Awal bulan Maret 1997 lalu, dunia
kembali dihangatkan oleh isyu kloning. Malah, tak berlebihan bila dikatakan
isyu ini menggegerkan dunia. Betapa tidak, bila kloning (pada manusia) kelak
berhasil dilaksanakan maka seluruh peradaban manusia akan berubah secara sangat
dramatis. Bagaimana pandangan agama Buddha?.
MENGAPA GEGER?
Usaha kloning sebenarnya bukan usaha baru. Sejak bertahun-tahun para sarjana
terus meneliti kemungkinan membuat satu individu baru tanpa harus mempertemukan
unsur jantan (spermatozoa) dengan unsur betina (ovum). Masing-masing sarjana di
beberapa institut riset mengembangkan metodanya masing-masing. Masing-masing
dengan "sepotong" keberhasilan yang kemudian mengilhami penelitian
lainnya lagi. Dalam penelitiannya, sarjana Ian Wilmut dari Roslin Institute di
Edinburgh - Inggeris, menggunakan tiga ekor domba betina. Domba pertama
digunakan DNA-nya, yang diambil dari satu sel ambing-nya (kelenjar susu); domba
kedua digunakan sel telur-nya (ovum), setelah membuang DNA-nya terlebih dahulu.
Sel berisi DNA (dari domba pertama) lalu didekatkan dengan ovum tanpa DNA (dari
domba kedua) seperti dua busa sabun yang ditempelkan satu sama lain. Dengan kejutan
listrik (yang mirip dengan kejutan listrik yang terjadi pada pembuahan alami)
sel ovum ini ternyata menerima DNA dari domba pertama. Ternyata lagi, ovum yang
sudah "dibuahi" ini berkemampuan membelah diri berkembang menjadi
emrio. Lalu terakhir, embrio ini dimasukkan ke kandungan domba yang ke tiga.
Setelah sekian bulan, lahirlah "Dolly" - mammalia pertama yang
dilahirkan tanpa ayah
(dalam arti sesungguhnya). Untuk diketahui DNA adalah
bagian dari inti sel yang berisi "informasi" atau "blue
print" tentang bagaimana model - fisik dan mental - dari individu yang
akan dihasilkan.
Walau, keberhasilan diatas bukanlah kloning murni karena melibatkan tiga
individu (domba), namun yang istimewa dari keberhasilan Ian Wilmut dan
kawan-kawannya adalah bahwa ketiga-tiganya dalah domba betina, dan sel yang
diambil adalah sel dewasa. Untuk diketahui penelitian sebelumnya, diantaranya
Jerry Hall dari Amerika Serikat di tahun 1993, menggunakan sel embrio - sel
yang memang diketahui bisa membelahdiri dan berkembang menjadi satu individu
utuh. Sedangkan Ian Wilmut menggunakan sel dewasa (dari domba dewasa) tapi
ternyata bisa menjadi domba utuh. Sebelumnya, dikatakan bahwa satu sel dewasa
hanya bisa berkembang menjadi sel serupa. Sel otak menjadi sel otak, sel tulang
menjadi sel tulang dan seterusnya. Dalam kasus "Dolly", sel ambing
(kelenjar susu) ternyata mempunyai kemampuan menjadi domba utuh - Si Dolly.
Penelitian Ian Wilmut, tampaknya akan menjadi pelopor dalam penelitian yang
akan menghasilkan kloning murni, yakni individu yang dihasilkan dari satu
individu dewasa. Lembaga perkawinan sebagai lembaga yang bertujuan untuk
menghasilkan keturunan dengan sendirinya terancam. Peradaban manusia akan
berubah sama sekali. Pantas geger!
KAPAN GILIRAN MANUSIA?.
Sarjana Ian Wilmut berkeyakinan bahwa kloning terhadap manusia sudah bisa
dikembangkan dalam dua tahun kemudian, namun secara resmi usaha penelitian
kloning pada manusia secara resmi dilarang oleh hukum dan kode etik kedokteran.
