mencela orang yang banyak bicara. Mereka juga mencela orang yang sedikit bicara. Tiada seorang pun yang tidak dicela".
Dengan demikian kita tak perlu dengar pada kritikan. Kita dapat mengambil manfaat dari kritikan-kritikan dengan berpikir secara bijaksana, mengambil masukan yang memang baik dan benar. Tidak semua kritikan itu buruk.
Kemanisan adalah penyakit. Kepahitan adalah obat. Sanjungan bagaikan manisan. Jika berlebihan dapat mendatangkan sakit. Kritikan bagaikan pil pahit. Bagai alat suntik yang menyakitkan. Tapi terkadang dapat menyembuhkan.
Di lain pihak ada kasak-kusuk, 'mbok' kita sebagai umat Buddha sedikit banyak menunjukkan eksistensi (keberadaan) dalam mengembangkan sayap-sayap, salah satu carannya adalah menanamkan rasa memiliki, percaya diri, dan sedikit banyak rasa peka atau fanatik terhadap agama kita, karena dengan menanamkan semangat besar dan diselipkan rasa fanatik yang tak over dosis, kita akan mampu maju, mampu menggerakkan sayap-sayap yang telah lama membeku. Tanamkanlah jiwa kefanatikan secukupnya agar umat Buddha terutama generasi muda sebagai ujung tombak tidak melempem dalam menunjukkan kiprahnya, agar tak mudah goyah diterjang ajaran-ajaran lain, agar umat Buddha tidak banyak yang lari pindah ke agama lain, agar........ ya, masih banyak lagi!
Lepas dari pentingnya rasa fanatik itu, marilah kita coba kupas dari salah satu sisi, apa sebenarnya fanatik itu?
'Fanatik" menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan PN Balai Pustaka diartikan sebagai teramat kuat kepercayaannya (keyakinannya) terhadap ajaran (politik, agama, dsb).
Memang sepantasnya sebagai umat Buddha kita menambah pengetahuan dhamma kita, agar benang-benang keyakinan dalam diri kita semakin terjerat erat. Namun dalam perkembangannya saat ini, kefanatikan justru mengakibatkan semakin dalamnya jurang antara berbagai sekte dalam agama Buddha sendiri.
Banyak yang salah mengartikan dan menerapkan kefanatikan itu. Kefanatikan yang ditanamkan umumnya hanya untuk kepentingan golongannya sendiri, sehingga tidak jarang anta sesama umat Buddha sendiri saja sering terjadi sikut-menyikut, dan gontok-gontokan. Siapa kuat siapa menang. Apa itu tujuan kita?
Masing-masing pihak selalu berusaha menunjukkan bahwa merekalah yang terbaik.
Agama Buddha pernah menjadi agama negara, yakni pada masa pemerintahan Sriwiwjaya dan Mojopahit, namun kemudian perkembangannya menjadi mundur, seakan Buddhisme terlelap untuk waktu yang cukup lama. Hingga pada awak abad ke 20 Buddhisme mulai bangkit dari tidur panjangnya di bumi Nusantara. Dalam perkembangannya lahirlah berbagai organisasi Buddhis, muncuk dengan tekaed mengemban misi suci "mengembangkan Buddha Dhamma di bumi pertiwi ini", walau pada akhirnya malah dapat dirasakan agama Buddha di Indonesia sedikit umatnya, namun sarat dengan beragam organisasi. Hal ini lebih diperparah lagi dengan jarak yang makin melebar antar organisasi-organisasi tersebut.
"Sangat disayangkan sekarang ini generasi mudanya berkelompok, dipengaruhi oleh para senior yang fanatik terhadap kelompoklnya dalam arti sempit. Seharusnya kita membina umat, terutama generasi muda tidak menuju kefanatikan yang membuta, tapi membimbing mereka ke arah yang baik sesuai ajaran yang benar," ujar seorang pemuka Buddhis.
Lantas di luar keburukan-keburukan itu, apakah tiada nilai-nilai positif yang terpenting yang dapat diambil dari kefanatikan itu? Mari kita renungkan sejenak.
Kita ambil contoh dari luar Buddhis, dimana kemajuan suatu organisasi/agama amat tergantung dari pengikut-pengikutnya. Mereka dapat maju karena rasa memiliki yang amat dalam. Dalam bahasa kasarnya, rasa kefanatikan mereka amat tebal, sehingga mampu memberikan suatu
Buddhisme bukan untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Kita bukan mau mempropagandakan agama Buddha, tapi kita hanya membabarkan ajaran Sang Guru Junjungan kita, Sang Buddha, kilah kita.
Lantas mau apa lagi?
(Dikutip dari Majalah Dharma Prabha No.14/Juni/1991. Dimuat atas izin GMCBP,
No comments:
Post a Comment