Kerukunan
hidup beragama adalah kondisi bagi semua golongan agama bisa hidup bersama-sama
secara damai tanpa mengurangi hak dan kebebasan masing-masing untuk menganut
dan melaksanakan kewajiban agamanya. Kerukunan yang dimaksud bukan berarti
penganut agama yang satu tidak merasa perlu atau menahan diri untuk melibatkan
persoalan keberagamaan dengan pihak lain, karena kebersamaan menghendaki
tenggang rasa, yang benar-benar dimungkinkan jika saling memahami.
Kerukunan akan bisa dicapai apabila
golongan agama memiliki prinsip setuju dalam perbedaan. Setuju dalam perbedaan
berarti orang mau menerima dan menghormati orang lain dengan seluruh aspirasi,
keyakinan, kebiasaan dan pola hidupnya, menerima dan menghormati orang lain
dengan kebebasan untuk menganut keyakinan agamanya sendiri. Memelihara
kerukunan hidup umat Bergama tidaklah berarti mempertahankan sataus quo
sehingga menghambat kemajuan masing-masing agama. Kerukunan itu harus dilihat
dalam konteks perkembangan masyarakat yang dinamis, yang menghadapi beraneka
tantangan dan persoalan.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
dengan kerukunan?
2. Bagaimana kerukunan
dalam umat beragama?
3. Apa saja bentuk-bentuk
kerukunan?
4. Mengapa kerukunan
penting dalam umat beragama?
5. Bagaimana cara
mempertahankan kerukunan antar umat beragama?
Tujuan Observasi
1. Mengetahui definisi
dair kerukunan
2. Mengetahui definisi
kerukunan antar umat beragama
3. Mengetahui cara
menjaga kerukunan hidup antar umat beragama
4. Mengetahui manfaat
dari terciptanya kerukunan antar umat beragama
Manfaat
Manfaat
yang diperoleh dari menciptakan suasana rukun antar umat beragama dilingkungan
masyarakat yaitu dengan rasa aman, nyaman dan sejahtera.
Kerukunan dalam Agama Buddha
Agama Buddha dalam sejarah
perkembangannya telah menunjukkan bahwa agama Buddha pada masa kejayaan
Sriwijaya, Majapahit maupun pada masa kerajaan Mataram Kuno telah mampu
mempersatukan dan membina kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga
terwujud persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini menujukkan bahwa di mana telah
terbina kerukanan hidup antar umat beragama, maka di sana akan terwujud
persatuan dan kesatuan dan selanjutnya apabila persatuan dan kesatuan telah
terwujud maka di situ akan dapat dibangun sebuah kerajaan yang jaya. Memahami
arti pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan persatuan dan kesatuan,
maka dipandang perlu untuk diuraikan fakta sejarah perkembangan agama Buddha
dalam memberikan konstribusi bagi terwujudnya sebuah kerukunan.
Upali Sutta
Diceritakan bahwa semasa hidup Sang
Buddha, Nigantha Nataputha seorang guru besar dari sekte agama Jaina mengutus
Upali seorang siswanya yang cerdik, pandai dan berpengaruh di masyarakat untuk
berdialog, memperbincangkan tentang ajaran Buddha yaitu Hukum Karma. Setelah
berdialog cukup panjang Upali memperoleh kesadaran bahwa ajaran Buddha tentang
kamma adalah yang benar. Upali kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk
diterima sebagai muridnya. Sang Buddha menyuruh Upali untuk memikirkannya
karena Upali adalah murid dari Guru Besar dan ternama, ia juga orang
berkedudukan dan terpandang di masyarakat. Akhirnya Sang Buddha menerima Upali
sebagai muridnya dengan mengucapkan: “Kami terima anda sebagai umatku, sebagai
muridku, dengan harapan anda tetap menghargai bekas agamamu dan menghormati
bekas gurumu itu, serta membantunya”. Dari cerita tersebut maka tampaklah bahwa
masa kehidupan Sang Buddha telah menunjukkan demikian besarnya toleransi Sang
Buddha terhadap keyakinan atau agama lain.
Maha Raja Asoka (Prasati Asoka)
Raja Asoka dalam menjalankan
pemerintahannya benar-benar menjaga toleransi dan kerukunan hidup beragama,
semua agama yang berkembang saat itu diperlakukan adil. Untuk mewujudkan
kerukunan hidup beragama tersebut, Raja Asoka telah mencanangkan Kerukunan
Hidup Beragama yang terkenal dengan “Prasasti Batu Kalinga No. XXII Raja
Asoka”. PRASASTI RAJA ASOKA “Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan
mencela agama orang lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang
lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian
kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang di samping
menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah
merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain. Oleh
karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang
lain, semata-mata karena didorong oleh rasa bakti pada agamanya sendiri dengan
berpikir; bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri. Dengan berbuat
demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu,
kerukunanlah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya
mendengarkan dan bersedia mendengar ajaran orang lain”. (Proyek Bimbingan P4,
1983/1984,: 28, SM Rasyid, 1988).