Kloning terhadap anak manusia yang terjadi di Belgia di klem terjadi karena
"ketidak sengajaan" di laboratorium.
Para
pimpinan negara dan agama terkemuka memang terpaksa mengambil sikap. Bill
Clinton, diantaranya, meminta dewannya untuk memberinya masukan dalam 90 hari.
Akankah semua itu membendung usaha para ilmuwan untuk menghentikan penelitian
mereka?. Rasanya tidak. Selain naluri keingintahuan manusia terutama para
ilmuwan adalah alami, juga apa yang bisa dibendung? Dana? Juga tidak, karena
didunia ini masih banyak orang kaya "gila" yang akan merelakan
"recehannya" untuk membuat fotokopi dirinya; mungkin untuk sekedar
sensasi atau memang untuk menjaga kelanjutan perusahaannya dan juga bisa
menjaga dirinya dikemudian hari. Di abad-abad mendatang, tidak akan kurang kaum
selebriti sekelas Madonna (maaf pada Ms. Madonna), yang tentunya akan lebih
suka bila anaknya adalah bagian (atau produk) murni darinya - tidak
"tercemar" sifat dari pasangan pria yang diturunkan pada pembuahan
alami. Apalagi memang dari laki-laki yang tidak pernah dicintainya. Disaat
kemampuan memanggungnya sudah pudar karena ketuaan, maka dia akan menampilkan
anak-fotokopiannya yang kemudian bisa melanjutkan usahanya, juga kelak mewarisi
kekayaannya. Soal hukum? Walau negara kuat dan kaya katakanlah melarang
kloning, tapi bukankah di dunia saat ini juga tidak kurang negara miskin yang
akan sangat "welcome" kepada para ilmuwan, asalkan mereka datang
dengan dana dari sponsornya. Mereka akan sediakan tempat dan perlindungan.
Persoalannya sekarang, akankah usaha "fotokopi" manusia itu berhasil?.
Bagaimana pandangan agama Buddha? Benturankah dengan Dhamma?
BIJA NIYAMA DAN KAMMA NIYAMA?
Dari sudut pandang buddhis, maka kita percaya bahwa tidak ada kekuatan yang
bisa melawan hukum-hukum Dhamma - hukum alam yang "mengatur" semesta
ini. Selama ini kita hanya bisa hidup dengan menyelaraskan diri dengan hukum
alam. Kita, misalnya, hanya bisa bernapas dengan menghirup udara, karenanya
harus menggunakan tabung oksigen di dalam laut. Kita minum air tawar - bukan
air asin; kalau tidak air tawar, maka kita hanya bisa berusaha menawarkan air
asin, dan sebagainya.
Ada
dua kategori hukum alam yang terkait dalama masalah kloning, yakni Bija Niyama
(hukum-hukum biologis) dan Kamma Niyama (hukum karma). Dari sudut Bija Niyama,
terbukti, sebenarnya apa yang dilakukan oleh para sarjana selama ini, hanyalah
sekedar mempelajari hukum alam (dalam hal ini proses alami pembuahan) lalu
mencontohi dan menerapkannya (dalam hal ini memberi kejutan listrik dan
mengkondisikan "pembuahan" - masuknya DNA ke sel ovum). Nah, sampai
disini kita tidak usah kwatir, sebab bila tidak sejalan dengan hukum alam, maka
tidak akan berhasil (dalam istilah agama lain : "Bila tidak dikehendaki
Tuhan"). Dalam kasus Dolly, terbukti para sarjana masih sangat meragukan
kelangsungan hidup Dolly. Secara biologis, Dolly yang baru dilahirkan
sebenarnya telah berumur 6 tahun, karena DNA-nya diambil dari sel yang telah
berumur 6 tahun (domba induk yang di"fotokopi" telah berumur 6
tahun). Terbukti hukum alam Anicca turut "menghadangnya". Belum lagi,
telah terbukti bahwa hasil kloning biasanya peka terhadap perubahan lingkungan
dan cepat mati. Terbukti, embrio manusia hasil kloning Jerry Hall diatas hanya
berumur beberapa hari dan tidak sampai menjadi jabang bayi. Apa gunanya usaha
kloning bila hanya untuk menghasilkan makhluk berumur pendek - mengalami
penuaan dini dan berpenyakitan. Saat ini pun para ilmuwan masih "wait and
see" pada nasib Dolly. Dari sudut Kamma Niyama, diketahui bahwa kelahiran
kembali dikondisikan oleh Tanha (keinginan yang sangat kuat) dalam hal ini
Kamma Tanha (keinginan kuat akan kenikmatan nafsu) dan Bhava Tanha (keinginan
kuat untuk senantiasa bereksis). Keinginan kuat ini berbentuk arus enerji batin
yang sangat kuat yang lalu mencari "wadah" (badan) untuk bereksis
(baca: lahir kembali). Enerji batin yang luar biasa ini adalah unsur utama
kelahiran; unsur biologis yang menyediakan "wadah" adalah unsur
berikutnya, tanpa harus memperhitungkan bagaimana unsur biologis itu
dipersiapkan oleh alam. Lalu, bagaimana (perjalanan) karma dari mereka yang
adalah hasil "fotokopi" dengan "asli"nya, atau apalagi
kalau "fotokopi"nya dibuat banyak. Vinnana (kesadaran /
"jiwa" terlahir kembali) mana yang asli?. Apakah vinnana juga turut
"berfotokopi"? Penjelasannya sangat sederhana. Di alam ini tidak ada
makhluk yang persis sama. Sebenarnya hasil kloning tidak mungkin pernah sama.
Walau "blue print" (DNA) sama, tapi pengalaman-pengalaman yang akan
di alami tidak mungkin sama. Disekitar kita saja, banyak kembar identik
(berwajah sama, bersifat sama) yang terlahir dari satu zygote (calon embrio
hasil pembuahan alami) yang membelah menjadi dua. Mereka sebenarnya justru
adalah kloning alami, tapi bukankah para kembar identik di masyarakat kita
perjalanan nasibya (baca: karmanya) akan berbeda. Jadi, jelas mereka berasal
dari vinnana yang berbeda. Kedekatan kondisi atau keakraban mereka satu sama
lain di alam kehidupan yang sebelumnya mengkondisikan mereka terlahir di
kandungan yang sama. Kondisi (sankhara) termasuk pengalaman-pengalaman hidupnya
(yang dalam bahasa buddhis adalah bersangkutan dengan karma-nya) akan berbeda
sejak dimulainya pembelahan sel (yang kemudian akan membentuk makhluk utuh).
Tempat "nidasi" (tempat embrio melekat di kandungan ibu) dari dua
kembar identik, sudah pasti akan berbeda. Dan, ternyata nutrisi yang diterima
oleh jabang bayi di dalam kandungan tergantung pada lokasi nidasi ini. Nutrisi
yang berbeda menyebabkan pula perbedaan besar dan sehatnya bayi yang lahir
kemudian. Lalu, setelah lahir pengalaman hidupnya pasti akan berbeda. Dengan
demikian Kamma Niyama (hukum karma) berjalan terus. Tidak ada benturan dengan
Dhamma. Dhamma adalah hukum alam, hukum alam tidak bisa dilawan.
BOLEH ATAU TIDAK BOLEH?
Hanya beberapa hari setelah publikasi hasil penelitian ini, reaksi bermunculan
dari yang menyambutnya gembira sampai yang menyambut dengan rasa amarah pada
para ilmuwan. "
Para ilmuwan sudah
gila", kata mereka. Padahal ilmuwan bukanlah kaum kriminal. Sebaliknya,
memang banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari teknik kloning ini. Para
peternak tinggal mengkopi ternaknya yang paling unggul, obat-obatan biologis
(non sintesis) misalnya enzym bisa jauh lebih murah karena di produksi secara
massal oleh ternak yang memang sudah "diprogram" untuk itu. Binatang
langka seperti panda bisa digandakan. Masalahnya bagaimana agar tidak terjadi
penyalahgunaan teknologi ini. Pisau dapur ditangan pembunuh atau ditangan ibu
rumah tangga?. Mereka yang skeptis melontarkan andai-andai, bayangkan bila
Hitler bisa di kloning, satu Hitler saja sudah memporakporandakan dunia.