Era Kerajaan di Indonesia
Pada jaman Keprabuan Majapahit telah
berhasil menghantarkan bangsa di nusantara kita ini memasuki jaman keemasan
karena adanya kerukunan hidup beragama, yakni kerukunan hidup antar umat
beragama Hindu dan umat beragama Buddha, yang berhasil mewujudkan persatuan dan
kesatuan negara tersebut. Pada masa tersebut seorang pujangga besar telah
menyusun karya sastra “Sutasoma”, yang di dalam mukadimahnya tersurat sebuah
kalimat yang memiliki makna terdalam guna membina kerukunan persatuan dan
persatuan antar umat beragama, yaitu: “Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hana Dharma Mangrwa”. Kalimat sakti tersebut sekarang telah dijadikan motto
atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara garuda pancasila.
Kerukunan Hidup Umat Beragama Buddha di Masa Pembangunan
Pada beberapa tahun yang lalu,
sebagai hasil dari dialog intern umat beragama, Dialog antar umat beragama dan
dialog antar umat beragama dengan pemerintah, akhirnya lahirlah Tri Kerukunan
Hidup Beragama, yaitu:
1) Kerukunan Intern Umat Beragama
2) Kerukunan Antar Umat Beragama
3) Kerukunan Umat Beragama dengan
Pemerintah
Upaya yang dapat ditempuh umat Buddha
dalam rangka menuju terciptanya dan melestarikan Tri Kerukunan tersebut adalah
dengan meningkatkan Moral, Etika, dan Akhlak bangsa yang disebut SILA. Moral
adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia. Moral dalam manifestasinya dapat berupa aturan,
prinsip-prinsip, benar dan baik, terpuji dan mulia.
Selain menjaga diri dengan Sila, umat
Buddha dapat mengembangkan kesempurnaan-kesempurnaan (Paramita). Menurut Sang
Buddha berkembangnya perpecahan dan hancurnya persatuan dan kesatuan (kerukunan)
mengakibatkan pertentangan, pertengkaran. Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada
ayat 6, sebagai berikut:
“Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan hancur
dan musnah, tetapi mereka yang melihat dan menyadari hal ini damai dan tenang”.
Sumber dari perpecahan menurut Sang Buddha
dijelaskan dalam Dhammapada ayat 5, yaitu:
“Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir jika dibalas
dengan membenci, tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan cinta
kasih. Ini adalah hukum kekal abadi”.
Dari kutipan di atas, dengan jelas diungkapkan
bagaimana akibat dari pikiran yang jahat bagi seseorang, bagi suatu golongan
tertentu, bagi suatu bangsa bahkan bagi umat manusia. Maka diperlukan
kedewasaan berpikir. Berkata dan bertindak (sila). Dasarnya adalah ajaran
Buddha dalam Anguttara Nikaya II, yaitu: Hiri (perasaan malu untuk berbuat
tidak baik dan Ottapa (rasa takut akan akibat perbuatan jahat). Dua dasar
tersebut adalah Lokapala Dhamma atau Dhamma pelindung dunia.
Sehubungan dengan hal itu, pada masa
pembangunan umat Buddha Indonesia hendaknya selalu menjadikan ajaran-ajaran
Sang Buddha sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan beragama.
Kesimpulan
Konsep kerukunan yang diajarkan Sang
Buddha bukanlah konsep teoritis namun harus dibarengi dengan praktik nyata.
Memahami kerukunan dapat dilihat segi pasif dan aktif. Banyak manfaat baik
sebagai hasil dari kerukunan merupakan tujuan dari kerukunan itu sendiri. Dalam
hal ini jelaslah tidak ada ada kata “Tidak” untuk hidup rukun bagi umat Buddha.
1. Pada prinsipnya ajaran agama
Buddha mengajarkan kepada umat Buddha untuk membebaskan diri dari penderitaan,
secara universal agama Buddha mengajarkan agar semua makhluk hidup berbahagia.
Konsepsi ini memberikan peluang untuk memungkinkan terciptanya kerukunan intern
dan antar umat beragama.
2. Dengan dasar ajaran cinta kasih
(metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap semua makhluk, agama Buddha
memberikan peluang dan wawasan kepada umatnya untuk memiliki wawasan keagamaan
yang insklusif mau menerima dan menghargai kehadiran golongan agama lain di
luar dirinya.
3. Dengan faktor kepribadian
Pancasila, dalam bentuk hubungan kekerabatan dalam masyarakat Indonesia
merupakan faktor peredam terhadap timbulnya pertentangan antar agama.
Sumber:
https://www.wikipedia.org/
https://www.academia.edu
http://green-sarijo.blogspot.com
Oleh:
Jessica | Mahasiswa Universitas Internasional Batam | Perkuliahan Agama Buddha
No comments:
Post a Comment