Apalagi kalau di fotokopi banyak-banyak. Terlepas dari setuju atau tidak
setuju, maka sebenarnya kekwatiran akan "kelahiran Hitler" seperti
diatas tidaklah berdasar dengan pemahaman dalil-dalil karma diatas. Sifat
genetis (bawaan) bukanlah satu-satunya yang menentukan seseorang akan jadi
jahat atau baik. Bila katakanlah Hitler berhasil dikloning menjadi dua. Satunya
lalu tetap di Jerman bersekolah dilingkungan yang menanamkan paham Uber Alles,
tapi kembar satunya, katakanlah, berteman dengan calon Bhante Nyanatiloka
(bhikkhu berkebangsaan Jerman pertama yang belajar, menetap dan meninggal di
Sri Lanka awal 1990-an), lalu sama-sama menjadi
bhikkhu di
Sri Lanka;
maka mungkin Hitler satunya ini menjadi bhikkhu yang setenar Bhante Nyanatiloka.
Fisik dan mental kita saat ini, selain tergantung pada "kandungan
ibu" (baca: sifat genetis), maka juga tergantung pada "kandungan
masyarakat" yang membesarkan kita. Jadi agama Buddha melarang atau tidak
melarang kloning?. Bila ditelusuri lebih lanjut, maka istilah melarang
sebenarnya tidak relevan dengan ajaran Sang Buddha. Ajaran Sang Buddha bukanlah
pasal-pasal hukum dan undang-undang. Agama Buddha adalah ajaran yang
mengajarkan ajaran ketuhanan - menunjukkan yang mana yang baik dan yang mana
yang tidak baik - bukan ajaran yang mengajarkan "perintah Tuhan".
Ajaran agama Buddha tidak mendasarkan dapat tidaknya pemberlakuan sesuatu hal
pada diperkenankan atau dilarang Tuhan. Konsep melarang (atau membolehkan)
adalah konsep manusiawi. Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar, bukan makhluk -
bukan pribadi. Juga bukan makhluk adikodrati ataupun mahadewa, yang dianggap
sebagai penguasa alam ini. Umat Buddha juga tidak perlu kwatir bahwa usaha
kloning akan melecehkan kitab suci Tipitaka. Kita tidak perlu mendasarkan
keberadaan Dhamma pada kitab-kitab suci dan sabda-sabda. Dhamma adalah hukum
alam. Hukum alam akan berjalan tidak tergantung pada ada atau tidaknya kitab
suci Tipitaka (buat umat Buddha) ataupun pernah atau tidak pernahnya Sang
Buddha terlahir. Dengan demikian, sebenarnya pertimbangan pemberlakuan sesuatu
hal dalam pandangan agama Buddha adalah pada baik atau tidak baiknya hasil
perbuatan itu bagi diri sendiri dan bagi diri orang lain.
BAIK ATAU TIDAK BAIK?
Nah, sekarang, menurut agama Buddha usaha kloning itu baik atau tidak baik?
Jelas, pada zaman Sang Buddha tidak dikenal teknologi kloning, sebaliknya
"teknologi" yang dikenal saat ini sebagai "supra natural"
adalah lebih jamak. Namun, ketiadaan teknologi kloning pada zaman Sang Buddha
tidak berarti kita tidak bisa menjawab pertanyaan diatas. Dalam hal ini, secara
umum, kita dapat mengacu pada wejangan Sang Buddha pada para petinggi suku
Kalama, sebagai berikut:
"Dengarkan, kaum Kalama, janganlah hanyut terbawa oleh ucapan seseorang
atau tradisi atau desas-desus, atau karena tertulis dikitab suci, atau oleh
pertimbangan: 'Pertapa itu adalah guruku....'. Tetapi, kaum Kalama, apabila
kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal itu ... dicela oleh para bijaksana, dan
bila dilakukan akan berakibat kerugian dan penderitaan, maka tolaklah hal itu.
Sebaliknya, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini tidak tercela
dan patut dipuji oleh para bijaksana, dan apabila dilakukan akan menghasilkan
kesejahteraan dan kebahagiaan, maka lakukanlah dan binalah hal-hal itu (Kalama
Sutta, Anguttara Nikaya,I)
Mari kita teliti bersama:
1. Dicela atau dipuji oleh para bijaksana ?
Dalam pandangan Buddhis, suatu perbuatan dikatakan terpuji adalah bila
perbuatan itu terbebas dari tiga akar kejahatan, lobha (keserakahan), moha
(ketidaktahuan) dan dosa (kebencian) serta berdampak positif secara universal.
Bebas dari lobha, moha dan dosa? Jelas tidak, usaha kloning jelas bakal lebih
banyak memelihara dan memuaskan lobha (keserakahan), moha (ketidaktahuan) dan
dosa (kebencian). Korban-korban lobha, moha dan dosa akan bertambah. Sebab,
seperti dikatakan diatas hukum alam akan tetap berjalan terus, mereka yang
memelihara lobha akan terlindas oleh hukum alam dalam bentuk kemelekatan.
Semuanya akan menjauhkan seseorang dari pencapaian Nibbana. Berdampak positif
secara universal? Juga tidak! Universal berarti berlaku bagi siapa saja, dimana
saja dan kapan saja. Katakanlah, teoritis, tujuan kloning adalah baik; tapi
siapa bisa meredam efek sampingnya. Sewaktu Einstein menemukan atom, beliau
juga tidak menduga bahwa penemuannya kemudian akan menghasilkan dua bom yang
membinasakan dua
kota besar di Jepang -
Hiroshima dan
Nagasaki.
Selama sejarah peradaban manusia, telah sering terjadi penemuan yang kemudian
akan menjadi "pisau dapur di tangan pembunuh".
2. Akankah membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bersama?
Bagi mereka yang memerlukan kloning-nya mungkin membahagiakan sementara. Ambil
saja contoh seperti diatas, bagi seorang artis agar kloningnya bisa
menggantikan (di-regenerasi) sebelum dia terlalu tua (untuk manggung) padahal
masih populer, atau bagi seorang milyarder - yang memerlukan seorang yang akan
meneruskan usahanya (dengan
gaya
kepemimpinan dan cara berpikir yang sama - yang terbukti berhasil) yang
sekaligus akan mewarisi perusahaannya. Mungkin bagi mereka membahagiakan
sementara (lalu terjerat dan tersiksa Lobha), tapi bagaimana dengan segala
dampak yang merugikan orang lain terutama pada peradaban manusia secara
keseluruhan. Usaha kloning bisa saja menjadi pemicu "perang" antara
kaum pria dan wanita. Pasangan suami isteri tidak lagi memiliki sesuatu yang
adalah milik bersama yaitu anak kandung yang bisa merupakan tumpuan kasih
mereka berdua. Suami atau isteri (bila kloning atas pria juga bisa) akan
berkata: "Dia anakmu, bukan anakku". Kebersamaan adalah segala nilai
kehidupan berkeluarga. Hancurnya kebersamaan dalam berkeluarga berarti
hancurnya konsep kehidupan berkeluarga, dan berakhir dengan hancurnya peradaban
manusia.
Singkatnya usaha kloning adalah usaha yang belum diperlukan, lebih mungkin
berdampak negatif, dan dengan sendirinya dapat direkomendasikan untuk tidak
dilakukan. Tapi sebenarnya kita terlalu banyak berandai-andai padahal hukum
alam yang akan menyelesaikannya. Sebenarnya bagi umat Buddha, dari pada meributkan
soal kloning, maka lebih baik mencari pojok yang sepi lalu duduk bermeditasi.
Ajaran Sang Buddha sejak awal memang hanya menunjukkan yang baik dan yang tidak
baik. Selanjutnya, terserah Anda!
No comments:
Post a Comment